Menjadi sarjana muda dengan IPK pas-pasan dan lama studi yang lama
memang tidak banyak yang bisa diharapkan untuk modal melamar kerja. Sudah mentok
duluan diverifikasi administrasi. Jika ingin mencari beasiswa lanjut studi, yah
sama saja punuk merindukan bulan. Lanjut kuliah bermodal dana orangtua pun rasanya
tidak tega.
Saya tidak mengeluh atau pun menyesali yang telah berlalu. Karena barang
tentu tak ada manfaatnya. Meskipun tak nyaman sepenuhnya, saya menikmati setiap
pagi yang pikuk di dalam rumah. Dengan setiap anggota keluarga saya yang ribet
bersiap dengan rutin. Lalu saya mengambil sapu dan perkakas kebersihan. Sudah taulah
kamu, apa yang biasanya bakalan saya lakukan. Jika rumah saya rasa sudah cukup
bersih, segera saya raih sepeda pancal dan menjalankannya seselo mungkin. Menikmati
pemandangan daerah sekitar. Berkeliling sembari berkeringat pelan.
Salah satu tempat berhenti yang menyenang ketika bersepeda pagi adalah
sebuah waduk yang tak jauh dari rumah. Bernama Waduk Cengklik, berjarak sekitar
dua kilometer dari rumah saya. Dinamai Cengklik karena merupakan nama dukuh yang
pertama dileb air untuk menjadi waduk.
Umurnya telah lebih tua dari usia proklamasi Indonesia. Betul, dibangun oleh
gubermen Belanda sekitar tahun 1926. Terletak tepat di Desa Ngargorejo dan Subokerto, Kecamatan Ngemplak, Boyolali. Juga berdekatan dengan Bandara Adi Soemarmo, Asrama Haji Donohudan
Senja di Cengklik dari blog terhubung. |
Seperti halnya waduk lainnya—danau buatan dengan bumbungan air dari
sungai-sungai—menawarkan pelepasan pandang hingga pupil tercekung. Juga angin sejuk
yang dibiarkan menampar wajah. Lebih indah jika di sore yang cerah menghabiskan
matari di tempat ini.
Namun
berhubung saat ini musim hujan, maka saya menyambanginya pagi hari. Untuk sekedar
berjalan di trotoar tanggul waduk yang ber-conblock,
dan mengamati para pemancing yang selalu memadati area waduk. Biasanya mereka
menggunakan lumut dan cacing sebagai umpan pancing. Ada yang cuma memancing
dari tepian, ada juga yang menyewa gethek
atau sampan menuju tengah waduk.
Diantara
sekian banyak yang memancing di tepi, saya berhenti di belakang punggung tiga
orang pemancing. Mereka pasti saling mengenal, pikir saya. Setelah mengukur
jarak yang aman supaya tidak mengganggu mereka, saya duduk. Oh iya, tempat yang
teduh juga jadi pertimbangan pemilihan tempat duduk. Lalu aksi cucuk a ka kepo dimulai.
Memancing
merupakan kegiatan yang menarik bagi saya. Karena ia merupakan manifestasi
keseloan. Bagaimana tidak, seringkali memancing berpanasan berjam-jam tanpa
pulang membawa tangkapan barang seekor. Toh pemancing sejati akan mengulang di
esok hari. Bukankah itu selo? Melakukan hal sama untuk (berharap) mendapat hasil
berbeda. Karena memancing memang bukan sekedar memburu ikan. Kan memancing
bukan satu-satunya cara untuk mendapat ikan. Memancing adalah kegiatan menguji
daya tahan harapan dan panas-panasan. Halah.
“Kowe ki asu kok! Mesti nganggo aji pelet iwak”,
terdengar pemancing sisi kiri mengumpati teman disampingnya (yang ditengah)
karena berkali-kali kailnya nyangkut di bibir ikan. Ya meski berdampingan dan
dengan umpan yang sama, ternyata hasilnya pun tak pernah sama. Hingga saya
memutuskan pulang ke rumah, nyatanya hanya satu pemancing yang berkali-kali hooked up. Edward Lorentz akan bilang ikan-ikan
itu memilih kail secara chaos. Sedang
jauh sebelum itu agama-agama menyebutnya dengan takdir rejeki.
***
“Setiap orang memiliki rejekinya masing-masing”, begitulah kredo dari
nenek moyang kita selama ini.
Konsep rejeki yang diusung ajaran-ajaran langit memang seringkali
absurd. Bukan karena ketidakterbuktian, namun betapa memang tak mudah
dimengerti dengan logika yang datar. Lebih dari itu, ada penafsiran yang kurang
lengkap perihal rejeki. Jika kredo di atas diterjemahkan, maka akan menjadi
rejeki antara satu orang dengan lain berbeda secara cara dan jumlah. Rawan sekali
menjadi pembenaran atas kemiskinan yang dihadapi dengan pasrah. Karena akan
memberikan kesan bahwa jika memang dari sananya miskin, biar usaha juga gak
bakal berubah. Miskin, dalam artian tidak mencukupi untuk menghidupi.
Kata ‘masing-masing’ menyembunyikan perbedaan jumlah dan cara orang
dalam hal mendapatkan rejeki. Juga memperlebar jurang antara kemiskinan dan
kecukupan. Atas nama ke-masing-masing-an rejeki. Memang bagaimapun, saya
sepakat yang berbeda dari rejeki setiap orang adalah cara mendapatnya saja—tidak
mengenai jumlah kecukupan.
Kembali perihal pemuda yang hanya sendirian mendapatkan ikan selama
saya perhatikan. Matematika mendekati peristiwa tersebut dengan chaos dan uncertainty. Tepat jika diberlakukan pada pemilihan kail oleh ikan.
Namun tanpa pemberian gaya tarik yang tepat dengan momen yang juga tepat—jaminan
pemancing bisa melakukan hook up menjadi
sirna.
Mungkin ikan itulah rejeki. Perpaduan antara objek yang bergerak chaos lalu kita beri sebuah intervensi
momentum dengan tepat. Dua pemancing lainnya seharusnya tak perlu merasa iri
karena tentu dia memiliki ke-chaos-annya
sendiri. Dengan cara menjala mungkin?
Artinya jika saya diberi kesempatan menjadi khatib jemaat anda, maka saya akan
mengimprovisasi kredo yang sudah ada dengan:
“Setiap orang memiliki ‘jalan’ rejekinya masing-masing”, lalu saya melenggang
pulang gowes sembari tersenyum penuh selo.
“Ah juaaaancuk!”, kali ini saya yang mengumpat.
“Aku sidane nulis sing njlimet meneh cyuuuk!”, lalu saya pun
menggaruk-garuk monitor.