2012/06/06

Potret dan Sebuah Pengantar Lain #LearnsToPop



(gambar di-copy dari blog ini)


Saya punya cara gampang menilai seseorang sebagai pemerhati musik. Bukan banyaknya koleksi CD atau plat. Atau bagaimana dia begitu paham luar dalam terhadap nama-nama band asing yang bahkan baru pertama kali saya dengar sesudah dia berbicara. Tapi coba tanyakan dia tentang beberapa nama yang melintang di ranah  pop mainstream Indonesia. Pungkas penyebar endemi #LearnsToPop yang sekaligus bergelar jurnalis keple dari madzab Jakarta Beat, Fakhri Zakar(ia).

Ia berhasil mengganggu kesadaran saya. Menguntit hasrat untuk mengais memori—agar tak terjebak pada pilihan yang kurang kece (ST 12 atau Smash, misalnya)—dalam menentukan musisi mana yang sebaiknya jadi bahan tulisan. Saya sih ogah berdebat kalau kamu kekeuh membela mereka. Seraya memilah-milah, saya merenungkan; kenapa pop mainstream sih? Ada suatu kutipan:

Sungguh tidak mengganggu saya bahwa para shoegazer berasal dari kalangan elite (posh-oes)—memang benar bahwa saya terganggu ketika orang tua dari anak-anak band Slowdive membelikan mereka mobil dan gitar. Saya tidak terganggu ketika mereka adalah orang-orang dari kelas menengah. Yang mengganggu saya adalah kenyataan bahwa mereka membikin musik yang sangat menjemukan. (NME, 4 Januari 1992).

Apa yang kita lihat dari kutipan ulasan termaktub diatas adalah bahwa kenyataan selalu ada gegar saat suatu budaya tertentu melintasi budaya lain. Dalam contoh kasus ini, musik shoegaze—yang notabene bagian dari subkultur—ke ranah arus utama. Bagi para penganut “kekerenan” itu haruslah dibasiskan pada elisitas dan anomali, maka akan mudah menyatakan bahwa genre shoegaze adalah ayat suci baru yang harus diamini. Sedangkan di pihak yang masih serius bertanya (bahkan hingga saat ini) tentang keberadaan letak keindahannya, band shoegaze hanyalah kumpulan orang nir-skill yang membuat musik bising dan false.


Selera dalam Pasar Budaya

Bayangkan diri kamu tengah berada pada suatu foodcourt —dengan deretan etalase makanan cepat saji— kamu harus memilih restoran dan menu apa yang akan kamu santap. Diantara sempitnya sela-sela waktu kerja, memilih menu saat istirahat makan siang membutuhkan kejelian tersendiri. Pilihan menu tidak lagi hanya (melulu) berdasar kriteria selera dan harga. Mempertimbangkan waktu penyajian, porsi, dan nutrisi yang akan mengawal kamu untuk melanjutkan rutinitas patut dijadikan variabel yang wajib.

 Bentar!
Ajakan membayangkan memilih menu makan siang adalah gocekan analogi dari saya.

Dalam hal ini, pop mainstream adalah makanan cepat saji. Melalui ritual acara tv. Menyelinap diantara ocehan penyiar radio. Diputar kencang dalam kerumunan fasilitas publik. Didendangkan pengamen atau bahkan subwoofer angkot yang kamu kendarai. Pop mainstream kadangkala menjadi mimpi, wujud yang muncul dan eksis tanpa diduga. Ia seringkali menjadi yang pertama menjembatani perkenalanmu dengan apa yang kamu sebut, musik.

Seiring dengan kamu menjalani hari, kamu akan dengan sendirinya memilih. Artis atau band mana yang akan kamu hidupi. Bisa berdasar pada keterikatan emosi. Bisa juga segi lirik, maupun musikalitas. Mungkin juga kamu mulai menggemari paras dan lekuk si artis yang bohay sehingga tak perlu berkeliling dengan estetika buatan wartawan. Dari segi manapun itu, dalam industri semua halal.

Kehalalan tersebut—dalam menentukan selera diantara penjejalan budaya pasar—sering menjadikan selera adalah nilai yang bias. Saya tidak sedang membenarkan Theodor Adorno yang mati-matian mengutuk budaya murahan. Ia kerabat mazab Frankfurt yang menjadikannya mudah dalam hal memilih makanan lambat nan bernutrisi tinggi. Ia tidak terlalu menemui kesulitan akses untuk berada diluar budaya industri penjaja komoditas.

Sederhananya, menjadikan salah satu musisi mainstream sebagai selera, akan lebih sulit dibanding menjadikan musik cutting-edge sebagai bahan idola. Karena barometer musik cutting-edge seringkali jumud pada substansi dan manifesto estetika. Sedangkan musik mainstream?

Dengan demikian, pagelaran #LearnsToPop bisa jadi sesuatu yang menantang.

Maka benarlah nabi Fakhri dengan sabdanya: Hipster yg dengerin musik pop mainstream Indonesia itu derajatnya naik dua kali lipat #LearnsToPop

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Potret yang Terbingkai


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digital berarti: 1 gambar yg dibuat dengan kamera; foto; 2 gambaran, lukisan (dalam bentuk paparan). What so ever! Tapi menengok serpak terjang mereka di blantika musik nasional, nama band ini (POTRET) mampu mewakili segala daya dan upaya yang telah mereka toreh.

Potret bisa jadi Melly Goeslaw, Anto Hoed, dan Aksan Sjuman. Namun bagi saya, Potret adalah ‘Bagaikan Langit’ atau bisa juga ‘Bagaikan Langit’ adalah Potret. Saya sedang belajar memainkan kunci balok—setidaknya demikian dahulu saya menyebut kord—pada gitar. Menggenjreng ala semi-depth dengan patah-patah. Usia yang bermedio belasan dan tercatat sebagai anak kelas dua SMP.

Saya menghidupi “Bagaikan Langit” sebagai bagian dari waktu. Diantara jeda bel sekolah bertitel madrasah. Diantara asrama massal berpenghuni belasan orang dalam satu kamar. Saya bersekolah di pesantren ketika itu. Maka wajar jika saya berapologi. Maaf, saya tidak mengenal Potret dengan baik saat itu selain ‘Bagaikan Langit’. Alih-alih memahami citarasa sound recording, riff gitar, aransemen, wadda wadda.. Saya dulu hampir tidak peduli jika Potret dibentuk tahun 1995. Yang jelas, tahun ‘Bagaikan Langit’ dalam pribadi saya adalah 2001.

2007. Saya mulai mengenal istilah cutting-edge. Untuk tahun itu saya dedikasikan seutuhnya menjadi hipster total. Namun saya tak pernah sempurna untuk menghapus folder Potret dari hardisk CPU. Potret tetap terbingkai diantara ayat-ayat Capitol records dan Labarador records. Meski tentu hampir sama-sekali tidak pernah saya putar kembali. Bingkai Potret di folder CPU semakin kusam dan berdebu hingga tahun 2008 saya membentuk band ala post-punk kala itu.

Setelah gagal nge-band, setahun kemudian, saya mulai kembali mengurai tumpukan folder MP3. Membersihkan debu yang menempel pada bingkai-bingkai. Menata kembali nostalgia fase post-hipster dalam diri. Saya terhenti pada satu bingkai, Potret.

Perlahan saya mendengarkan satu-persatu. Terperangah bin terjebak. Saya baru saja menyadari bahwa—jauh sebelum saya mengenal sound-sound cutting-edge—mereka telah berhasil mengaduk referensi itu dalam karya-karya mereka. Percayalah! Karena saya akan memberikan bukti pada pembaca.

Saya jumputkan beberapa amsal. Pada album Positive+POSITIVE. Track ‘Kekasih Khayalan’ dan ‘Resah’ sudah sangat tercicip Trip-hop. Berkomat-kamitlah, ini sangat Bristol! ber-Portishead dan ber-Massive Attack. Sangat jelas dan tak harus dielak, Hoed mengenal baik Geoff Barrow. Istimewa? Sudah pasti. Ber-gloomy beat dikandang Aquarius Musikindo adalah bukan hal yang main-main.

Di album yang sama, Potret mencuri kesempatan beradu dengan monster-monster— New York (gambaran New York adalah monster dari cerpen Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam—pen). Adalah saat tiba giliran lagu “Drum dan Vocal”, tak lebih panjang dari durasi film berformat 3GP. Belum sempat orgasme, udah kelar duluan. Namun juga tak sepenuhnya sia-sia. Toh, mereka berhasil membuat otak saya muncrat ke dalam suatu fragmen film “Kill Your Idol”. Sebut saja band DNA bentukan Arto Lindsay. Satu track yang memutus hubungan antara “fan dan artis” (saya dan Yeah Yeah Yeah’s). Yeah! Biarkan saya menanggung dosa. Lagu ini lebih no-wave ketimbang Sonic Youth beserta kerabatnya se-New York movement sekalipun.

Kemudian mari kita sambut anasir yang disebut attitude. Terdengar membingungkan awalnya, namun bergidik selanjutnya saat terpaksa harus memuji. Yang kamu perlukan adalah sedikit perhatian terhadap apa yang mereka sampaikan. Iya, cukup sedikit dan biasakan diri dengan susuatu yang cukup saja. Cukup adalah kata paling ajaib dari chefs Indonesia saat demonstrasi resep.

Cukup kamu menuangkan single-single berjudul “Salah”, “Mak Comblang”, “Ingin Dicium”,  “Terbujuk”, hingga “Maafkan Aku Soewondo” di telinga. Apa yang kamu rasakan? Lirik yang lugas, pastinya. Namun tak hanya itu yang mereka tawarkan. Rebel, seksis, dan wanita yang agresif. Tambahkan lagi cukup sedikit perhatianmu pada potongan rambut outskirt Melly kala itu. Maka niscaya resep attitude telah terasa komplit. Ya ampun, Elizabeth Fraser sudah sepadan jadi sandingan. Pesan feminisme sayap kiri ala cultur scene indie. Riot Grrrrl!? Boleh dooong.

Potret telah dahulu membawa pesan yang sama dengan band-band dari ranah subkultur. Lebih massif. Menjelajahi pustaka kamus-kamus fads lebih dari apa yang kita duga sebelumnya. Kasus paling sulit dan harus diapresiasi adalah bagaimana mereka menarik ulur buhul industri mainstream Indonesia dengan ideal yang mereka wakili. Ideal yang mereka bawa dari perpustakaan referensi underground. Tentu tidak pernah mudah. Banyak musisi yang kandas saat idealisme harus dipertemukan dengan industri. Contohnya bisa dimulai dari para personel Stinky yang awalnya banyak bermain di wilayah progressive, lalu jadi apalah, silahkan nilai sendiri ketika di industri. Hingga nama yang belum cukup lama, band Pepeng cs (baca: Naif) harus cabut dari label demi menjaga ideliasme. Ah, sedikit basi sih saya ngomong idealisme ya? Hahaha.

Selain lagu-lagu dengan komposisi ke-indie-an—yang saya sebut di atas dan tidak dijadikan hit single—nyatanya Protret juga mampu mencetak single yang merajai chart musik Indonesia sepanjang masa. Terbilanglah fenomena hit single “Bunda” yang dirilis awal 2000-an. Lagu yang masih menggelinding seperti bola salju sampai hari ini. Juga “Angan X Cinta” dan “Bagaikan Langit” yang catchy. Dan seterusnya dan seterusnya, you mention it! Adalah landasan yang sahih jika Melly, Hoed, dan Aksan digelari mega-pakar komposer musik pop.

Dalam suatu kitab suci musik indie dikenal ayat yang berbunyi Root, Character, Attitude (RCA). Maka Potret telah mengamalkan perintah tersebut. Bila sudah demikian, akhirnya menggemari Cherry Bombshell atau pun Kubik tak akan se-fetish dahulu lagi.

***

Potret adalah gambaran dari suasana hatimu, dari cuaca-cuacamu, dari waktumu, dari keluargamu, dari temanmu, dari kisah cintamu, dari ke-matre-anmu, dari hidupmu, dan dari tadi gak abis-abis.

Berikan bingkai untuk membuatnya lebih keren!

1 comment:

Anonymous said...

meski saya tidak benar-benar faham tentang musik, menurut saya musik adalah cerita, musik adalah pengalaman, musik adalah pesan.. dan setiap orang akan berbeda dalam menafsirkannya.. tapi dunia tanpa musik seperti halnya sambal tanpa cabai, manisan tanpa gula dan terang tanpa cahaya... "empty", i like it my bro... go ahead... keep moving forward. (my english soo bad,,hehe)