2011/08/27

Idul Libido

Pemilik hak gambar


Nasrudin muncul di balairung istana dengan turban indah untuk meminta sumbangan.

“Kau datang ke sini minta sumbangan, tapi kau memakai turban yang mahal. Berapa harga turban indah itu?” Tanya Sultan.

“Ini hadiah dari orang yang sangat kaya. Kalau tidak salah, harganya lima ratus koin emas.” Jawab sufi bijak tersebut.

Patih yang berada di tempat itu bergumam: “Mustahil. Tidak ada turban yang harganya semahal itu.”

Nasrudin bersikeras:

“Aku bukan hanya datang ke sini untuk meminta-minta, aku juga ingin berbisnis. Aku tahu hanya penguasa sejati yang sanggup membeli turban ini seharga enam ratus koin emas sehingga aku bisa memberikan kelebihannya pada orang miskin.”



Bulan ramadhan yang diwajibkan kaum muslim untuk berpuasa, hampir habis. Tinggal hitungan jari salah satu tangan – kita tahu rutin puasa pada hari-hari bulan ini segera berganti. Idul fitri adalah momentum transisinya. Ia adalah perayaan – sebuah bingar selebrasi atas kembali utuhnya raga setelah bulan yang membuat manusia menjadi “sing liyan” (yang lain) dari fitrah kemanusiannya.

Menahan diri dari makan, minum, nafsu, amarah, hasrat, libido, dsb – sekilas tampak bukan manusiawi. “Seks sama berharganya dengan ajal,” kata Foucault yang menasbihkan bahwa tanpa libido, manusia telah menemui ajal.

Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang. Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu.Sehingga layak jika diartikan Idul Fitri dengan kembalinya manusia ke tabiat semula.

Iya, tabiat semula – manusia selalu ingin memiliki sesuatu yang dibanggakan. Manusia sering putus asa jika diri mereka tidak terlihat lebih sukses dalam hidup ketimbang orang-orang di lingkungan sosialnya. Lumrah jika momentum pertemuan yang massif namun sporadis di negeri ini, idul fitri contohnya, bak menjadi perayaan peragaan kebanggaan.

Tanpa saya paparkan pun tentu kalian sudah paham luar-dalam. Kalian sudah tahu jika di setiap hari raya ada kerabat yang menanyai pekerjaanmu, sekolahmu, anakmu, gajimu, uangmu, bisnismu, kendaraanmu – yang tentu saja kalian tahu itu adalah basa-basi yang menyerang. Tentunya sang penanya dalam posisi yang lebih jumawa. Setelah kamu menjawab pertanyaan rutin tersebut, barulah kerabatmu akan bercerita tentang bagaimana kesuksesan anak-anaknya disekolah hingga bagaimana mereka telah mampu menghasilkan uang hingga mencapai finance freedom.

Saya menahan diri dari bertele-tele menulis rutinitas lebaran. Karena pada dasarnya, perayaan adalah perayaan – dan yang sedang dirayakan adalah kembalinya sisi kemanusiaan yang serba duniawi.

Kita akan kembali boleh makan, minum, hingga bersenggama dengan pasangan sah, kapan saja seenak perut. Kita akan segera memakai pakaian yang baru saja dibeli dari department store atau pun butik ekslusif untuk menutupi kekurangan-kekurangan kita. Tidak masalah. Namanya juga hari raya. Bebas!

Hasrat memang merupakan anugerah spesial yang dimiliki manusia – dan hari raya seringkali menjadi pengukuh yang membenarkan keberadaannya. Untungnya – Idul Fitri, hingga hari ini masih menjadikan tradisi melapangkan dada, berzakat, dan silaturahim sebagai kaidah utama. Berarti hari raya bukan melulu tentang kebebasan menikmati kembalinya hasrat, namun (semoga) juga menjadi perayaan dari kebebasan diri dari penyakit-penyakit hati – yang akhirnya menjadikan akal sehat adalah anugerah lain manusia yang sepadan dengan hasrat.

___________________________________________

Mendengar paparan Nasrudin, sang Sultan tersanjung dan membayar jumlah yang Nasrudin minta. Di pintu keluar, Nasrudin berkata pada sang Patih:

“Kau mungkin tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat dampak kesombongan manusia.”



4 comments:

Anonymous said...

mantep ndenk...jos jos

ipoeL said...

ijin nyimakkk pace :D
wangon2...

Ayos Purwoaji said...

Ah blog ini kembali menyala :)

Dwi Putri Ratnasari said...

hip! hip! bandenk is back!