2013/01/28

Cengklik dan Pancing


Menjadi sarjana muda dengan IPK pas-pasan dan lama studi yang lama memang tidak banyak yang bisa diharapkan untuk modal melamar kerja. Sudah mentok duluan diverifikasi administrasi. Jika ingin mencari beasiswa lanjut studi, yah sama saja punuk merindukan bulan. Lanjut kuliah bermodal dana orangtua pun rasanya tidak tega.

Saya tidak mengeluh atau pun menyesali yang telah berlalu. Karena barang tentu tak ada manfaatnya. Meskipun tak nyaman sepenuhnya, saya menikmati setiap pagi yang pikuk di dalam rumah. Dengan setiap anggota keluarga saya yang ribet bersiap dengan rutin. Lalu saya mengambil sapu dan perkakas kebersihan. Sudah taulah kamu, apa yang biasanya bakalan saya lakukan. Jika rumah saya rasa sudah cukup bersih, segera saya raih sepeda pancal dan menjalankannya seselo mungkin. Menikmati pemandangan daerah sekitar. Berkeliling sembari berkeringat pelan.



Salah satu tempat berhenti yang menyenang ketika bersepeda pagi adalah sebuah waduk yang tak jauh dari rumah. Bernama Waduk Cengklik, berjarak sekitar dua kilometer dari rumah saya. Dinamai Cengklik karena merupakan nama dukuh yang pertama dileb air untuk menjadi waduk. Umurnya telah lebih tua dari usia proklamasi Indonesia. Betul, dibangun oleh gubermen Belanda sekitar tahun 1926. Terletak tepat di Desa Ngargorejo dan Subokerto, Kecamatan Ngemplak, Boyolali. Juga berdekatan dengan Bandara Adi Soemarmo, Asrama Haji Donohudan

Senja di Cengklik dari blog terhubung.

Seperti halnya waduk lainnya—danau buatan dengan bumbungan air dari sungai-sungai—menawarkan pelepasan pandang hingga pupil tercekung. Juga angin sejuk yang dibiarkan menampar wajah. Lebih indah jika di sore yang cerah menghabiskan matari di tempat ini.

Namun berhubung saat ini musim hujan, maka saya menyambanginya pagi hari. Untuk sekedar berjalan di trotoar tanggul waduk yang ber-conblock, dan mengamati para pemancing yang selalu memadati area waduk. Biasanya mereka menggunakan lumut dan cacing sebagai umpan pancing. Ada yang cuma memancing dari tepian, ada juga yang menyewa gethek atau sampan menuju tengah waduk.


Diantara sekian banyak yang memancing di tepi, saya berhenti di belakang punggung tiga orang pemancing. Mereka pasti saling mengenal, pikir saya. Setelah mengukur jarak yang aman supaya tidak mengganggu mereka, saya duduk. Oh iya, tempat yang teduh juga jadi pertimbangan pemilihan tempat duduk. Lalu aksi cucuk a ka kepo dimulai.

Memancing merupakan kegiatan yang menarik bagi saya. Karena ia merupakan manifestasi keseloan. Bagaimana tidak, seringkali memancing berpanasan berjam-jam tanpa pulang membawa tangkapan barang seekor. Toh pemancing sejati akan mengulang di esok hari. Bukankah itu selo? Melakukan hal sama untuk (berharap) mendapat hasil berbeda. Karena memancing memang bukan sekedar memburu ikan. Kan memancing bukan satu-satunya cara untuk mendapat ikan. Memancing adalah kegiatan menguji daya tahan harapan dan panas-panasan. Halah.

“Kowe ki asu kok! Mesti nganggo aji pelet iwak”, terdengar pemancing sisi kiri mengumpati teman disampingnya (yang ditengah) karena berkali-kali kailnya nyangkut di bibir ikan. Ya meski berdampingan dan dengan umpan yang sama, ternyata hasilnya pun tak pernah sama. Hingga saya memutuskan pulang ke rumah, nyatanya hanya satu pemancing yang berkali-kali hooked up. Edward Lorentz akan bilang ikan-ikan itu memilih kail secara chaos. Sedang jauh sebelum itu agama-agama menyebutnya dengan takdir rejeki.

***

“Setiap orang memiliki rejekinya masing-masing”, begitulah kredo dari nenek moyang kita selama ini.

Konsep rejeki yang diusung ajaran-ajaran langit memang seringkali absurd. Bukan karena ketidakterbuktian, namun betapa memang tak mudah dimengerti dengan logika yang datar. Lebih dari itu, ada penafsiran yang kurang lengkap perihal rejeki. Jika kredo di atas diterjemahkan, maka akan menjadi rejeki antara satu orang dengan lain berbeda secara cara dan jumlah. Rawan sekali menjadi pembenaran atas kemiskinan yang dihadapi dengan pasrah. Karena akan memberikan kesan bahwa jika memang dari sananya miskin, biar usaha juga gak bakal berubah. Miskin, dalam artian tidak mencukupi untuk menghidupi.

Kata ‘masing-masing’ menyembunyikan perbedaan jumlah dan cara orang dalam hal mendapatkan rejeki. Juga memperlebar jurang antara kemiskinan dan kecukupan. Atas nama ke-masing-masing-an rejeki. Memang bagaimapun, saya sepakat yang berbeda dari rejeki setiap orang adalah cara mendapatnya saja—tidak mengenai jumlah kecukupan.

Kembali perihal pemuda yang hanya sendirian mendapatkan ikan selama saya perhatikan. Matematika mendekati peristiwa tersebut dengan chaos dan uncertainty. Tepat jika diberlakukan pada pemilihan kail oleh ikan. Namun tanpa pemberian gaya tarik yang tepat dengan momen yang juga tepat—jaminan pemancing bisa melakukan hook up menjadi sirna.

Mungkin ikan itulah rejeki. Perpaduan antara objek yang bergerak chaos lalu kita beri sebuah intervensi momentum dengan tepat. Dua pemancing lainnya seharusnya tak perlu merasa iri karena tentu dia memiliki ke-chaos-annya sendiri. Dengan cara menjala mungkin?
Artinya jika saya diberi kesempatan menjadi khatib jemaat anda, maka saya akan mengimprovisasi kredo yang sudah ada dengan:

“Setiap orang memiliki ‘jalan’ rejekinya masing-masing”, lalu saya melenggang pulang gowes sembari tersenyum penuh selo.

“Ah juaaaancuk!”, kali ini saya yang mengumpat.
“Aku sidane nulis sing njlimet meneh cyuuuk!”, lalu saya pun menggaruk-garuk monitor.

No comments: