2013/09/20

Rumah Kosong

Bata-bata gosong.
Pada rumah yang kosong.
Mengamit jalan besar nan pikuk.
Tak sempat air menjenguk.
Lalu musafir melintas,
sejenak takzim.
Pada serumpun jejaring getas.
Rumit dan pelik, menyisakan keraguan yang menyublim.
Tak perlu diketuk, pikirnya.
Cukup sebuah sapa, susuri dengan niat mengikis jelaga.
Lalu enggan pun bertalu, membuncah seketika.
Pecah dan berderai hanyalah persoalan menunggu.
Ia putuskan menerabas.
Tanpa zirah, tanpa perisai.
Tak lama, matanya lebam
Jejaring yang dipintal, dilapis-lapis larat dan berbelit-belit itu menghujam tak henti-henti.
Bukankah derajat dalam hidup melulu perkara ketahanan memanggul derita?
Dipeluknya halimun yang turun perlahan.
Tak lama laba-laba merangkul tengkuknya dengan bisa.
Peluh tercecer bagai darah rajam.
Keniscayaan perlahan hampa.
Namun kekosongan masih menjadi jalan raya besar menuju kuil penyuci diri.
Musafir kini tahu,
tak semua rumah kosong pernah berpenghuni. Juga tak semua orang layak menghuni.
Tuhan dan keberadaan, pikirnya.
Ah! Masihkah sama?