2007/12/16

my Fake, is my fashion




Pujaan hati saya yang berada di Solo pada suatu malam mengirim SMS pada saya yang intinya meminta tolong pada saya untuk mencarikan sebuah buku yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang sedang ditekuninya, tentang “Ekonomi”, yah karena memang di kotanya buku yang ia cari belum datang, dan ternyata saya menemukannya di sebuah toko buku di kota saya, Yogyakarta. Kepentingan merelakan waktu untuk seorang yang menguasai hidup saya atas nama “cinta” telah membuat waktu dan perbuatan yang palsu itu ternyata indah.
Setelah selesai dengan segala kegiatan bodoh saya, dimana orang sekarang melembagakannya dalam yayasan “pacaran” saya mampir ke kost salah satu teman saya, karena memang saya juga berniat menginap di kostnya. Makan malam menjadi awal yang membosankan dengannya. Saya memang salah ketika memulai hal yang amat menjijikkan tiba-tiba melompat dari mulut saya dengan mengatakan pada teman saya bahwa saya merasa khawatir dengan makin telanjangya masyarakat yang disupport penuh oleh media yang latah. Saya mengatakan bahwa sungguh mengerikan sekali jika kubangan selangkangan yang jumud dan dulunya sangat tabu untuk dibicarakan itu semakin legal sebagai alat komoditi. Hal itu terpikirkan di otak gara-gara saya habis menonton film “Idio Crazy” yang menggambarkan bahwa di kehidupan mendatang setiap apapun yang ada di beri nama dengan imbuhan yang berbau selangkangan. Kemudian yang paling celaka adalah saya mengungkapkan pada dia bahwa saya berniat mengembalikan klise-klise pada jaman dahulu tentang dogma agama dan mitos orang tua. Dia menyetujui dengan ide kebohongan itu diangkat kembali sebagai social control. Tutur bicara yang dikembalikan pada norma adat, gaya hidup yang kembali pada pola-pola sistem agama dan klise-klise jaman dahulu lainnya.
Tiba-tiba, teman saya menjadi sangat tua wajahnya dan sangat membosankan saat mengatakan, “yah Ndeng! Mulailah merubah dirimu sendiri dahulu, dari cara bertutur kata, musik, ibadah, dan cara berpakaian.” Tapi, eh stop! Yang terakhir tadi apa? “Cara berpakaian”. Waduh, malah saya belum berpikiran tuh untuk yang itu. “Loch itu juga harus ndeng untuk dirubah, cara berpakain tu memperlihatkan tentang apa yang ada di hati orang tersebut.”
“???????, itu yang ada di otak saya. Kok bisa Pay?”. Kemudian dia mulai memberikan argumennya yang ternyata sama persis dengan apa yang sudah dikatakan para orang tua kita ratusan tahun yang lalu. Kemudian dia juga menjebloskan pemikiran saya pada salah-benar. Dia menganggap bahwa batasan-batasan berpakaian yang diciptakan Tuhan dalam kitab suci dianggap belum benar jika ternyata hasil kongres para leluhur kita dalam suatu masyarakat tertentu tidak mengesahkannya. “Ufffffh”. Saya mulai merasa mual kalo berbicara masalah apa dan bagaimana harusnya berpakaian, secara saya memang selalu tidak peduli dengan korelasi keadaan jiwa dan pakaian apa yang sedang dipakai. Karena terus terang saya hanya selalu melihat apa yang saya angap “keren”, ya kemudian saya pakai titik.
Saya sangat malas ketika model pakaian ternyata dijadikan suatu standar yang disepakati untuk mengukur apa yang ada dalam diri manusia. Menurut saya berpakaian hanya sebagai penutup aurat yang telah digariskan oleh agama saya dan kadangkala menjadi perhiasan saja. Saya mempunyai control sendiri ketika berpakaian dengan batas-batas yang telah saya yakini karena berasal dari agama yang saya yakini juga tentunya.
Ternyata dia masih tidak paham juga tentang apa yang saya maksud, dan malah berbicara dengan nada yang lebih kasar “kalau kamu tidak memperdulikan masyarakat dalam kamu berpakaian itu namanya kamu belum dewasa, picik, individualis, dangkal, sempit, dan (saya lupa apa aja kutukan-kutukannya)” katanya. Sumpah, saya merasa sangat mual dengan jejalan judgment nya. “Lha trus Pay, para penjahat yang mencuri dan membunuh kemudian bersembunyi dibalik pakaiannya yang rapi kemudian dihiasi jas dan dasi itu bisa kamu ukur dengan pakaian?”, ada lagi si Charlie Manson sang pemimpin sekte gila yang ajarannya membunuh, mencuri, merampok dan intinya menciptakan peperangan yang selalu berpakaian ala Hippie, ternyata mengutuk hippie. Dan satu contoh lagi aja dech daripada kebanyakan, para revolusiner Punk yang kemudian subkulturnya disebut indiepop tu berpakaian rapi dan catchy seperti anak-anak pop, tapi berjiwa Punk. Apa belum ngerti juga? Bahkan kamu berdalih dengan adanya beban psikologi jika suatu orang berjiwa x kemudian kumpul dikumunitas y. Pdahal, bukankah beban psikologi yang seperti kamu maksud itu relatif, sama halnya akan bermacam-macamnya kapasitas rasa takut satu orang berbeda dengan yang lainnya.
Pakaian (baca:model) yang kita kenakan bukan representasi dari jiwa kita secara mutlak, bukankah sangat mudah hari ini berdandan Punk besok Psychedelic lusa Gothic minggu depan Hip-hop dan seterusnya. Pakaian sangat mudah sekali dilepas kemudian diganti dengan yang lainnya. Bahkan ritual tersebut sudah diajarkan oleh orang tua kita dan telah kita lakukan sejak balita bukan? Tapi sayang banget, kamu lebih meng-amin-i stereotype yang dianak-pinakkan oleh masyarakat dan digembala oleh media. Kamu lebih menganggap bahwa melakukan yang disepakati oleh leluhur itu lebih penting daripada membela apa diyakini seseorang yang seharusnya dijadikan legitimasi (agama). Kenapa kamu masih belum sadar juga bahwa judge salah-benar pada seseorang bukan hak kamu?
Ah udahlah benar-benar membosankan ternyata mengobrol denganmu yang hanya membahas masalah cara dan model berpakaian. Udah basi…saya gak bermaksud membuat kamu membenarkan celotehan bacot saya. Tapi saya ingin kamu sadar bahwa setiap orang punya proses masing-masing dalam menemukan kebenaran yang kemudian diyakinya, jadi ya mbok yao berhenti menilai orang dari cara berpakaian. Memang kadang benar, tapi ternyata jaman sekarang segala hal menjadi complicated dan hitam-putih semakin absurd (pasnya abu-abu).
Goblok, ternyata saya malah menulis hal yang bodoh dan basi ya?

No comments: