2012/12/23

Haram


Khairul umuri au sathuha — Sebaik-baiknya hal adalah yang berada pada titik keseimbangan.” [Pepatah arab]

Haram

Sebuah kata yang bagai seringai. Memberikan jarak tertentu dalam ketakutan yang menyelinap lubuk. Seringai sekawanan serigala bisa jadi hanya saling bertukar sapa dengan kawanan lain. Hanya sebuah media komunikasi purba. Tapi bagi mereka yang berada di bawah rantai makannya mustahil menyangkal untuk segedar bergidik. Bisa jadi seringai itu, dan/atau label haram, adalah sesuatu yang tak kasat. Dan jarak dengan yang tak kasat bisa didekati dengan iman, pembuktian, ataupun metode penalaran.

Saya tertarik menulis tema ini mengingat betapa akhir-akhir ini kita sering diresahkan dengan kata “haram”. Tentang merokok, berpacaran, bersosial media, dan yang paling anyar adalah bertukar “selamat merayakan hari raya” antar pemeluk agama satu dengan lain.

***

Baik mari kita mulai dengan telisik. Haram berasal dari bahasa arab “haramayahrimuharman” yang berada pada wazan “fa’alayaf’ilufa’lan” —artinya “hormat”. Lalu dengan ziyadah (tambahan) tasdid, menjadi “harramayuharrimu” yang berarti “menghormati”. Dari kata tersebut lalu muncul kata-kata yang telah diadopsi dalam bahasa indonesia seperti harim dan muhrim. Namun bagaimana kata “hormat” erat diasosiasikan dengan “larangan”, mari kita coba mengurainya dengan nalar yang (semoga) mudah dimengerti.Beberapa permisalan haram: suatu tribal di pedalaman memiliki hutan larangan yang haram hukumnya bila dijamah oleh manusia; suatu wilayah sungai yang oleh masyarakat sekitar diangkerkan dan haram bila digunakan untuk hajat manusia; larangan membunuh harimau karena suatu masyarakat tertentu meyakini harimau adalah reinkarnasi nenek moyang mereka; haram hukumnya bagi non-muslim memasuki Masjidil Haram di Mekah; haram bagi Katolik untuk bercerai; haram bagi seorang biksu memakan daging; dan dilarang melakoni yang enak-enak, kata Bang calon yang baru akan dicalonkan (blah!) presiden RI—Rhoma Irama.

Kalau definisi haram tetap saklek pada larangan, betapa miskinnya kita akan makna. Lebih dari itu, makna aslinya pun jadi bias. Nganu, parahnya malah bakal terjadi miskonsepsi akut. Karena akan rentan timbulnya patah logika dasar bahasa. Konsep haram sendiri beyond larangan. Maksudnya segala hal yang diharamkan seharusnya didasari oleh penghormatan. Dalam menentukan larangan dengan kata haram, suatu ajaran maupun adat, didahului oleh pijakan bahwa hal tersebut harus dihormati.

Misal, agama islam mengharamkan bersenggama diluar pernikahan. Berarti islam menghormati aktivitas pemenuhan hasrat dan pelestarian spesies tersebut hingga pada taraf tinggi. Karena saking dihormatinya prosesi senggama, maka hal tersebut dilarang dilakukan sembarangan. Tentu kita meyakini bahwa berlaku “sembarangan” berarti jauh dari kata menghormati.

Bila masih ada suku yang hidup berdampingan dengan hutan larangan. Mereka biasanya punya teritori hutan tertentu—hutan larangan. Pendidikan kita cukup nyandak lah untuk sekedar memahami perlu adanya hutan yang terlindung dari jamahan manusia.

Selanjutnya dalam banyak ajaran terdapat larangan membunuh, memburu, dan mengonsumsi hewan yang berada pada strata rantai makanan tertinggi. Harimau, elang, kera, dan predator lainnya. Sebab kenyataannya, akhir-akhir ini kita tahu, penurunan populasi mereka berdampak pada ketidakseimbangan ekologi.

Dalam bahasa arab ada kata lain untuk kata “dilarang” selain haram yakni “mana’a”. Mana’a memiliki arti yang lebih tak transenden. Misal, dilarang membawa makanan ke dalam kelas; atau pun larangan memakai kaos oblong saat memasuki wilayah kampus. Larangan yang jenis ini lebih bersifat hanya estetis bukan? Nah untuk kata larangan yang cocok ditaruh pada pamflet ini, lebih pas menggunakan “mana’amamnu’” bukan harama.

Jika demikian, artinya setiap pelarangan tindakan dengan istilah “haram” pada dasarnya diikuti kaidah dasar penghormatan terhadap sesuatu. Berbarengan dan tak terlepaskan. Nah jika logika tersebut telah terbentuk, sebaiknya kita mulai serius.

Serius jika yang diharamkan berbarengan dengan adanya penghormatan, maka ada baiknya bagi setiap yang terkena dampak dari hukum haram mengerti benar cara memilah hal apa saja yang patut diberi hormat. Dalam agama saya (islam) penghormatan hanya boleh dipersembahkan untuk Allah dan apa-apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati. Kedua orang tua, tetangga, pemimpin yang adil, hingga saudara pemeluk agama lain yang taat, dan sebagainya. Misalnya haram hukumnya berkata kasar terhadap orang tua meski mereka berbuat salah. Ya berarti musti ngingetin dengan cara yang penuh kelembutan, cari sendiri lah caranya ya :D

***

Pada akhinya keseimbangan tetaplah keseimbangan. Sebelum akhirnya para manusia bertabiat mengharamkan apa saja, Allah telah memberikan pagar batas yang tegas.
“... janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik lagi telah Allah halalkan bagimu. Dan janganlah berlebihan. Karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan ...” [QS 5 : 87]