(gambar di-copy dari blog ini)
Saya punya cara
gampang menilai seseorang sebagai pemerhati musik. Bukan banyaknya koleksi CD
atau plat. Atau bagaimana dia begitu paham luar dalam terhadap nama-nama band
asing yang bahkan baru pertama kali saya dengar sesudah dia berbicara. Tapi
coba tanyakan dia tentang beberapa nama yang melintang di ranah pop mainstream Indonesia. Pungkas penyebar endemi
#LearnsToPop yang sekaligus bergelar jurnalis keple dari madzab Jakarta Beat,
Fakhri Zakar(ia).
Ia berhasil
mengganggu kesadaran saya. Menguntit hasrat untuk mengais memori—agar tak
terjebak pada pilihan yang kurang kece (ST 12 atau Smash, misalnya)—dalam
menentukan musisi mana yang sebaiknya jadi bahan tulisan. Saya sih ogah
berdebat kalau kamu kekeuh membela mereka. Seraya memilah-milah, saya
merenungkan; kenapa pop mainstream
sih? Ada suatu kutipan:
Sungguh tidak mengganggu saya bahwa para shoegazer berasal dari kalangan elite (posh-oes)—memang benar bahwa saya terganggu ketika orang tua dari anak-anak band Slowdive membelikan mereka mobil dan gitar. Saya tidak terganggu ketika mereka adalah orang-orang dari kelas menengah. Yang mengganggu saya adalah kenyataan bahwa mereka membikin musik yang sangat menjemukan. (NME, 4 Januari 1992).
Apa yang kita
lihat dari kutipan ulasan termaktub diatas adalah bahwa kenyataan selalu ada
gegar saat suatu budaya tertentu melintasi budaya lain. Dalam contoh kasus ini,
musik shoegaze—yang notabene bagian dari subkultur—ke ranah arus utama. Bagi
para penganut “kekerenan” itu haruslah dibasiskan pada elisitas dan anomali,
maka akan mudah menyatakan bahwa genre shoegaze adalah ayat suci baru yang
harus diamini. Sedangkan di pihak yang masih serius bertanya (bahkan hingga
saat ini) tentang keberadaan letak keindahannya, band shoegaze hanyalah
kumpulan orang nir-skill yang membuat musik bising dan false.
Selera
dalam Pasar Budaya
Bayangkan diri kamu
tengah berada pada suatu foodcourt —dengan
deretan etalase makanan cepat saji— kamu harus memilih restoran dan menu apa
yang akan kamu santap. Diantara sempitnya sela-sela waktu kerja, memilih menu
saat istirahat makan siang membutuhkan kejelian tersendiri. Pilihan menu tidak
lagi hanya (melulu) berdasar kriteria selera dan harga. Mempertimbangkan waktu
penyajian, porsi, dan nutrisi yang akan mengawal kamu untuk melanjutkan
rutinitas patut dijadikan variabel yang wajib.
Bentar!
Ajakan
membayangkan memilih menu makan siang adalah gocekan analogi dari saya.
Dalam hal ini,
pop mainstream adalah makanan cepat
saji. Melalui ritual acara tv. Menyelinap diantara ocehan penyiar radio.
Diputar kencang dalam kerumunan fasilitas publik. Didendangkan pengamen atau
bahkan subwoofer angkot yang kamu kendarai. Pop mainstream kadangkala menjadi mimpi, wujud yang muncul dan eksis
tanpa diduga. Ia seringkali menjadi yang pertama menjembatani perkenalanmu
dengan apa yang kamu sebut, musik.
Seiring dengan
kamu menjalani hari, kamu akan dengan sendirinya memilih. Artis atau band mana
yang akan kamu hidupi. Bisa berdasar pada keterikatan emosi. Bisa juga segi
lirik, maupun musikalitas. Mungkin juga kamu mulai menggemari paras dan lekuk
si artis yang bohay sehingga tak perlu berkeliling dengan estetika buatan
wartawan. Dari segi manapun itu, dalam industri semua halal.
Kehalalan
tersebut—dalam menentukan selera diantara penjejalan budaya pasar—sering menjadikan
selera adalah nilai yang bias. Saya tidak sedang membenarkan Theodor Adorno
yang mati-matian mengutuk budaya murahan. Ia kerabat mazab Frankfurt yang
menjadikannya mudah dalam hal memilih makanan lambat nan bernutrisi tinggi. Ia
tidak terlalu menemui kesulitan akses untuk berada diluar budaya industri
penjaja komoditas.
Sederhananya,
menjadikan salah satu musisi mainstream
sebagai selera, akan lebih sulit dibanding menjadikan musik cutting-edge sebagai bahan idola. Karena
barometer musik cutting-edge
seringkali jumud pada substansi dan manifesto estetika. Sedangkan musik mainstream?
Dengan
demikian, pagelaran #LearnsToPop bisa jadi sesuatu yang menantang.
Maka benarlah nabi
Fakhri dengan sabdanya: Hipster yg dengerin musik pop mainstream Indonesia itu derajatnya naik dua kali lipat
#LearnsToPop
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Potret yang Terbingkai
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
digital berarti: 1 gambar yg dibuat
dengan kamera; foto; 2 gambaran, lukisan (dalam bentuk
paparan). What so ever! Tapi menengok serpak terjang mereka di blantika musik
nasional, nama band ini (POTRET) mampu mewakili segala daya dan upaya yang
telah mereka toreh.
Potret bisa jadi Melly Goeslaw,
Anto Hoed, dan Aksan Sjuman. Namun bagi saya, Potret adalah ‘Bagaikan Langit’ atau
bisa juga ‘Bagaikan Langit’ adalah Potret. Saya sedang belajar memainkan kunci
balok—setidaknya demikian dahulu saya menyebut kord—pada gitar. Menggenjreng ala
semi-depth dengan patah-patah. Usia yang
bermedio belasan dan tercatat sebagai anak kelas dua SMP.
Saya menghidupi “Bagaikan Langit”
sebagai bagian dari waktu. Diantara jeda bel sekolah bertitel madrasah. Diantara asrama massal berpenghuni
belasan orang dalam satu kamar. Saya bersekolah di pesantren ketika itu. Maka wajar
jika saya berapologi. Maaf, saya tidak mengenal Potret dengan baik saat itu
selain ‘Bagaikan Langit’. Alih-alih memahami citarasa sound recording, riff gitar, aransemen, wadda wadda.. Saya dulu hampir tidak peduli
jika Potret dibentuk tahun 1995. Yang jelas, tahun ‘Bagaikan Langit’ dalam
pribadi saya adalah 2001.
2007. Saya mulai mengenal istilah cutting-edge. Untuk tahun itu saya dedikasikan
seutuhnya menjadi hipster total. Namun
saya tak pernah sempurna untuk menghapus folder Potret dari hardisk CPU. Potret
tetap terbingkai diantara ayat-ayat Capitol
records dan Labarador records. Meski
tentu hampir sama-sekali tidak pernah saya putar kembali. Bingkai Potret di
folder CPU semakin kusam dan berdebu hingga tahun 2008 saya membentuk band ala post-punk kala itu.
Setelah gagal nge-band, setahun
kemudian, saya mulai kembali mengurai tumpukan folder MP3. Membersihkan debu yang
menempel pada bingkai-bingkai. Menata kembali nostalgia fase post-hipster dalam diri. Saya terhenti
pada satu bingkai, Potret.
Perlahan saya mendengarkan
satu-persatu. Terperangah bin terjebak. Saya baru saja menyadari bahwa—jauh
sebelum saya mengenal sound-sound cutting-edge—mereka
telah berhasil mengaduk referensi itu dalam karya-karya mereka. Percayalah!
Karena saya akan memberikan bukti pada pembaca.
Saya jumputkan beberapa amsal. Pada
album Positive+POSITIVE. Track ‘Kekasih Khayalan’ dan ‘Resah’ sudah sangat
tercicip Trip-hop. Berkomat-kamitlah, ini sangat Bristol! ber-Portishead dan ber-Massive
Attack. Sangat jelas dan tak harus dielak, Hoed mengenal baik Geoff Barrow. Istimewa?
Sudah pasti. Ber-gloomy beat
dikandang Aquarius Musikindo adalah bukan hal yang main-main.
Di album yang sama, Potret mencuri
kesempatan beradu dengan monster-monster— New York (gambaran New York adalah
monster dari cerpen Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam—pen). Adalah saat
tiba giliran lagu “Drum dan Vocal”, tak lebih panjang dari durasi film berformat
3GP. Belum sempat orgasme, udah kelar duluan. Namun juga tak sepenuhnya sia-sia.
Toh, mereka berhasil membuat otak saya muncrat ke dalam suatu fragmen film “Kill
Your Idol”. Sebut saja band DNA bentukan Arto Lindsay. Satu track yang memutus
hubungan antara “fan dan artis” (saya dan Yeah Yeah Yeah’s). Yeah! Biarkan saya
menanggung dosa. Lagu ini lebih no-wave ketimbang Sonic Youth beserta
kerabatnya se-New York movement sekalipun.
Kemudian mari kita sambut anasir
yang disebut attitude. Terdengar membingungkan
awalnya, namun bergidik selanjutnya saat terpaksa harus memuji. Yang kamu
perlukan adalah sedikit perhatian terhadap apa yang mereka sampaikan. Iya,
cukup sedikit dan biasakan diri dengan susuatu yang cukup saja. Cukup adalah
kata paling ajaib dari chefs Indonesia
saat demonstrasi resep.
Cukup kamu menuangkan
single-single berjudul “Salah”, “Mak Comblang”, “Ingin Dicium”, “Terbujuk”, hingga “Maafkan Aku Soewondo” di telinga. Apa yang kamu rasakan? Lirik yang
lugas, pastinya. Namun tak hanya itu yang mereka tawarkan. Rebel, seksis, dan wanita
yang agresif. Tambahkan lagi cukup sedikit perhatianmu pada potongan rambut
outskirt Melly kala itu. Maka niscaya resep attitude
telah terasa komplit. Ya ampun, Elizabeth Fraser sudah sepadan jadi
sandingan. Pesan feminisme sayap
kiri ala cultur scene indie. Riot Grrrrl!?
Boleh dooong.
Potret telah dahulu membawa pesan
yang sama dengan band-band dari ranah subkultur. Lebih massif. Menjelajahi
pustaka kamus-kamus fads lebih dari
apa yang kita duga sebelumnya. Kasus paling sulit dan harus diapresiasi adalah
bagaimana mereka menarik ulur buhul industri mainstream Indonesia dengan ideal yang mereka wakili. Ideal yang
mereka bawa dari perpustakaan referensi underground.
Tentu tidak pernah mudah. Banyak musisi yang kandas saat idealisme harus
dipertemukan dengan industri. Contohnya bisa dimulai dari para personel Stinky
yang awalnya banyak bermain di wilayah progressive, lalu jadi apalah, silahkan
nilai sendiri ketika di industri. Hingga nama yang belum cukup lama, band
Pepeng cs (baca: Naif) harus cabut dari label demi menjaga ideliasme. Ah,
sedikit basi sih saya ngomong idealisme ya? Hahaha.
Selain lagu-lagu dengan komposisi
ke-indie-an—yang saya sebut di atas dan
tidak dijadikan hit single—nyatanya Protret juga mampu mencetak single yang
merajai chart musik Indonesia sepanjang masa. Terbilanglah fenomena hit single “Bunda”
yang dirilis awal 2000-an. Lagu yang masih menggelinding seperti bola salju
sampai hari ini. Juga “Angan X Cinta” dan “Bagaikan Langit” yang catchy. Dan seterusnya
dan seterusnya, you mention it! Adalah landasan yang sahih jika Melly, Hoed, dan
Aksan digelari mega-pakar komposer musik pop.
Dalam suatu kitab suci musik indie dikenal ayat yang berbunyi Root, Character, Attitude (RCA). Maka
Potret telah mengamalkan perintah tersebut. Bila sudah demikian, akhirnya menggemari
Cherry Bombshell atau pun Kubik tak akan se-fetish
dahulu lagi.
***
Potret adalah gambaran dari suasana
hatimu, dari cuaca-cuacamu, dari waktumu, dari keluargamu, dari temanmu, dari kisah
cintamu, dari ke-matre-anmu, dari hidupmu, dan dari tadi gak abis-abis.
Berikan bingkai untuk membuatnya lebih keren!
1 comment:
meski saya tidak benar-benar faham tentang musik, menurut saya musik adalah cerita, musik adalah pengalaman, musik adalah pesan.. dan setiap orang akan berbeda dalam menafsirkannya.. tapi dunia tanpa musik seperti halnya sambal tanpa cabai, manisan tanpa gula dan terang tanpa cahaya... "empty", i like it my bro... go ahead... keep moving forward. (my english soo bad,,hehe)
Post a Comment