2013/06/16

Jalan Pulang


2013/06/10

Nguda Rasa


Beberapa hari yang lalu saya didaulat untuk terlibat dalam sebuah persyarikatan diskusi yang super amboy. Studi yang ditelaah dalam diskusi pun cukup radikal—sebuah film serial nyang legendaris—Si Doel Anak Sekolahan. Ruangnya juga sangat bergaya era 2.0, berupa waktu yang bergaris (baca ‘timeline’ twitter). Waktu saya datang, tau-tau udah diberi nama Center for Si Doel Studies (CSDS). Ada dua kuncen senior di CSDS—Fakhri Zakaria selaku pendiri sekaligus pimpinan trayek Cinere-Gandul; dan Nuran Wibisono sebagai penelaah konflik Kong Ali vs Mandra. Bagi yang belum kenal karena mungkin hanya punya sedikit waktu menikmati timeline twitter di jam makan siang, silahkan baca link ini sebagai pengantar CSDS.

Tapi biarlah perihal itu urusan si Jaki sebagai corong propagandis syarikat, saya mah kejatahan bagian yang intim-intim sedikit gosong. Tentu karena yang intim-intim sedikit gosong itu akan renyah ketika digoreng. Maaf, saya barusan ngelantur! Lebih dari itu, serial tivi semacam Si Doel Anak Sekolahan ini sangat relevan untuk dikaji dalam naungan blog benci-cinta-hidup-dalam mesin ini. Alasannya sederhana, film tersebut penuh lika-liku kehidupan dan percintaan.

Dari sekian hari menjalani diskursus tentang Si Doel Anak Sekolahan, episode ke episode, dialog ke dialog, ada satu kata kunci yang terlalu melekat dipikiran saya. Kata kunci tersebut lebih intim berhubungan dengan pikiran saya melebihi intimnya cinta segitiga Sarah-Doel-Zaenab. Mas dan mbak gak harus menunggu untuk tau apa sebenarnya kata kunci tersebut. Iya mas-mbak kata kuncinya ada di judul—Nguda Rasa.

Kata tersebut secara ajaib muncul dari tuah Mas Karyo yang dirundung pilu selalu. Ini deh episodenya


Pada episode tersebut dijelaskan arti Nguda Rasa yaitu mengajak bicara hati nurani sendiri. Karena hati nurani jika tidak pernah diajak bicara maka ia akan menjadi bisu (Karyo, 1996). Bukankah sangat dalam permenungan dari kata tersebut kawan-kawan? Saya tak merasa cocok dengan beberapa kemungkinan padanan kata yang ada dalam bahasa Indonesia. Mungkin refleksi, instropeksi, retropeksi—tapi ah rasanya belum bisa mewakili Nguda Rasa.

Mungkin yang agak tepat adalah datang dari ranah psikoanalis milik Carl Jung dengan sebutan bertemu ‘Wise Old Man’ bagi lelaki dan ‘Great Mother’ bagi perempuan. Meski sebenarnya dalam budaya jawa—untuk menyebut ritual apa yang Jung maksud—memiliki terma yang spesifik, yakni bertemu ‘kakang kawah lan adi ari-ari’. Terliat seperti klenik mungkin. Padahal di Jepang, para samurai juga melakukan hal serupa (salah bukti dapat dilihat pada film 13 Assassins karya Takashi Miike, pen). Tentu di banyak agama juga memiliki ajaran serupa.

Mengapa kata tersebut saya jadikan kunci? Pertama, tanpa harus mengutip thesis manapun kita mafhum bila film merupakan salah media permenungan yang ampuh. Maka ketika muncul kata Nguda Rasa pada film Si Doel Anak Sekolahan—yang mana mengusung tema benturan budaya di kota metropolitan—mantab lah sudah pesan permenungan yang dikandungnya; kedua,  tanpa harus jauh-jauh mendedah ‘Modern Times’ punya Chaplin alias Jojon versi bule, waktu adalah masalah utama manusia modern.

Adek-adek habis sekolah, kursus olahraga atau musik, ekskul, les privat mata pelajaran. Juga ada adek-adek yang abis kuliah ngerjain tugas, ekstra kulikuler, kumpul himpunan, ngerjain tugas lagi, kuliah lagi. Kakak-kakak pada kerja pulang sore, kena macet, capek, tidur, kerja lagi kadang lembur, tambah dimarahin pabos. Bapak-bapak kerja sampe sore, marah-marahin anak buah, pulang capek, tidak sempat menafkahi batin istri langsung tidur, kerja lagi.. Dan hal-hal yang menjadikan resesi Nguda Rasa semakin tersisihkan dari metropolitan, karena mulai tak sempat.

Saya sendiri tidak tahu pasti. Karena saya belum pernah benar-benar tinggal di Jakarta. Cuma kata Om Guruh Soekarno Putra, di Metropiltan banyak orang yang sering kesepian di keramaian. Rancak bana kan komponis nasional yang satu ini!

Menurut tafsiran saya, ‘kesepian di keramaian’ adalah ketika seseorang sudah tak mampu lagi mendapatkan lawan bicara yang nyaman selayaknya teman—meski begitu banyak orang disekeliling kita. Semua interaksi menjadi basa-basi. Setiap tawa hanya sebagai penyedap mata. Dan setiap sapa segera berujung pada lupa. Parahnya lagi, bila orang tersebut tak lagi mampu mengajak bicara hati nuraninya sendiri.

Saya bertanya, apalagi yang lebih sepi dari keadaan tersebut? Bahkan orang bisu pun mungkin lebih baik nasibnya, karena masih sanggup berbincang mesra dengan hati nuraninya.