2012/07/15

Kita Menatap: Ian Curtis yang (hanya) Mati Muda


  “Life is a great big canvas, and you should throw all the paint on it you can (Danny Kaye, 1913-1987).”

Berikut tulisan ini dibuat. Sebagai kado ulang tahun untuk Ian Curtis dan para pemuda generik yang terus menyimpan epos rock n roll purna.

***

 Sepan yang presisi berarti kanvas kosong begitu menggoda. Kita boleh bertanya darimana memulai sebuah lukisan (kehidupan). Seorang pelukis bisa jadi memang ingin sedikit bersaing dengan tuhan. Dalam dirinya—memutuskan sebuah noktah penciptaan, dari rentetan chaos warna dan rupa. Mengaduk-aduk netra yang menyesap pada reruntuhan karsa. Entah pada fase apa ia memutuskan untuk menyatakan cukup dan kemudian memanggilnya karya.

 Syahdan, kisah tentang salah satu lukisan ini dimulai dari noktah yang terciprat pada suatu sudut kiri bawah bagian kanvas. Memorial Hospital, Old Trafford, Manchester, 15 Juli 1956 tepatnya. Sepasang Curtis menamai anak itu dengan “Ian Kevin”. Tangan pelukis belum diangkat dari kanvas. Goresan memperpanjang noktah menjadi sebuah garis tak lurus. Saat berusia pre-school, Ian mengagumi kisah-kisah dongeng Ladybird dan sungguh menggilai aktivitas menggambar prajurit Gladiator.

 Gemericik. Adalah Ian yang usia belasan, berbaring di atas dipan dalam cahaya yang lindap dan memutar kencang rekaman-rekaman rock 60-an. Bowie, Morrison, Iggy Pop, Joplin, Dean, hingga Lou Reed adalah melulu yang dijadikan impian olehnya. Selanjutnya tampaklah tataran perbukitan atau gelombang ombak atau badai suara—kita tak pernah tahu pasti. Ian menggemari upaya-upaya halusinasi. Bersama partner kriminalnya, Tony Nuttall, menelan ramuan sendiri—pil atau pun tablet dari kotak P3K. Pertemanan yang sampai dijuluki Batman dan Robin. Keduanya lebih menggemari maskulinitas The Who dan The Rolling Stone ketimbang Beatles. Tony juga merupakan partner band pertama Ian yang tak bertahan lama—atau segera bubar dengan mengenaskan tanpa satupun karya.

 Dapat dipastikan. Gelombang berikutnya adalah gejolak kawula muda—kisah kasih asmara. Diam-diam Ian mengagumi kekasih Tony—Deborah Woodruff.  Ian menebar pesona pada Debbie dengan puisi-puisinya. Hingga akhirnya Debbie kepincut dan Tony pun merestui mereka untuk berkencan. Ian terus menggombal untuk memperdalam cinta Debbie kepadanya. Salah satu rayuan yang paling dikenang Debbie adalah puisi pada hari Valentine 1973.

I wish I were a Warhol silk screen
Hanging on the wall
Or little Joe or maybe Lou
I’d love to be them all
All New York city’s broken hearts
And secret would be mine
I’d put you on a movie reel
And that would be just fine


“Cinta membuat hidup lebih berwarna”,  katanya entah siapa. Tapi si pelukis tidak memilih warna selain hitam-putih. Pelukis memilih untuk tetap membuat riak gelombang yang lebih tinggi. Setelah cinta, ia merasa cukup dalam bersekolah di King’s School Macclesfield yang kemudian memilih belajar sejarah. Ian mulai membuka katup energi resisten. Ia berdebat hebat dengan tutor di jurusan sejarah St John’s College cabang Manchester. Hanya terbilang beberapa minggu ia ngambek dari kampus multinasional tersebut. Semenjak itu ia memutuskan melempari kanvas dengan cat hitam sebagai background. Lantas memprovokasi sang kekasih untuk juga meninggalkan sekolahnya.

Tidak berselang lama, Ian mengajak Debbie menikah muda. Tentu Debbie terguncang, namun dapat disimpulkan ajakan tersebut dampak tabiat super-posssesif Ian. Salah satu thesis ini berdasar pada rewelnya Ian mempermasalahkan gaun pernikahan Debbie. Ian memaksa gaun pernikahan harus high-necked. Ian tidak suka bila pria-pria lain menatap Debbie.



Pelukis kembali mengulang garis tak lurus semi-datar. Bukan karena kenyataan awal kehidupan rumah tangga mereka dengan rutinitas yang hambar. Tapi karena kisah lukisan ini tak perlu bertele-tele lagi. Karena yang akan terjadi setelah ini adalah sejarah band Joy Division. Buat apa ditulis ulang? Toh telah banyak dibahas di banyak web, zine, majalah, dan film. Yang intinya bla bla bla hingga tiang gantung jemuran.

***


Artwork album Unknown Pleasure (1979) karya Peter Saville di atas mungkin merupakan simbol yang paling membekas di hati para penggemar Joy Division. Dapat dikatakan telah memiliki kadar sama elatif dengan “Pisang” Warhol pada cover The Velvet Underground and Nico (1967). Jamak pada poster dinding, desain pakaian, apparels, stiker, dan banyak media jiplak lain. Ian Curtis memang mengaku dipengaruhi oleh Lou Reed dan kawan-kawan dalam hal bermusik. Namun apa yang membuat grafik dua warna tersebut begitu memikat, perlu ada spekulasi untuk mendedahnya.

Anggap saja gambar tersebut memang berbisik deskripsi pola hidup Ian Curtis. Semi-repetisi gelombang sebagai delegasi amarah. Energi yang dicuri dari semangat punk. Keputusasaan dan depresi puitis dalam derak bariton nan parau. Tarian epilepsi yang begitu asik sendiri. Serta gejolak cinta zigzag antara Debbie dan Annik Honoré. Latar yang hitam memang terkesan dibuat-buat. Ian terlahir dan tumbuh di keluarga kelas menengah kota. Ian mewarisi bakat resah dari ayahnya yang seorang penulis.

Dari kesaksian teman kantornya, Ian juga patut diduga masochist. Lihatlah ini!

“When Ian got epilepsy it didn't affect him, didn't stop him. I think he accepted his epilepsy. He was very happy-go-lucky. He had a great sense of humour. He would come in, in the morning, and it was obvious that he had travelled overnight from a gig. It never affected his work. I was amazed.”
(Ernest Beard)

Celakalah bagi mereka yang masih berpikir bahwa Ian Curtis bunuh diri karena frustasi dengan epilepsi. Bahkan Debbie sendiri menganggap spekulasi itu adalah konyol.

Selain itu, obsesinya juga telah matang—membuat gelombang yang terulang. Sejak pertama dibentuk, ia ingin meyakinkan dunia bahwa Joy Division adalah Velvet Underground baru. Ia juga telah lama mencemburu pada megah-ripah yang dimiliki Morrison dan Hendrix—kejayaan mati muda.

Lukisan yang saya ceritakan di atas tidak bermakna bahwa Saville adalah pelukis kanvas tersebut. Tapi Ian sendirilah pelukis kanvasnya. Karena Saville tidak melukis gambar—yang terinspirasi old wave length graph—tersebut pada kanvas, melainkan pada kertas. Saville bisa jadi salah satu jenis seniman yang dengan karyanya mampu memprediksi apa yang akan terjadi dimasa depan. Sebuah epos putih, di atas hitam—pada masa depan Joy Division.

Ian bertolak belakang dengan adagium koresponden Danny Kaye. Ia tidak sepaham dengan semua (warna) cat (kehidupan) harus dilempar ke kanvas. Ian tegas memilih warna hitam dan putih. Yakni sebuah spektrum polar yang manunggal. Layaknya kaidah primordial Yin dan Yang—keutuhan karena berseberangan dan lawan adalah penegas keber-ada-an. Latar hitam mungkin benar paten sebagai delegasi pusara yang ditujunya pada usia 23. Sedangkan gelombang putih paralel adalah kejayaan yang mengikutinya.


Terlepas dari takdir ilahiyah, Ian memang akhirnya tidak takut mati—atau malah yang terjadi adalah ia takut pada hidup—demi kejayaan dirinya. Ah kejayaan. Benar. Karena sebenarnya tidak sedikit musisi yang mampu menyamai kualitas lirik, joged, frustasi, dendangan dan segala atributnya. Namun dalam lukisan itu kita tidak bisa untuk cuek pada tanggal yang tersimpan 15 Juli 1956 - 18 Mei 1980.

Bila benar kejayaan melulu diperoleh lewat jalur tebas diri, saya takut hidup memang sudah sedemikian tengik—hari ini.

Pada akhirnya kita menatap : Ian Curtis yang (hanya) mati muda untuk dirinya sendiri. Selamat mengulang tanggal dan bulan lahir (15 July 1956).

***

Referensi utama seluruh bagian epik berasal dari tulisan—seorang wanita yang setia menjanda—Deborah Curtis dengan bukunya “Touching from a Distance Ian Curtis & Joy Division”.

No comments: