2012/06/30

Lavatory


(toilet picture was captured from http://amazingdata.com/toilet-art/)


Ah, Billie Holiday. Oh, Billie, Billie. I want to be with you in America. There’ll    be pennies from heaven. For you and me.

Oh, America. Where no one has bad teeth and everyone has a lavatory.

I dream of America and I know I can do it…

Saya mengikat sebuah bagian dari epos tersebut erat-erat. Sebuah fragmen film Angela’s Ashes (diangkat dari buku dengan judul sama—pen) mengisahkan masa remaja Frank McCourt yang tinggal di Irlandia. McCourt remaja tumbuh di tengah amukan cuaca ultra-menggigil, busuknya pemuka agama, sanitasi yang jijay, ayah pemabuk, hingga kematian. Untuk alasan itulah ia membaca sastra, mendengarkan Billie Holiday, melamun, bermimpi, sesekali masturbasi.

Silahkan menengok arti kata lavatory pada kamus. Kurang lebih artinya sama dengan toilet. Kala itu—tahun 1930-an—tanah Irlandia begitu mengerikan dalam gambaran McCourt. Salah satu penyebabnya, adalah ketidak-tersediaan lavatory (toilet) yang cukup. Sehingga ia terus bermimpi untuk menggapai Amerika—yang dirasanya sebagai Negara beradab dalam bayangan McCourt.

Oh, America. Where no one has bad teeth and everyone has a lavatory.

Fragmen tersebut lah yang membuat saya takzim dengan bidan Eulis Rosmiati. Ia tertawa tulus saat Andy Noya melemparkan beberapa guyon. Dengan cergas ia menjawab setiap pertanyaan pada sebuah sesi Kick Andy. Paparan kisah pejuangannya membudayakan WC di desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat, sangat apik.  Melalui program “Arisan WC”, bidan 58 tahun yang bertugas sejak 2008 itu telah berhasil meningkatkan kesehatan warga desa.

Ini akan menjadi tetek bengek tentang toilet. Bukan tentang cerita muluk-muluk penahlukan. Bukan tentang ledakan nuklir, gerakan revolusi massif, atau lemparan mortar. Ini hanya urusan buang hajat.

Jika anda tidak cukup selo, saya ingatkan untuk cukup membacanya sampai paragraf ini saja. Masih banyak urusan di luar sana yang lebih mendesak. Saya tidak memaksa. Silahkan membaca hingga titik akhir tulisan yang sangat selo ini. Jika anda selo.
  
Zen RS—dalam sebuah esai di blognya—memungkinkan adanya pokok yang lebih besar dalam toilet.  Silahkan menengok terlebih dahulu link ini.

Tentu Zen tidak sendirian dalam hal menulis toilet dan benang merahnya dengan perdaban. Ada ratusan lagi. Mungkin ribuan. Dengan angle yang beragam. Cukup mengetikkan “Toilet dan Peradaban” dengan tuts keyboard—pada search engine kesayangan anda—lalu tekan enter. Maka muncullah secara sporadis dalam jumlah banyak. Mirip titah ajaib kun fa yakun.

Saya tidak mungkin menjadi benar jika mengaku ingin menulis hal yang “lain” diantara semua esai tentang toilet. Mau gimana lagi, sudah setengah abad era The Death of Author bung —kata filsuf Perancis itu (baca: Roland Barthes).

Kembali pada toilet. Sebenarnya ia telah lelah berkeliling sejarah. Jauh sebelum John Harington diberi embel-embel “Sir” oleh Elizabeth I —atas penemuan toilet modern pertamanya— bangsa-bangsa kuno telah mengenal konsep toilet. Silahkan baca artikel ini untuk sejarah lengkapnya.

Yang jelas, adalah kewajaran yang maha maklum jika banyak pegiat sejarah yang mengaitkan keberadaan toilet sebagai bagian tilas peradaban. Saya tidak ingin membahas mana saja dan makna Negara beradab. Tidak ingin berdebat juga. Saya ingin menulis sebuah pertanyaan. Karena saya selo.

Pertanyaan mengapa toilet terkait peradaban. Lantas dijawab dengan tingkat kesehatan, perilaku masyarakat, kebersihan lingkungan, sudah sering kita dengar. Bisa banyak kemungkinan. Tidak harus logis mungkin.

“Bentar, mau ngeluarin aspirasi nih” Ucap teman saya sembari terbirit ke arah toilet. Waktu itu kami tengah bertanding catur secara digital. Pada aplikasi bawaan Windows 7.

Seberapa banyak dari kita yang mafhum dengan ungkapan di atas? Mungkin banyak, dan sangat mungkin analogi “buang hajat” diasosiasikan dengan “aspirasi” adalah benar. Ingin “boker”, atau proses defekasi, bermula dari sisa pencernaan yang di usus besar-lalu diserap kolon-kemudian didesak ke saluran akhir, rectum. Lalu timbullah sensasi kebelet.

Setali dengan timbunan aspirasi yang mendesak disampaikan. Aspirasi adalah endapan ide. Dari kumpulan kejadian yang terekam. Melibatkan emosi dan memicu saraf-saraf motorik untuk mewujudkannya. Harapan, keinginan, dan hasrat—kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Aspirasi adalah hujan dari siklus panjang awan. Aspirasi adalah feses yang terdorong hingga menuju lubang hitam anus-diskursus.

Percayalah. Masyarakat beradab adalah yang mampu mewadahi aspirasi dan menyalurkannya dengan baik, dalam banyak cara. Tidak sekedar broooot, lega, dan lantas hilang dilarung sungai. Hari ini pembaca adalah pengguna toilet. Namun sangat mungkin di luar sana, banyak manusia yang lebih memilih membuang hajat di tempat bebas—alam liar, sungai, dan sembarang.

Di banyak kota di Negara (yang disebut) maju: setelah terlepas dari empunya, tinja di daur. Menjadi penyubur taman kota, hingga bahan bakar. Bukan kisah baru tentu. Menarik bagaimana mereka memperlakukan buangan yang dianggap paling rendah dari manusia tersebut.

Jika keluaran yang paling rendah—juga masuk kategori najis—saja diperlakukan dengan baik, tentu hal yang lebih melambung mulia sudah lebih cukup beres. Aspirasi hasil karsa diapresiasi, disalurkan, dan terus-menerus ditempatkan pada siklus. Pada sebuah peradaban, kemunculan ide akan terus ditempa, diadakan dialektika, diserap, diuji, dan kembali-dan kembali. Seperti tinja yang tersalurkan. Menjadi nutrisi bagi tumbuhan. Kemudian kembali.

Everyday, I couldn't wait
for the doctors and nurses...
to leave me alone so that
I could read my books.

I loved having
a lavatory of my own...

where I could read
for hours and hours.

"To die, to sleep.
To sleep, perchance to dream.
Aye, there's the rub."

(Angela’s Ashes, 1996)

—Anda telah terbukti sebagai orang yang cukup selo. Dan saya kebelet boker sekarang.

No comments: