Showing posts with label Noise Box. Show all posts
Showing posts with label Noise Box. Show all posts

2013/07/02

Hujan Bulan Juli


Kamu pasti tahu dengan terma berima ‘i’ dari orangtua yang berbunyi “Januari hujan sehari-hari”. Masih sangat relevan bukan? Iya, dan saya tidak akan mempermasalahkan terma tersebut. Sumber premisnya pun sederhana―tiap bulan januari di wilayah Indonesia sedang berada pada puncak musim penghujan.  Terma telah aman terkendali. Namun rima yang sekarang jadi masalah.

Baru saja saya mengunjungi rumah nenek yang berjarak 10-an kilometer dari rumah. Di perjalanan pulang saya dihajar hujan dan angin kencang. Sampailah saya di rumah dengan keadaan basah kuyup. Hujan dan basahnya tidak menjadi masalah. Tapi saya mau menjadikannya masalah karena ini bulan apa? Ini bulan Juli sudara-sudara. Sekali lagi, hujan dan angin kencang ini ada dibulan Juli.

Dulu orang bikin terma “januari, hujan sehari-hari” selain enak dilidah dan dikuping juga pas dengan keadaan. Gara-gara keenakan, jadi keseringan diucapin. Gara-gara keseringan diucapin, jadi lagu, jadi doa bersama. Celakanya, banyak yang jadi lupa kalo ada nama bulan-bulan lain yang berakhiran ‘i’. Ada Mei, Juni, dan Juli. Bulan-bulan lain tersebut jadi berpeluang terinfeksi hujan sehari-hari. Sudah terbukti.

Kalau dibulan Mei, masih ada toleransi. Karena masih agak dekat awal tahun―meskipun sewajarnya siklus cuaca sudah memasuki kemarau. Sedangkan di bulan Juni?

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono 1989)

Blog yang peka terhadap romantika dan cinta ini memiliki tafsiran sendiri terhadap sajak tersebut. Bahwa ketika Opa Sapardi menuliskan sajak, bermaksud mengungkapkan kerinduan yang mendalam pada hujan, padahal bulan sudah sampai Juni. Singkatnya, berarti di bulan Juni, tak ada hujan.

Namun bagaimana lagi. Lain hulu lain ladang, lain dulu lain sekarang. Main gembot bikin pusing, dulu gembrot sekarang langsing. Rahasianya apa mon?

Kalau kamu mau tahu rahasianya secara sesat, silahkan search di website atau pun blog sains terkemuka di dunia. Sudah banyak hipotesa, hasil penelitian berupa jurnal maupun esai yang mendedah musabab anomali cuaca yang sedang terjadi. Di negara-negara yang beriklim subtropis, sedang, dan dingin masih terjadi badai salju hingga bulan juni yang lalu. Ini salah satunya:


Sedangkan musabab yang paling tepat menurut blog ini adalah cuaca sedang jadi hipster. Iya, hujan di bulan Oktober-Maret alam rasa terlalu mainstream. Masa alam gak boleh edgy dikit? Seperti kamu yang mulai jijik dengan mainstream-mainstream-an. Alam seperti memeberi pelajaran, “kamu jijik ama mainstream, aku mau gak mainstream dikit juga. Biar tau rasa.”

Lalu saya minta ampun pada alam. Sembari menyuapnya dengan suguhan lagu-lagu tentang hujan di bulan Juli. Dengan harapan semoga hujan dan gelap di bulan juli, berhenti pada sebatas nada dan suara. Siapa tahu hujan mau mereda. Siapa tahu hujan mau bijaksana. Siapa tahu kamu mulai enggan berulah sok anti-mainstream.

Berikut daftar lagu persembahan saya pada alam:

4. Shades Apart – Stranger By Day


Snow is falling from the sky in the middle of July// Sun was shining in my eyes again last night// Alarm goes off without a sound// The silence is so loud, something isn't right..

Frase awal lagu seperti bikin daftar keanehan yang ada di dunia ini. Salah satunya adalah hujan salju di bulan Juli.

Tersiar kabar bahwa band tersebut tidak meluncurkan video clip resmi untuk lagu ini. Saya hanya menemukan rekaman livenya disini.

3. Drake ― July


You had to change up the game// Oh the weather is not same// Now there's only cloudy days// I can't stand the rain in July// There were fireworks exploding// But now its getting colder// The leaves are turning colors// Whyyyyyy? // It's just not our season// The one and only reason// Baby oh, baby oh, our Summer turned into Fall..

Saya milih lagu ini karena saya penggemar Agnes Monica eh Montana yang sedang ber-go international dalam ranah musik R & B yow yow... Lek o lek o lek o.

2. Zeke And The Popo ― Menu.


Burry face in the menu// She said ‘i wanna drink’// ‘I wanna cold capuccino’.. (while i’m waiting for my hero)’// The rain begin again, it blends with her tears...// Don’t leave me alone, in the darknest of July..

Seorang gadis berdarah. Lukanya ditekan sembari duduk di jok mobil bagian belakang. Mereka baru saja kalah dan tertangkap oleh musuh. Lalu wajahnya dibenamkan ke dalam pilihan. Pesan minum capuccino sembari menunggu super-hero. Hujan turun bersamaan dengan tangis. Beserta ketakutan ditinggalkan dalam kesendirian. Dalam kegelapan, di bulan Juli..

Psikedilia dari Ibukota..

1. The Monophones ― Rain of July


I'm standing here
in the sky of july
With the blue and cloudy sky
With the land there's dry

The sun
its burning all of the land
Turn the stone into the sand
Leave my world in pain

Dear sunshine
would you give of your time
To give the cloud the chance
when the dream was so blind
Dear sunshine
would you give of your time
To give the cloud the chance
that the dream was so blind

I'm standing here
in the sky of july
With the blue and cloudy sky
With the land there's dry

What should I do at least for a try
To pick a piece of yours
being rain of july
Or should I flying high to the sky
To pick a piece of yours
being rain of july

Dear sunshine
would you give of your time
To give the cloud the chance
that the dream was so blind
Or should I flying high to the sky
To pick a piece of yours
being rain of july

Saya tulis lengkap lirik The Monophones karena mereka saya sebutkan di paling buntut. Sehingga perlu diberi apresiasi lebih. Alasan lain adalah karena saya menyatakannya sebagai lagu hujan bulan Juli nomor wahid.

Demikianlah beberapa bukti artefak bahwa sebenarnya hujan di bulan Juli pada dasarnya banyak dinanti dengan nada dan suara. Lama-lama pun menjadi doa. Dan terkabulkan.

Bagi kamu yang keberatan dengan daftar ini, silahkan ajukan banding atau menambahi dikolom komentar. Atau boleh juga ke akun twitter @Bandeenk.

2012/10/31

Musim Penghujan: Rilis Pers



Menerima materi demo dari sebuah grup musik anyar yang didirikan penghujung 2010, saya mengangguk. Berisi tiga lagu, kelompok yang menamakan diri “Musim Penghujan” ini mematutkan diri untuk disimak. Terdiri dari empat manusia—yang rata-rata merupakan purnawirawan pasukan dreampop, Amnesiac Syndrome—mereka menawarkan sebuah gagasan deru nuansa murung yang basah. Genre? Oke, saya berikan clue. Mereka adalah band yang masuk ordo indierock dengan dominasi chord minor.

Sesuai dengan namanya, materi Musim Penghujan dibuka dengan track “Bebal”. Riuh permainan sequence gitar Rizki Baruna Aji. Bagai kilat—gemerlap feedback yang membuat suhu pikiran berkeringat. Gemuruh paduan backing vocal yang sorai adalah guntur yang dibalut gebukan drum Indra Agung Hanifah dan tempo enerjik yang dijaga oleh Hengga Tiyasa, sang bassist. Tebal dan dekat dengan kesan era Alt-Rock 90-an. Lirik yang dilantunkan Bili seperti sebuah refleksi manusia yang terus-terusan terjebak oleh sistem modern. Sedikit sinis, bermetafora, dan tema yang general.

Hujan telah turun. Cukup deras untuk membubarkan barisan massa organisasi militan saat track kedua, “Demi Tuhan” dilantunkan. Dibuka dengan (lagi-lagi) umpan balik sequence gitar. Tempo yang ditawarkan pun sama enerjik dengan track pertama. Liriknya juga dibalut metafora. Kali ini dengan sentuhan sisi manusia yang lebih sentimentil, pemujaan. Mengingatkan kita bahwa kepercayaan adalah sesuatu ruang yang sunyi bagi setiap manusia.

Namun mengumpamakan hujan dengan sesuatu yang (hanya) memiliki sisi gelap tentu akan salah besar. Saat track “Sampai Dimana Kita Nanti” diputar, berarti hujan tak lagi menghujam deras. Sekedar rintik namun masih gelap. Meninggalkan kebingungan—apakah rencanamu untuk keluar rumah sebaiknya kamu realisasikan atau tetap diam dan batalkan. Rerintik layer gitar tetap dijadikan dominasi. Lirik semi-politis dan/atau humanis yang disiratkan. Mungkin telah menjadi benang merah trademark mereka.

Hingga selesai saya memutar demo “Musim Penghujan”, mereka meninggalkan lahan yang basah. Sekali lagi, basah. Karena mereka cukup memberi kesegaran dengan lirik-lirik berbahasa Indonesia. Namun tanah yang mereka basahi belum cukup terpuaskan untuk menjadi serta-merta subur. Alasan utama bisa jadi karena usia band yang masih muda. Telah ada benih musikalitas indierock yang lebih condong dengan negeri Paman Sam. Namun akan menarik untuk menanti pupuk dan kejutan hibrida jenis apa yang akan mereka cangkokkan nantinya. Sehingga pada dasarnya saya memberi konklusi, bahwa “Musim Penghujan” layak disimak. Meski tentu tak ada jaminan bagi siapapun akan bilang wow sambil buggy jumping saat mendengarkannya pertama kali.

Pada akhirnya selamat datang di Musim Penghujan. Sibukkanlah segala upaya untuk menyelamatkan diri dari derunya.

Silahkan menyimak demo pada akun jejaring soundcloud mereka.

2012/07/15

Kita Menatap: Ian Curtis yang (hanya) Mati Muda


  “Life is a great big canvas, and you should throw all the paint on it you can (Danny Kaye, 1913-1987).”

Berikut tulisan ini dibuat. Sebagai kado ulang tahun untuk Ian Curtis dan para pemuda generik yang terus menyimpan epos rock n roll purna.

***

 Sepan yang presisi berarti kanvas kosong begitu menggoda. Kita boleh bertanya darimana memulai sebuah lukisan (kehidupan). Seorang pelukis bisa jadi memang ingin sedikit bersaing dengan tuhan. Dalam dirinya—memutuskan sebuah noktah penciptaan, dari rentetan chaos warna dan rupa. Mengaduk-aduk netra yang menyesap pada reruntuhan karsa. Entah pada fase apa ia memutuskan untuk menyatakan cukup dan kemudian memanggilnya karya.

 Syahdan, kisah tentang salah satu lukisan ini dimulai dari noktah yang terciprat pada suatu sudut kiri bawah bagian kanvas. Memorial Hospital, Old Trafford, Manchester, 15 Juli 1956 tepatnya. Sepasang Curtis menamai anak itu dengan “Ian Kevin”. Tangan pelukis belum diangkat dari kanvas. Goresan memperpanjang noktah menjadi sebuah garis tak lurus. Saat berusia pre-school, Ian mengagumi kisah-kisah dongeng Ladybird dan sungguh menggilai aktivitas menggambar prajurit Gladiator.

 Gemericik. Adalah Ian yang usia belasan, berbaring di atas dipan dalam cahaya yang lindap dan memutar kencang rekaman-rekaman rock 60-an. Bowie, Morrison, Iggy Pop, Joplin, Dean, hingga Lou Reed adalah melulu yang dijadikan impian olehnya. Selanjutnya tampaklah tataran perbukitan atau gelombang ombak atau badai suara—kita tak pernah tahu pasti. Ian menggemari upaya-upaya halusinasi. Bersama partner kriminalnya, Tony Nuttall, menelan ramuan sendiri—pil atau pun tablet dari kotak P3K. Pertemanan yang sampai dijuluki Batman dan Robin. Keduanya lebih menggemari maskulinitas The Who dan The Rolling Stone ketimbang Beatles. Tony juga merupakan partner band pertama Ian yang tak bertahan lama—atau segera bubar dengan mengenaskan tanpa satupun karya.

 Dapat dipastikan. Gelombang berikutnya adalah gejolak kawula muda—kisah kasih asmara. Diam-diam Ian mengagumi kekasih Tony—Deborah Woodruff.  Ian menebar pesona pada Debbie dengan puisi-puisinya. Hingga akhirnya Debbie kepincut dan Tony pun merestui mereka untuk berkencan. Ian terus menggombal untuk memperdalam cinta Debbie kepadanya. Salah satu rayuan yang paling dikenang Debbie adalah puisi pada hari Valentine 1973.

I wish I were a Warhol silk screen
Hanging on the wall
Or little Joe or maybe Lou
I’d love to be them all
All New York city’s broken hearts
And secret would be mine
I’d put you on a movie reel
And that would be just fine


“Cinta membuat hidup lebih berwarna”,  katanya entah siapa. Tapi si pelukis tidak memilih warna selain hitam-putih. Pelukis memilih untuk tetap membuat riak gelombang yang lebih tinggi. Setelah cinta, ia merasa cukup dalam bersekolah di King’s School Macclesfield yang kemudian memilih belajar sejarah. Ian mulai membuka katup energi resisten. Ia berdebat hebat dengan tutor di jurusan sejarah St John’s College cabang Manchester. Hanya terbilang beberapa minggu ia ngambek dari kampus multinasional tersebut. Semenjak itu ia memutuskan melempari kanvas dengan cat hitam sebagai background. Lantas memprovokasi sang kekasih untuk juga meninggalkan sekolahnya.

Tidak berselang lama, Ian mengajak Debbie menikah muda. Tentu Debbie terguncang, namun dapat disimpulkan ajakan tersebut dampak tabiat super-posssesif Ian. Salah satu thesis ini berdasar pada rewelnya Ian mempermasalahkan gaun pernikahan Debbie. Ian memaksa gaun pernikahan harus high-necked. Ian tidak suka bila pria-pria lain menatap Debbie.



Pelukis kembali mengulang garis tak lurus semi-datar. Bukan karena kenyataan awal kehidupan rumah tangga mereka dengan rutinitas yang hambar. Tapi karena kisah lukisan ini tak perlu bertele-tele lagi. Karena yang akan terjadi setelah ini adalah sejarah band Joy Division. Buat apa ditulis ulang? Toh telah banyak dibahas di banyak web, zine, majalah, dan film. Yang intinya bla bla bla hingga tiang gantung jemuran.

***


Artwork album Unknown Pleasure (1979) karya Peter Saville di atas mungkin merupakan simbol yang paling membekas di hati para penggemar Joy Division. Dapat dikatakan telah memiliki kadar sama elatif dengan “Pisang” Warhol pada cover The Velvet Underground and Nico (1967). Jamak pada poster dinding, desain pakaian, apparels, stiker, dan banyak media jiplak lain. Ian Curtis memang mengaku dipengaruhi oleh Lou Reed dan kawan-kawan dalam hal bermusik. Namun apa yang membuat grafik dua warna tersebut begitu memikat, perlu ada spekulasi untuk mendedahnya.

Anggap saja gambar tersebut memang berbisik deskripsi pola hidup Ian Curtis. Semi-repetisi gelombang sebagai delegasi amarah. Energi yang dicuri dari semangat punk. Keputusasaan dan depresi puitis dalam derak bariton nan parau. Tarian epilepsi yang begitu asik sendiri. Serta gejolak cinta zigzag antara Debbie dan Annik Honoré. Latar yang hitam memang terkesan dibuat-buat. Ian terlahir dan tumbuh di keluarga kelas menengah kota. Ian mewarisi bakat resah dari ayahnya yang seorang penulis.

Dari kesaksian teman kantornya, Ian juga patut diduga masochist. Lihatlah ini!

“When Ian got epilepsy it didn't affect him, didn't stop him. I think he accepted his epilepsy. He was very happy-go-lucky. He had a great sense of humour. He would come in, in the morning, and it was obvious that he had travelled overnight from a gig. It never affected his work. I was amazed.”
(Ernest Beard)

Celakalah bagi mereka yang masih berpikir bahwa Ian Curtis bunuh diri karena frustasi dengan epilepsi. Bahkan Debbie sendiri menganggap spekulasi itu adalah konyol.

Selain itu, obsesinya juga telah matang—membuat gelombang yang terulang. Sejak pertama dibentuk, ia ingin meyakinkan dunia bahwa Joy Division adalah Velvet Underground baru. Ia juga telah lama mencemburu pada megah-ripah yang dimiliki Morrison dan Hendrix—kejayaan mati muda.

Lukisan yang saya ceritakan di atas tidak bermakna bahwa Saville adalah pelukis kanvas tersebut. Tapi Ian sendirilah pelukis kanvasnya. Karena Saville tidak melukis gambar—yang terinspirasi old wave length graph—tersebut pada kanvas, melainkan pada kertas. Saville bisa jadi salah satu jenis seniman yang dengan karyanya mampu memprediksi apa yang akan terjadi dimasa depan. Sebuah epos putih, di atas hitam—pada masa depan Joy Division.

Ian bertolak belakang dengan adagium koresponden Danny Kaye. Ia tidak sepaham dengan semua (warna) cat (kehidupan) harus dilempar ke kanvas. Ian tegas memilih warna hitam dan putih. Yakni sebuah spektrum polar yang manunggal. Layaknya kaidah primordial Yin dan Yang—keutuhan karena berseberangan dan lawan adalah penegas keber-ada-an. Latar hitam mungkin benar paten sebagai delegasi pusara yang ditujunya pada usia 23. Sedangkan gelombang putih paralel adalah kejayaan yang mengikutinya.


Terlepas dari takdir ilahiyah, Ian memang akhirnya tidak takut mati—atau malah yang terjadi adalah ia takut pada hidup—demi kejayaan dirinya. Ah kejayaan. Benar. Karena sebenarnya tidak sedikit musisi yang mampu menyamai kualitas lirik, joged, frustasi, dendangan dan segala atributnya. Namun dalam lukisan itu kita tidak bisa untuk cuek pada tanggal yang tersimpan 15 Juli 1956 - 18 Mei 1980.

Bila benar kejayaan melulu diperoleh lewat jalur tebas diri, saya takut hidup memang sudah sedemikian tengik—hari ini.

Pada akhirnya kita menatap : Ian Curtis yang (hanya) mati muda untuk dirinya sendiri. Selamat mengulang tanggal dan bulan lahir (15 July 1956).

***

Referensi utama seluruh bagian epik berasal dari tulisan—seorang wanita yang setia menjanda—Deborah Curtis dengan bukunya “Touching from a Distance Ian Curtis & Joy Division”.

2012/06/06

Potret dan Sebuah Pengantar Lain #LearnsToPop



(gambar di-copy dari blog ini)


Saya punya cara gampang menilai seseorang sebagai pemerhati musik. Bukan banyaknya koleksi CD atau plat. Atau bagaimana dia begitu paham luar dalam terhadap nama-nama band asing yang bahkan baru pertama kali saya dengar sesudah dia berbicara. Tapi coba tanyakan dia tentang beberapa nama yang melintang di ranah  pop mainstream Indonesia. Pungkas penyebar endemi #LearnsToPop yang sekaligus bergelar jurnalis keple dari madzab Jakarta Beat, Fakhri Zakar(ia).

Ia berhasil mengganggu kesadaran saya. Menguntit hasrat untuk mengais memori—agar tak terjebak pada pilihan yang kurang kece (ST 12 atau Smash, misalnya)—dalam menentukan musisi mana yang sebaiknya jadi bahan tulisan. Saya sih ogah berdebat kalau kamu kekeuh membela mereka. Seraya memilah-milah, saya merenungkan; kenapa pop mainstream sih? Ada suatu kutipan:

Sungguh tidak mengganggu saya bahwa para shoegazer berasal dari kalangan elite (posh-oes)—memang benar bahwa saya terganggu ketika orang tua dari anak-anak band Slowdive membelikan mereka mobil dan gitar. Saya tidak terganggu ketika mereka adalah orang-orang dari kelas menengah. Yang mengganggu saya adalah kenyataan bahwa mereka membikin musik yang sangat menjemukan. (NME, 4 Januari 1992).

Apa yang kita lihat dari kutipan ulasan termaktub diatas adalah bahwa kenyataan selalu ada gegar saat suatu budaya tertentu melintasi budaya lain. Dalam contoh kasus ini, musik shoegaze—yang notabene bagian dari subkultur—ke ranah arus utama. Bagi para penganut “kekerenan” itu haruslah dibasiskan pada elisitas dan anomali, maka akan mudah menyatakan bahwa genre shoegaze adalah ayat suci baru yang harus diamini. Sedangkan di pihak yang masih serius bertanya (bahkan hingga saat ini) tentang keberadaan letak keindahannya, band shoegaze hanyalah kumpulan orang nir-skill yang membuat musik bising dan false.


Selera dalam Pasar Budaya

Bayangkan diri kamu tengah berada pada suatu foodcourt —dengan deretan etalase makanan cepat saji— kamu harus memilih restoran dan menu apa yang akan kamu santap. Diantara sempitnya sela-sela waktu kerja, memilih menu saat istirahat makan siang membutuhkan kejelian tersendiri. Pilihan menu tidak lagi hanya (melulu) berdasar kriteria selera dan harga. Mempertimbangkan waktu penyajian, porsi, dan nutrisi yang akan mengawal kamu untuk melanjutkan rutinitas patut dijadikan variabel yang wajib.

 Bentar!
Ajakan membayangkan memilih menu makan siang adalah gocekan analogi dari saya.

Dalam hal ini, pop mainstream adalah makanan cepat saji. Melalui ritual acara tv. Menyelinap diantara ocehan penyiar radio. Diputar kencang dalam kerumunan fasilitas publik. Didendangkan pengamen atau bahkan subwoofer angkot yang kamu kendarai. Pop mainstream kadangkala menjadi mimpi, wujud yang muncul dan eksis tanpa diduga. Ia seringkali menjadi yang pertama menjembatani perkenalanmu dengan apa yang kamu sebut, musik.

Seiring dengan kamu menjalani hari, kamu akan dengan sendirinya memilih. Artis atau band mana yang akan kamu hidupi. Bisa berdasar pada keterikatan emosi. Bisa juga segi lirik, maupun musikalitas. Mungkin juga kamu mulai menggemari paras dan lekuk si artis yang bohay sehingga tak perlu berkeliling dengan estetika buatan wartawan. Dari segi manapun itu, dalam industri semua halal.

Kehalalan tersebut—dalam menentukan selera diantara penjejalan budaya pasar—sering menjadikan selera adalah nilai yang bias. Saya tidak sedang membenarkan Theodor Adorno yang mati-matian mengutuk budaya murahan. Ia kerabat mazab Frankfurt yang menjadikannya mudah dalam hal memilih makanan lambat nan bernutrisi tinggi. Ia tidak terlalu menemui kesulitan akses untuk berada diluar budaya industri penjaja komoditas.

Sederhananya, menjadikan salah satu musisi mainstream sebagai selera, akan lebih sulit dibanding menjadikan musik cutting-edge sebagai bahan idola. Karena barometer musik cutting-edge seringkali jumud pada substansi dan manifesto estetika. Sedangkan musik mainstream?

Dengan demikian, pagelaran #LearnsToPop bisa jadi sesuatu yang menantang.

Maka benarlah nabi Fakhri dengan sabdanya: Hipster yg dengerin musik pop mainstream Indonesia itu derajatnya naik dua kali lipat #LearnsToPop

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Potret yang Terbingkai


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digital berarti: 1 gambar yg dibuat dengan kamera; foto; 2 gambaran, lukisan (dalam bentuk paparan). What so ever! Tapi menengok serpak terjang mereka di blantika musik nasional, nama band ini (POTRET) mampu mewakili segala daya dan upaya yang telah mereka toreh.

Potret bisa jadi Melly Goeslaw, Anto Hoed, dan Aksan Sjuman. Namun bagi saya, Potret adalah ‘Bagaikan Langit’ atau bisa juga ‘Bagaikan Langit’ adalah Potret. Saya sedang belajar memainkan kunci balok—setidaknya demikian dahulu saya menyebut kord—pada gitar. Menggenjreng ala semi-depth dengan patah-patah. Usia yang bermedio belasan dan tercatat sebagai anak kelas dua SMP.

Saya menghidupi “Bagaikan Langit” sebagai bagian dari waktu. Diantara jeda bel sekolah bertitel madrasah. Diantara asrama massal berpenghuni belasan orang dalam satu kamar. Saya bersekolah di pesantren ketika itu. Maka wajar jika saya berapologi. Maaf, saya tidak mengenal Potret dengan baik saat itu selain ‘Bagaikan Langit’. Alih-alih memahami citarasa sound recording, riff gitar, aransemen, wadda wadda.. Saya dulu hampir tidak peduli jika Potret dibentuk tahun 1995. Yang jelas, tahun ‘Bagaikan Langit’ dalam pribadi saya adalah 2001.

2007. Saya mulai mengenal istilah cutting-edge. Untuk tahun itu saya dedikasikan seutuhnya menjadi hipster total. Namun saya tak pernah sempurna untuk menghapus folder Potret dari hardisk CPU. Potret tetap terbingkai diantara ayat-ayat Capitol records dan Labarador records. Meski tentu hampir sama-sekali tidak pernah saya putar kembali. Bingkai Potret di folder CPU semakin kusam dan berdebu hingga tahun 2008 saya membentuk band ala post-punk kala itu.

Setelah gagal nge-band, setahun kemudian, saya mulai kembali mengurai tumpukan folder MP3. Membersihkan debu yang menempel pada bingkai-bingkai. Menata kembali nostalgia fase post-hipster dalam diri. Saya terhenti pada satu bingkai, Potret.

Perlahan saya mendengarkan satu-persatu. Terperangah bin terjebak. Saya baru saja menyadari bahwa—jauh sebelum saya mengenal sound-sound cutting-edge—mereka telah berhasil mengaduk referensi itu dalam karya-karya mereka. Percayalah! Karena saya akan memberikan bukti pada pembaca.

Saya jumputkan beberapa amsal. Pada album Positive+POSITIVE. Track ‘Kekasih Khayalan’ dan ‘Resah’ sudah sangat tercicip Trip-hop. Berkomat-kamitlah, ini sangat Bristol! ber-Portishead dan ber-Massive Attack. Sangat jelas dan tak harus dielak, Hoed mengenal baik Geoff Barrow. Istimewa? Sudah pasti. Ber-gloomy beat dikandang Aquarius Musikindo adalah bukan hal yang main-main.

Di album yang sama, Potret mencuri kesempatan beradu dengan monster-monster— New York (gambaran New York adalah monster dari cerpen Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam—pen). Adalah saat tiba giliran lagu “Drum dan Vocal”, tak lebih panjang dari durasi film berformat 3GP. Belum sempat orgasme, udah kelar duluan. Namun juga tak sepenuhnya sia-sia. Toh, mereka berhasil membuat otak saya muncrat ke dalam suatu fragmen film “Kill Your Idol”. Sebut saja band DNA bentukan Arto Lindsay. Satu track yang memutus hubungan antara “fan dan artis” (saya dan Yeah Yeah Yeah’s). Yeah! Biarkan saya menanggung dosa. Lagu ini lebih no-wave ketimbang Sonic Youth beserta kerabatnya se-New York movement sekalipun.

Kemudian mari kita sambut anasir yang disebut attitude. Terdengar membingungkan awalnya, namun bergidik selanjutnya saat terpaksa harus memuji. Yang kamu perlukan adalah sedikit perhatian terhadap apa yang mereka sampaikan. Iya, cukup sedikit dan biasakan diri dengan susuatu yang cukup saja. Cukup adalah kata paling ajaib dari chefs Indonesia saat demonstrasi resep.

Cukup kamu menuangkan single-single berjudul “Salah”, “Mak Comblang”, “Ingin Dicium”,  “Terbujuk”, hingga “Maafkan Aku Soewondo” di telinga. Apa yang kamu rasakan? Lirik yang lugas, pastinya. Namun tak hanya itu yang mereka tawarkan. Rebel, seksis, dan wanita yang agresif. Tambahkan lagi cukup sedikit perhatianmu pada potongan rambut outskirt Melly kala itu. Maka niscaya resep attitude telah terasa komplit. Ya ampun, Elizabeth Fraser sudah sepadan jadi sandingan. Pesan feminisme sayap kiri ala cultur scene indie. Riot Grrrrl!? Boleh dooong.

Potret telah dahulu membawa pesan yang sama dengan band-band dari ranah subkultur. Lebih massif. Menjelajahi pustaka kamus-kamus fads lebih dari apa yang kita duga sebelumnya. Kasus paling sulit dan harus diapresiasi adalah bagaimana mereka menarik ulur buhul industri mainstream Indonesia dengan ideal yang mereka wakili. Ideal yang mereka bawa dari perpustakaan referensi underground. Tentu tidak pernah mudah. Banyak musisi yang kandas saat idealisme harus dipertemukan dengan industri. Contohnya bisa dimulai dari para personel Stinky yang awalnya banyak bermain di wilayah progressive, lalu jadi apalah, silahkan nilai sendiri ketika di industri. Hingga nama yang belum cukup lama, band Pepeng cs (baca: Naif) harus cabut dari label demi menjaga ideliasme. Ah, sedikit basi sih saya ngomong idealisme ya? Hahaha.

Selain lagu-lagu dengan komposisi ke-indie-an—yang saya sebut di atas dan tidak dijadikan hit single—nyatanya Protret juga mampu mencetak single yang merajai chart musik Indonesia sepanjang masa. Terbilanglah fenomena hit single “Bunda” yang dirilis awal 2000-an. Lagu yang masih menggelinding seperti bola salju sampai hari ini. Juga “Angan X Cinta” dan “Bagaikan Langit” yang catchy. Dan seterusnya dan seterusnya, you mention it! Adalah landasan yang sahih jika Melly, Hoed, dan Aksan digelari mega-pakar komposer musik pop.

Dalam suatu kitab suci musik indie dikenal ayat yang berbunyi Root, Character, Attitude (RCA). Maka Potret telah mengamalkan perintah tersebut. Bila sudah demikian, akhirnya menggemari Cherry Bombshell atau pun Kubik tak akan se-fetish dahulu lagi.

***

Potret adalah gambaran dari suasana hatimu, dari cuaca-cuacamu, dari waktumu, dari keluargamu, dari temanmu, dari kisah cintamu, dari ke-matre-anmu, dari hidupmu, dan dari tadi gak abis-abis.

Berikan bingkai untuk membuatnya lebih keren!

2010/09/05

Wuislmustang is LHL inTheMachine Artist of the Month


Andaikan saja ; sebuah perselihan klasik tentang "seni untuk seni vs seni untuk sosial" berada pada titik kulminasi dan tak dapat dipertemukan lagi jalan tengahnya. Kemudian kalian tersudut dengan pameo bahwa menjadi tengah-tengah hanyalah suatu yang cemen, banci, hingga opurtunis. Akan berdiri di sisi manakah kalian?

Oh masih terlalu rumit? Begini, beberapa waktu yang lampau saya mengetahui dua orang teman yang (masih saja) begitu serunya memperdebatkan tentang esensi "Good Music". Teman saya yang satu - ngotot dengan pendapat bahwa musik yang keren haruslah musik yang memberi pesan hingga memiliki andil terhadap suatu perubahan. Sedangkan teman saya yang lainnya berpendapat - mengapresiasi seni ya, tentang mengapresiasi keindahan, begitu pula dengan cara mengapresiasi musik. Dan mereka saling pamer urat leher. hmmmm.

Sedang saya? OK, kalau saya memilih menjadi yang dianggap banci, cemen, hingga oportunis tadi. Opss! Saya punya alasan tentunya. Bagi saya, menjadi tengah berarti kita memiliki pilihan sendiri diantara pilihan yang telah ada (dipaksakan) sebelumnya. Menjadi tengah berarti kita menahan diri dari sekedar ikutan eksis dengan tameng radikalisme.

Ah saya melantur. Padahal awalnya saya hanya ingin membicarakan atau mengenalkan (bagi yang belum kenal) sebuah kelompok cipta/rangkai suara dari negeri Jerman. Mungkin kita akan sedikit ribet menyebut namanya. Mau coba? bacalah ini "WUISLMUSTANG". Yah masih lebih mudah lah ya kalo dibanding dengan nama-nama band yang berasal dari Iceland. hehehe. Wuislmustang adalah Artist of the Month versi LHL inTheMachine. Mereka baru memiliki dua mini album : B- Sides dan Wrong Side Of The Road (2010)


<a href="http://wuislmustang.bandcamp.com/album/b-sides">Affective Advertisement by Wuislmustang</a>

<a href="http://wuislmustang.bandcamp.com/album/wrong-side-of-the-road">Superstar by Wuislmustang</a>

Wuislmustang adalah sebuah jalan tengah yang cukup baik untuk kedua teman saya yang berselisih tadi. Secara estetika seni - apakah kalian ragu jika saya mengatakan sebuah band yang memainkan musik jenis progressive rock adalah musisi dengan skill adiluhung? Pada part tertentu mereka adalah jelmaan Genesis, Rush, hingga Dream Theater. Kerutkan dahi kalian! dan merasalah sebagai orang tolol karena pada part berikutnya kalian akan berkata, kok ini kayak Art-rock, Kraut, akhir Psychedelic ala Pink Floyd, Faust, dan atau Can yaaa. Eh tapi ga juga ding, Folk-rock nya juga ada. Bergumamlah pikiranmu "The Kinks, Neil Young, atau malah jangan-jangan Zeppelin sih?". Hah? bukan-bukan. Ya ampun, this sound's new, sequence dan ambient-nya mirip Post-rock/Indie-rock. Sungguh, sebagai orang yang hobi membandingkan sound, saya telah benar-benar dibuat tolol oleh mereka.

Lantas masalah pesan. *sigh* Bacalah ini kawan!

Warchild

1948 Internal Conflict in Burma 7.000 victims
1991 Somalia, Civil war 400.000 victims
2001 War in Afghanistan 70.000 victims
2003 Iraq War with up to 1.000.000 casualties
The Kivu Conflict in the
democratic republic of Congo and Rwanda 400 victims
2004 The year of war in North-West Pakistan 14.000 victims

war in Yemen and Saudi Arabia 8.000 victims
war in Fiji and Rotuma 500 Victims

2006 Conflict in the Niger Delta, Nigeria unknown Number of victims
Mexican Drug War with over 10.000 victims
2007 Conflict in the Trans Sahara, Senegal 15.000 victims

And the newest war in North Caucasus with 200 victims already!


Penggalan lirik pada lagu Warchild ini dilafalkan dengan intonasi begitu naratif namun provokatif, layaknya sebuah agitate speech seorang korlap demo depan kantor pemerintahan. Oh No No! mereka tidak sampai tataran mengutuk maupun membenarkan "perang" pada lagu tersebut. Karena pada bandcamp Wuislmustang, mereka mengatakan bahwa :

"This track shall make you to think about war. It does not rate war as something good or bad but it does bring up some facts about war. Some facts to think about, to make your own decision possible. No decision if war is something good or bad, more a decision about how to handle with war and its contemporary substance."



Cermati juga semua lirik-lirik di setiap tracks yang juga sama kerennya! Sungguh-sungguh kalian akan mengetahui betapa bijaknya mereka dalam hal menangkap fenomena menjadi gubahan frasa.

***

Wahai temanku penganut musik pesan perubahan. Bukankah engkau ingat dengan sabda yang sangat populer dari sesembahanmu, Jim Morrison? " No social revolution without personal revolution". Renungkan lagi hipotesis Gaia, Prinsip Anthropic, dan Butterfly Effect! Maka akan kamu sadari, bahwa lirik personal itu adalah sangat sosial, dan lirik sosial sangatlah personal.

Dan untuk temanku yang menyembah bentuk-bentuk keindahan. Tunggu dulu! apa guna seniman jika ia hanya membuat emas menjadi sesuatu yang berkilau? Non sense, memang sudah darisana nya emas itu berkilau. Seniman yang abadi adalah yang menjelmakan seonggok batu usang menjadi patung megah, segenggam pasir menjadi keramik mengkilap, dan foto tentang comberan itu sungguh indah. Terangnya, ah saya mulai khawatir kalo kamu mulai menilai karya dari yang telah terhidang, bukan bagaimana sang artis menghasilkannya.

2010/06/06

Tripping Junkie - Quasars


Well, jika kamu membaca postingan sebelumnya, maka kamu telah tahu kalau ini adalah tulisan bayar hutang yang baru terlunasi setelah sekian bulan. Akhirnya mau atau tidak ini tetaplah h u t a n g. Tidak bisa ditunda lagi membayarnya. you know lah! sebelum pengikut artis lipsing dadakan semacam Shinta & Jojo akan ramai-ramai memenuhi petak televisimu bagai pembalakan liar hutan (*loh?). Yah, meskipun fenomena tersebut bukan buruk sepenuhnya. Lagian itu juga bentuk terealisasinya kalimat "...In the future, everyone will be world-famous for 15 minutes." (Andy Warhol, 1968). Tapi mungkin ada baiknya kita menghargai personal-personal yang gigih untuk terus berproses.

Kembali ke Tripping Junkie (TJ) album Quasars. Kamu pernah mendengar band-band semacam The Hives, The Strokes, Black Rebel Motorcycle Club, hingga Jenny ? yap! Sounds of garage/neo-psychedelic/rock adalah benih band ini, atau khususnya album ini.

Tapi layaknya ketika kamu menggigit kurma yang ditanam dipekarangan rumahmu. Meskipun benihnya asli dari Timur Tengah, jangan harap rasanya sama persis. Demikian jika kamu korek kupingmu lebih bersih setiap habis mandi. TJ, yang semua ari-ari personelnya ditanam di Nusantara (kecuali Asad, saya tidak yakin. hehehe Joke!). TJ sendiri lahir & bertumbuh kembang di kota gudeg ini, maka jelas mereka tidak akan membuahkan musik yang sama persis dengan benih mereka.


Mari kita buka! Pertama, adalah cover CD album. Begitu tidak konvensional. Menggunakan metode lipat yang unik. Kedua, tema bahasan lagu beragam. Mulai dari perkenalan pada "In The Beginning". Percintaan dan cerita entah yang dibalut imajinasi absurd khas psychedelic pada hampir setiap tracks. Hingga Kesadaran ekologis pada " Suvenir Abad Batu" dan "Besi, Baja, dan Perak". Ketiga, kualitas sound dan aransemen. Overall sounds not bad! aransemen dari progressive chord hingga beat drum yang menurut saya menarik, janggal, namun menunjukkan karakter band adalah pada " Hyena", "Novus Mondus", "In The Beginning", dan"B.E.T.A". Merangsang otot kerut dahi!

Meskipun pada track "Besi, baja, dan Perak", pemilihan penggalan kata cukup mengganggu bagi saya, namun sekali lagi proses itu menyenangkan kawan. Kalian yang pernah nge-band akan benar-benar paham maksud saya.


Tracklist:
01. In The Beginning
02. Blushy
03. Drakula Wanita
04. Novus Mondus
05. Hyena
06. The Dancing Dwarf
07. Besi, Baja, Perak
08. B.E.T.A
09. Suvenir Abad Batu
10. This How I Spent My Life

Download Album!

dan jika kamu menyukai album ini, segeralah mencari CD mereka!