2010/09/05

Wuislmustang is LHL inTheMachine Artist of the Month


Andaikan saja ; sebuah perselihan klasik tentang "seni untuk seni vs seni untuk sosial" berada pada titik kulminasi dan tak dapat dipertemukan lagi jalan tengahnya. Kemudian kalian tersudut dengan pameo bahwa menjadi tengah-tengah hanyalah suatu yang cemen, banci, hingga opurtunis. Akan berdiri di sisi manakah kalian?

Oh masih terlalu rumit? Begini, beberapa waktu yang lampau saya mengetahui dua orang teman yang (masih saja) begitu serunya memperdebatkan tentang esensi "Good Music". Teman saya yang satu - ngotot dengan pendapat bahwa musik yang keren haruslah musik yang memberi pesan hingga memiliki andil terhadap suatu perubahan. Sedangkan teman saya yang lainnya berpendapat - mengapresiasi seni ya, tentang mengapresiasi keindahan, begitu pula dengan cara mengapresiasi musik. Dan mereka saling pamer urat leher. hmmmm.

Sedang saya? OK, kalau saya memilih menjadi yang dianggap banci, cemen, hingga oportunis tadi. Opss! Saya punya alasan tentunya. Bagi saya, menjadi tengah berarti kita memiliki pilihan sendiri diantara pilihan yang telah ada (dipaksakan) sebelumnya. Menjadi tengah berarti kita menahan diri dari sekedar ikutan eksis dengan tameng radikalisme.

Ah saya melantur. Padahal awalnya saya hanya ingin membicarakan atau mengenalkan (bagi yang belum kenal) sebuah kelompok cipta/rangkai suara dari negeri Jerman. Mungkin kita akan sedikit ribet menyebut namanya. Mau coba? bacalah ini "WUISLMUSTANG". Yah masih lebih mudah lah ya kalo dibanding dengan nama-nama band yang berasal dari Iceland. hehehe. Wuislmustang adalah Artist of the Month versi LHL inTheMachine. Mereka baru memiliki dua mini album : B- Sides dan Wrong Side Of The Road (2010)


<a href="http://wuislmustang.bandcamp.com/album/b-sides">Affective Advertisement by Wuislmustang</a>

<a href="http://wuislmustang.bandcamp.com/album/wrong-side-of-the-road">Superstar by Wuislmustang</a>

Wuislmustang adalah sebuah jalan tengah yang cukup baik untuk kedua teman saya yang berselisih tadi. Secara estetika seni - apakah kalian ragu jika saya mengatakan sebuah band yang memainkan musik jenis progressive rock adalah musisi dengan skill adiluhung? Pada part tertentu mereka adalah jelmaan Genesis, Rush, hingga Dream Theater. Kerutkan dahi kalian! dan merasalah sebagai orang tolol karena pada part berikutnya kalian akan berkata, kok ini kayak Art-rock, Kraut, akhir Psychedelic ala Pink Floyd, Faust, dan atau Can yaaa. Eh tapi ga juga ding, Folk-rock nya juga ada. Bergumamlah pikiranmu "The Kinks, Neil Young, atau malah jangan-jangan Zeppelin sih?". Hah? bukan-bukan. Ya ampun, this sound's new, sequence dan ambient-nya mirip Post-rock/Indie-rock. Sungguh, sebagai orang yang hobi membandingkan sound, saya telah benar-benar dibuat tolol oleh mereka.

Lantas masalah pesan. *sigh* Bacalah ini kawan!

Warchild

1948 Internal Conflict in Burma 7.000 victims
1991 Somalia, Civil war 400.000 victims
2001 War in Afghanistan 70.000 victims
2003 Iraq War with up to 1.000.000 casualties
The Kivu Conflict in the
democratic republic of Congo and Rwanda 400 victims
2004 The year of war in North-West Pakistan 14.000 victims

war in Yemen and Saudi Arabia 8.000 victims
war in Fiji and Rotuma 500 Victims

2006 Conflict in the Niger Delta, Nigeria unknown Number of victims
Mexican Drug War with over 10.000 victims
2007 Conflict in the Trans Sahara, Senegal 15.000 victims

And the newest war in North Caucasus with 200 victims already!


Penggalan lirik pada lagu Warchild ini dilafalkan dengan intonasi begitu naratif namun provokatif, layaknya sebuah agitate speech seorang korlap demo depan kantor pemerintahan. Oh No No! mereka tidak sampai tataran mengutuk maupun membenarkan "perang" pada lagu tersebut. Karena pada bandcamp Wuislmustang, mereka mengatakan bahwa :

"This track shall make you to think about war. It does not rate war as something good or bad but it does bring up some facts about war. Some facts to think about, to make your own decision possible. No decision if war is something good or bad, more a decision about how to handle with war and its contemporary substance."



Cermati juga semua lirik-lirik di setiap tracks yang juga sama kerennya! Sungguh-sungguh kalian akan mengetahui betapa bijaknya mereka dalam hal menangkap fenomena menjadi gubahan frasa.

***

Wahai temanku penganut musik pesan perubahan. Bukankah engkau ingat dengan sabda yang sangat populer dari sesembahanmu, Jim Morrison? " No social revolution without personal revolution". Renungkan lagi hipotesis Gaia, Prinsip Anthropic, dan Butterfly Effect! Maka akan kamu sadari, bahwa lirik personal itu adalah sangat sosial, dan lirik sosial sangatlah personal.

Dan untuk temanku yang menyembah bentuk-bentuk keindahan. Tunggu dulu! apa guna seniman jika ia hanya membuat emas menjadi sesuatu yang berkilau? Non sense, memang sudah darisana nya emas itu berkilau. Seniman yang abadi adalah yang menjelmakan seonggok batu usang menjadi patung megah, segenggam pasir menjadi keramik mengkilap, dan foto tentang comberan itu sungguh indah. Terangnya, ah saya mulai khawatir kalo kamu mulai menilai karya dari yang telah terhidang, bukan bagaimana sang artis menghasilkannya.

2010/08/23

Bewitching East Java


I'm among of those who believes that traveling is a form of devotion to God, whatever the religion that we hold. So when the Campus holiday has started, impulsively I decided to spend it with a little trip of town out.

East Java was the purpose. Surabaya was the first city I visited. Picked up by Dwi Ardiyanto at Wonokromo station. Then the next days Ayos Purwoaji took me around the Old City, Bungkul park, Ampel region, Suramadu Bridge, until Jember (town of Ayos domicile).

I took some photos which mostly poor results and failed. These are some early pretty decent in my opinion. hehehe. So, for further, let the P(h)oet(o)ry will describe it.


A moment passed by some reasons
An enchanted wandering boy of seasons
The sin of eye follows thunder
The sea of sad is hollow and bitter
________________________________________________________

Hey fellas! You guys so tremendous
Then all of the roads looked pretty stupendous
Where I found the hearts which feel no suspicious
________________________________________________________

The words are in vernacular
When the humble of indigenous so spectacular
_______________________________________________________

Top of hills are so chill
You’ll faint then get unconsciousness
The wises will come after bill
Every Saint must had a weakness



Note :
Especially thanks to Ayos Purwoaji and Dwi Ardiyanto, I'd bothered you many times mates! Nuran Wibisono, Dwi Putri Ratnasari, and Rina Fariana, for a warm friendship. : D

2010/07/06

P(h)oet(o)ry In Introduction


Geser manismu menuju netra.

Inkubasi warna dari wicara.
Reposisi kasar menuju rungu.
Jerat tajam hingga menjadi bau.

Sebelum musim hujan selamanya memudar, riwayat cahaya kami jadikan rindu.


Yah, begitulah kira-kira saya memeperkenalkan tema baru di blog ini. Sebuah kamera digital pocket murah yang saya beli beberapa hari lalu menimbulkan euphoria tersendiri. Dikarenakan segala keterbatasannya, terpaksa saya menyajikan hasilnya dengan cara lain, Puitisasi foto. Meskipun tidak akan menutup kemungkinan kedepannya bukan hanya puisi (saja) yang menjadi bahan adonan P(h)oet(o)ry*, namun mungkin juga prosa, cerpen, maupun tulisan imaginatif lain.

*Photo + Poetry = P(h)oet(o)ry.
==========================================================
Lokasi : Pasar Kangen @ Taman Budaya Yogyakarta 2010

Tengoklah igauan masa mudamu!
Ketakutan belum kau gadaikan.
Sepuhan gerigi mempertajam alas kaki telanjang ranjani.
Tanpa harus mampat pada ketidakmampuan bertranslasi,
di bawah ketam jerami realita dan replika samar bergradasi.


Oh indahnya tanpa tahu koorporasi.
Rakitan kidung tak semiris seperangkat digital imporan.
Serupa kanal bising dengan arwah John Lennon,
rupanya irama adalah bagian tubuh kita.


Kita mampu meneguk lagi keringat asam cahaya.
Mengayuh demi waktu yang mulai mencekikmu.
Sebelum paru sesak oleh beratnya karbonasi pekat logam dan asap tebal.


Tuangkan etanol dan atau gliserol secukupnya wahai pemuda!
Peluhmu takkan cukup menggapai semua konstruksi kota.
Mungkin sebaiknya kau juga harus berteduh sesekali.


Atau mengeja aksara guna, menguasai imajinasimu setajam belati.
Hingga akhirnya kini mampat pada kotak flatron 19 inci.


Hari-hari itu, terkuas di atas genting senja berwarna.
Terpatri,
dan abadi.

2010/06/06

Tripping Junkie - Quasars


Well, jika kamu membaca postingan sebelumnya, maka kamu telah tahu kalau ini adalah tulisan bayar hutang yang baru terlunasi setelah sekian bulan. Akhirnya mau atau tidak ini tetaplah h u t a n g. Tidak bisa ditunda lagi membayarnya. you know lah! sebelum pengikut artis lipsing dadakan semacam Shinta & Jojo akan ramai-ramai memenuhi petak televisimu bagai pembalakan liar hutan (*loh?). Yah, meskipun fenomena tersebut bukan buruk sepenuhnya. Lagian itu juga bentuk terealisasinya kalimat "...In the future, everyone will be world-famous for 15 minutes." (Andy Warhol, 1968). Tapi mungkin ada baiknya kita menghargai personal-personal yang gigih untuk terus berproses.

Kembali ke Tripping Junkie (TJ) album Quasars. Kamu pernah mendengar band-band semacam The Hives, The Strokes, Black Rebel Motorcycle Club, hingga Jenny ? yap! Sounds of garage/neo-psychedelic/rock adalah benih band ini, atau khususnya album ini.

Tapi layaknya ketika kamu menggigit kurma yang ditanam dipekarangan rumahmu. Meskipun benihnya asli dari Timur Tengah, jangan harap rasanya sama persis. Demikian jika kamu korek kupingmu lebih bersih setiap habis mandi. TJ, yang semua ari-ari personelnya ditanam di Nusantara (kecuali Asad, saya tidak yakin. hehehe Joke!). TJ sendiri lahir & bertumbuh kembang di kota gudeg ini, maka jelas mereka tidak akan membuahkan musik yang sama persis dengan benih mereka.


Mari kita buka! Pertama, adalah cover CD album. Begitu tidak konvensional. Menggunakan metode lipat yang unik. Kedua, tema bahasan lagu beragam. Mulai dari perkenalan pada "In The Beginning". Percintaan dan cerita entah yang dibalut imajinasi absurd khas psychedelic pada hampir setiap tracks. Hingga Kesadaran ekologis pada " Suvenir Abad Batu" dan "Besi, Baja, dan Perak". Ketiga, kualitas sound dan aransemen. Overall sounds not bad! aransemen dari progressive chord hingga beat drum yang menurut saya menarik, janggal, namun menunjukkan karakter band adalah pada " Hyena", "Novus Mondus", "In The Beginning", dan"B.E.T.A". Merangsang otot kerut dahi!

Meskipun pada track "Besi, baja, dan Perak", pemilihan penggalan kata cukup mengganggu bagi saya, namun sekali lagi proses itu menyenangkan kawan. Kalian yang pernah nge-band akan benar-benar paham maksud saya.


Tracklist:
01. In The Beginning
02. Blushy
03. Drakula Wanita
04. Novus Mondus
05. Hyena
06. The Dancing Dwarf
07. Besi, Baja, Perak
08. B.E.T.A
09. Suvenir Abad Batu
10. This How I Spent My Life

Download Album!

dan jika kamu menyukai album ini, segeralah mencari CD mereka!

2010/05/27

Jenny - Menangisi Akhir Pekan (Video Clip)




Tersebutlah kisah : Empat seniman grafis Yogyakarta pengidap kronis fetish mati muda sebagai ajaran kultus Rock yang mereka bela. Kemudian mereka bersinergi dalam wadah kelompok musik yang mereka namai "Jenny". (Lengkapnya ; Myspace)

Proses mereka yang panjang memang memiliki nilai tersendiri dalam pencapaiannya hingga sekarang. Tak ayal mereka menghadirkan Video Kilp yang sedahsyat di atas. Lagu tersebut merupakan salah satu nomor andalan di album mereka, Manifesto.

Saksikan dan segera apresiasilah !

2010/05/25

Avoiding to be Famous

Semenjak liputan mini-showcase Frau promo album Starlit Caraousel, blog ini mulai bertrafic cukup padat. Padat di sini saya maksudkan bukan seperti banyak blog mapan yang per harinya dikunjungi minimal ratusan, tapi padat bagi saya cukup sebagai banyak orang yang sebelumnya tidak saya kenal juga turut menjadi bagian dari blog ini.

Mungkin bagi sebagian para blogger hal tersebut merupakan pertanda awal berkah. Buntutnya, sebagian orang yang bertipe tersebut mendadak menjadi over-produktif. Mungkin demi menjaga eksistensi, atau entah alasan apa.

Tapi saya tidak demikian. Saya kurang peduli dengan hasil. Saya menghindari kematian karya dengan menjauhi gaya penulisan dan perangkaian kata-kata yang "itu-itu" saja.

2010/05/17

HTRK (Hate Rock ) - Marry Me Tonight


Artis : HTRK
Title : Marry Me Tonight
Genre : Indie/Noise/Repetitive
Issue : 2009
Label : Blast First Petite


Kebanyakan dari kita atau bahkan saya, menjenuhkan dengan hal-hal monoton. Termasuk dalam urusan mendengar musik. Sepakat? Tidak juga. Saya meragukan konsensus tersebut berlaku bagi trio Australian ini.

HTRK (biasa dilafalkan dengan Hate Rock) melalui rilisan LP pertama mereka Marry Me Tonight (MMT), seolah menyuguhkan 9 tracks selama 34,75 menit yang tanpa tujuan. Tidak ada kejutan, perubahan pola nada, perbedaan yang jelas antara awal dan akhir lagu, maupun fluktuasi emosi. Instrumen berdasar pada female vocal yang datar dan perkusi (Jonnine Standish), sequence gitar (Nigel Yang) dan bass (Sean Stewart), sedikit noise, serta machine drum.

Uji kesabaran dan produksi kadar acid otakmu dengan rilisan yang diproduseri Rowland S. Howard (personel The Birthday Party) ini. Buktikan bahwa kamu orang yang cukup konsisten!

Unduh Album? : Klik di sini

2010/05/12

This is Not Love Story. This is A Story About Love


Saya memang cukup jarang mereview sebuah film di blog ini. Hal tersebut bukan mengapung karena tak ada film yang “bagus”. Yah, terlepas dari kapabilitas saya yang minim di bidang tersebut, tapi memang sulit untuk menemukan film yang cocok dengan tema ke-LoveHateLifeInTheMachine-an. Semangat awal blog ini adalah menyajikan karya-karya yang mengaduk-ngaduk emosi maupun pola pikir kalian, lewat media-media yang terwakilkan nama besar “Machine”.

Maksudnya tidak hanya cukup dengan kata “bagus”, tapi saya selalu berupaya memuat karya yang membuat marah, geregetan, benci, jatuh cinta, mempengaruhi pola pikir atapun keimanan, menganalisis tajam, dan mungkin malah malas (tertawa). Secara kolektif perasaan tersebut akan muncul dengan hanya kalian menatap pixel monitor untuk menyantap hidangan-hidangan sensasional yang ditawarkan dari blog ini.

***
Beberapa tahun yang lalu saya tergila-gila keranjingan setelah menonton film High Fidelity (Stephen Frears, 2000). Setelah itu saya terus mencari-cari film apa yang sepadan dengan itu sebelum datang penyesalan di alam kubur. Kesepadanan disini baik secara genre, kualitas, karakter, kecerdasan plot maupun pesan, dan tentunya pembawaan emosi penonton. Salah satu film yang patut kalian tonton selama masih hidup datang dari karya Marc Webb yang dirilis pertengahan tahun 2009. Oke! Mari kita mulai dengan membaca 500 Days of Summer bersama-sama! Bacaan tersebutlah yang dijadikannya judul film drama-komedi romantis nan fantastis ini.


“...this is not a love story...” narator memperingatkannya di awal cerita. Saya meragukannya. Hingga akhirnya menjelang akhir film saya sadari bahwa petunjuk itu ternyata akurat. Selamat terhisap dengan karakter yang dipolahkan Joseph Gordon-Levitt sebagai Tom Hansen dan Zooey Deschanel sebagai Summer Finn! Narator akan menggiring kalian untuk memahami perbandingan kepribadian mereka.


Saya pikir, lebih baik saya tidak bercerita tentang isinya (Spoiler Alert!)


Hanya saja, hal yang menarik bagi saya adalah ; di film ini, kedua tokoh utama (Summer & Tom) merasa tertarik satu dengan lain diawali oleh kecintaan mereka dengan band brit-indiepop/rock legendaris, The Smiths. Kemudian plot yang digunakan secara non-linier, melompat-lompat dari hari-488 kehari-2nd, lompat kehari -159, dan lompat lagi ke hari-hari yang tak akan kalian duga sebelumnya. Penambahan dramatisasi, kadang dilakukan dengan mengimbuhi animasi dan lagu yang lucu.


Selain nilai lebih yang bersifat umum tersebut, secara personal saya menikmati semua soundtrack yang ditawarkan. Hampir semuanya musik cutting edge. Si Tom, juga selalu ber-dress ala british invation, bahkan sering mengenakan T-Shirt bergambar artwork dari beberapa cover album milik band yang selalu saya puja, Joy Division.



Lalu mengenai Zooey Deschanel, oh dear! wut kinda flava should I’ve to give? She has got every-reasons to be adored by me. Funny, charming, arbitrary, different, dan dia juga vokalis&pianis dari sebuah band twee/folk/indie/pop, She & Him.

***

Marc Webb telah benar-benar membuktikan bahwa 500 Days of Summer bukanlah kisah cinta tradisional. Terbukti dengan pujian dari lebih dari 150 kritikus professional di seluruh dunia juga penghargaan di beberapa festival film besar.

Jika kalian berkali-kali tertidur ketika menonton film bagus sejenis Before Sunrise/Sunset, Eternal Sunshine at The Spotless Mind, Vicky-Christina Barcelona, Sideways, dan Curious Case of Benjamin Button. Saya pastikan, kalian tak melakukan hal yang sama ketika menonton film ini.

2010/04/10

Frau Album Promo "Starlit Carousel"

09 April 2010
Djendelo cafe
| Yogyakarta

Foto oleh Bondan Wahyutomo

Mungkin silogisme yang ditawarkan Tony Wilson pada film 24 Hours Party People tak sepenuhnya salah. Bahwa semakin sedikit kehadiran orang pada suatu event, justru itulah yang “bersejarah”.

Djendelo Café tak memiliki kapasitas besar dalam menampung pengunjung karena bangunan di lantai dua toko buku Toga Mas tersebut berbahan dasar kayu. Di situlah Leilani Hermiasih (panggilan Lani) dan Oscar (nama keyboard yang dipakai Lani), dengan nama panggung Frau, memapah sejarah launching album bertajuk Starlit Caraousel. Frau memang sebuah nama yang menjanjikan talenta musikalitas bermutu dan pertunjukkan memukau. Maka jangan heran jika penonton yang terlambat sedikit saja, musti mengedarkan pandangan was-was dan berkeluh dengan tak terpenuhinya quota kursi di café. Sang Arsitektur bangunan juga sedang diuji validitas perhitungannya oleh puluhan orang yang membebani instalasi barisan kayu lantai venue.

***


Sophie
Sebelum sang headliner tampil, ada dua band pembuka yang bermain secara acoustic. Dibuka band pop-ballad lokal yang telah berumur kurang lebih sewindu, Sophie. Musik dan lirik mereka catchy, dengan sedikit sentuhan riff gitar estetika Britpop era 90-an. Sophie sukses menjadi fase awal pelelehan kebekuan ice cream yang terhidang dibeberapa meja penonton.


Koala

Setelahnya saya saksikan nama baru, Koala. Mengkover lagu-lagu band seperti White Shoes & The Couple Company juga Endah dan Reza. Koala juga membawakan satu lagu mereka, yang berkisar antara pop/jazz/grove saya lupa judulnya ,hehehe. Hmmm mereka cukup cocok sebagai selingan bersenandung diantara suasana café sambil menikmati coklat, kopi, teh panas/dingin.


Frau
Lani mulai memposisikan diri, dan tuts Oscar telah sepenuhnya siap digerayangi jemari Lani. Mereka mulai bercinta ditengah hawa yang kian sesak dengan asap rokok. Puluhan pasang mata mendadak syahdu dan bibir mengelu karena hati kian meleleh oleh racikan berbahan dasar nada keyboard dan suara emas Lani. Secara berturut-turut kidung “Rat and Cat”, “Intensity” yang disambung medley dengan “Mesin Penenun Hujan”, “Salahku, sahabatku” yang berkolaborasi dengan keyboardist berbakat Nadya O Hatta, “Glow”, “I’m a Sir”, dan ditutup recover versi Frau “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa” milik salah satu band pop/triphop terbaik Yogyakarta saat ini, Melancholic Bitch.

***

Lani begitu jujur dalam menyusun nada dan liriknya dengan mengakui dia mencintai Regina Spektor. Sedemikian hingga Tuhan menganugerahi curly hair-nya yang lagi-lagi mengingatkan saya pada Spektor. Dia tidak perlu repot-repot menampik anggapan beberapa orang yang mengatakan kemiripan musiknya dengan Spektor. Karena Frau juga memiliki nilai tersendiri dengan kepiawaiannya meracik beberapa lagu yang berbahasa Indonesia.

Ini adalah sejarah tentang kejujuran dalam bermusik. Bahwa nada yang kita suarakan benar-benar reflektif dari hati kita. Lebih luasnya, mengingatkan kita pada hal yang begitu personal justru kadang berpengaruh besar pada turbelensi kosmic. Bahwa menjadi diri sendiri bukan berarti menjadi over-skeptic terhadap orang lain. Karena kita semua terbentuk oleh saripati bumi yang sama.

Myspace
Oya! kalian juga bisa mendowload secara free album Frau - Starlit Carousel pada Netlabel terkemuka di Indonesia, Yesnowave.com

2010/03/10

Tripping Junky LP Showcase

all pictures were taken from Tripping Junkie group on facebook.

Tripping Junkie, jelaslah bukan satu-satunya band indie/garage/rock yang sedang bersinar di Yogyakarta. Band-band yang bergenre tersebut pun tidak langka dijumpai di kota ini. Tapi tunggu dulu ! Kalimat pembuka tersebut bukan hantaran suatu celaan yang akan saya utarakan, justru sebaliknya, saya tidak menyangkal kekaguman saat menyaksikan showcase launching mereka.

Keberanian melakukan konser tunggal menggunakan konsep venue yang tidak biasa (bioskop), menggandeng kolaborasi nama besar Awan Garnida (SORE) dengan membawakan "Tomorrow Never Knows" dari The Beatles, sentuhan pasukan String Quartet pada beberapa lagu, dan background visual yang menyertai setiap track. Kesemuanya adalah guyuran pada dahaga saya akan tontonan yang segar.


Saya pun berani bertaruh, ratusan pasang mata yang menyaksikan acara tersebut memiliki impression yang sama dengan saya. Buktinya, meski ini konser tunggal untuk band yang tidak terhitung sangat eksis, namun penonton membludak, bahkan saya melihat para yang datang juga dari kalangan multi-scenes. Belum lagi, selalu disertai sorai applause meriah tiap akhir track. Bahkan hingga acara usai, banyak penonton yang masih enggan meninggalkan venue, dengan lebih memilih menyalami para personel untuk mengucapkan selamat.


Dini hari, sepulang dari showcase, saya menemukan ID Ym Asad (sang Vokalis) online. Tentu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk berbincang :

samgita_kurusetra: :-bd
samgita_kurusetra: showcase nya mantab cuy
samgita_kurusetra: selamat-selamat
asad_lennon: :-*:-*
asad_lennon: gimana lamabng dibelakangnya itu
samgita_kurusetra: hmm aku belum paham
samgita_kurusetra: itu menyimbolkan apa?
samgita_kurusetra: diambil dari pentagram?
asad_lennon: no
asad_lennon: itu jalur energinya kita
asad_lennon: yg saling beretmu dan ngebuat pola
asad_lennon: bertemu
samgita_kurusetra: ohhh
samgita_kurusetra: aku pkir tentang pertemuan dua cawan
samgita_kurusetra: seperti simbol klasik yin yang, versi mesir kuno
samgita_kurusetra: aku juga beli Cd kalian kok
samgita_kurusetra: :))
asad_lennon: hahahahaha
asad_lennon: hope you enjoy it
samgita_kurusetra: itu nomor sekian buat saya
samgita_kurusetra: kadang,
samgita_kurusetra: mungkin...membuat band, bukan sekedar membuat musik bagus.mungkin.
samgita_kurusetra: bukan sekedar memperdengarkan ke orang lain tentang hasilnya
asad_lennon: yap
samgita_kurusetra: hmm iguess.
asad_lennon: tapi gimana cara merepresentasikannya
samgita_kurusetra: yah tentang bagaimana orang2 yang terlibat.
samgita_kurusetra: berproses
samgita_kurusetra: dan how to learn from it
asad_lennon: hmmm i guees
asad_lennon: hehehehehe
samgita_kurusetra: yayayayay
asad_lennon: proses vignecvara sampe mana??
samgita_kurusetra: soal vignecvara ntar aja
asad_lennon: ya gw ngerti itu ko ndeng
samgita_kurusetra: eh eh
samgita_kurusetra: gimana kok bisa menggaet si awan?
asad_lennon: udah kenal lama hehehehe
samgita_kurusetra: hehhee
samgita_kurusetra: oh!
samgita_kurusetra: ya terus nawarinnya gimana?
samgita_kurusetra: ni mo gw posting soalnya
asad_lennon: bang maen di showcase gw yuk bawain beatles yg absurd
asad_lennon: 'dia jawab
asad_lennon: ok
samgita_kurusetra: hmmm
asad_lennon: that's it
samgita_kurusetra: tapi sebenernya aku g nyangka, ternyata apresiasi (maksudku yang dateng) bakal segila itu
samgita_kurusetra: sebanyak itu
samgita_kurusetra: amazing dude!
asad_lennon: kamu aja ngga nyangka apalagi aku
samgita_kurusetra: terus menurut kamu, itu karena apa?
samgita_kurusetra: (aku diam2 menginterview) hahahaha
asad_lennon: hahahaha
asad_lennon: hayo mau di posting mesti iki
asad_lennon: banyak yg penasaran soal permata
samgita_kurusetra: wahaahahaha
samgita_kurusetra: dapet ide pake bioskop dari sapa tu?
samgita_kurusetra: really jerking
asad_lennon: dari orang yg kita ajak ngobrol di angkringan
asad_lennon: bahakn orang itu ngga seneng2 amat sama musik
samgita_kurusetra: "orang itu" warga/preman daerah mana emang? hmmm sapa tahu dia juga punya banyak ide2 gila.
asad_lennon: kita juga udah ngga inget sama dia
asad_lennon: hehehehehe
samgita_kurusetra: hahahaha
samgita_kurusetra: isn't the point
samgita_kurusetra: kalian mo gelar launching di luar angkasa juga ga?
asad_lennon: mau
samgita_kurusetra: titip puterin CD nya ma superman mungkin
asad_lennon: kamu yah eo nya
asad_lennon: hahahahaha
samgita_kurusetra: wahahahah
samgita_kurusetra: oh ya.
samgita_kurusetra: aku belum dengerin sih isi albumnya...makanya aku nanya...di albumnya ada juga kolaborasi dengan 4 string kayak pas di showcase tadi ga?
asad_lennon: nope itu cuman jadi pengalaman buat yg nonton showcase aja
samgita_kurusetra: hmmm well
samgita_kurusetra: secara personal
samgita_kurusetra: aku suka tu...yang buat aranseen beda ma CD dengan panggung
samgita_kurusetra: *aransemen
samgita_kurusetra: hahahahha
asad_lennon: satu :-* lagi untukmu ndeng
samgita_kurusetra: hayah!!!
samgita_kurusetra: huhuhuhuh nobatkan aku jadi grupismu!!!
samgita_kurusetra: :x
samgita_kurusetra: :-*
asad_lennon: hakakakaka
asad_lennon: ayo ngadep belakang
samgita_kurusetra: siapsiap
samgita_kurusetra: hahahhah
samgita_kurusetra: yayyayay shine on you Triping Junkie!
asad_lennon: eh pas tuh
samgita_kurusetra: besok2 tak tanyain lagi soal album..ekalian tak review
asad_lennon: hahahaha
samgita_kurusetra: hahhaha
asad_lennon: sippphh ndenk
asad_lennon: thank you ndeng
samgita_kurusetra: oh my pleasure dear!
asad_lennon: :d

***

* Teks tersebut asli dan tanpa saya edit, agar kalian juga dapat melihat jelas si Asad sudah kelelahan. Terbukti dengan kalimat2nya yang singkat-singkat dan sering miss dalam mengetik. Ya sudah, review album kalian menyusul ya !

2010/02/17

LoveHateLifeInTheMachine Topchart

Sungguh tidak syah bagi sebuah media yang memiliki muatan musik di dalamnya, jika tidak mencantumkan semacam Top Chart atau pun Playlist dalam suatu kala periode tertentu. Tidak afdhol mungkin. Meski saya tidak tahu mengapa demikian, tapi agar blog ini lebih kaffah atau komprehensif, ya saya juga mbuat lah! Itung-itung turut mempopulerkan musisi yang karya-karyanya menemani saya dengan mesra.

1.Scarlett Johansson - Anywhere I Lay My Head
Genre : Indiepop/Dreampop/Female Singer
Benchmarks : Blonde Redhead, Cocteau Twins, Strawberry Switchblade
Unduh Album !




2.Manic Street Preachers - Journal For Plague Lovers
Genre : British Indierock/pop
Benchmarks : Ash, Mansun, U2
Unduh Album !




3.Zoo – Trilogi Peradaban
Genre : Noise-Freejazz/Math-Rock/Ethnic
Benchmarks : Saya tidak menemukan band yang benar-benar mirip dengan mereka ! (Mungkin) Ruins, Magma, (sedikit) Melt Banana
Unduh Album !




4.Wire - Pink Flag
Genre : Post-punk/Garage-Street Punk/Neo Glam
Benchmarks : Buzzcocks, Talkingheads, The Cribs, The Rakes
Unduh Album !




5.Cornelius – Sensuous
Genre : Shibuya-key/Electronic/Experimental
Benchmarks : Flipper's Guitar, Ryoji Ikeda, Cibo Matto
Unduh Album !




6.Death Cab For Cutie - Narrow Stairs
Genre : Indierock/Pop/Folkrock
Benchmarks : Radiohead, The Verve, Kaiser Chiefs, Travis
Unduh Album !





7.The Jesus & Mary Chain – Darkland
Genre : Shoegaze/Drone/Post-punk
Benchmarks : My Bloody Valentine, Skywave, Slowdive
Unduh Album !




8.Discus - ...tot licht!
Genre : Indonesian Art-progressive Rock/Avant-garde
Benchmarks : (Early) Dream Theater, (early) Genesis
Unduh Album !




Selamat Menikmati !

2010/02/14

Paste Magazine



I’ve been regretting if I will be squirreled away in Barzakh. Oh God! I just knew this blessed media.” Saya tidak sedang melebih-lebihkan penyesalan saya. Pada terbitannya yang ke-60 kalinya, saya baru mendownload versi PDF dari majalah ini. Padahal, media lokal yang biasa saya percaya semacam Wastedrockers, sering mengutip ulasan-ulasan dari media ini. Saya curiga (bukan menuduh), mungkin media semacam Jakartabeat mengikuti tampilan dari media ini.

Paste Magazine, adalah media yang dapat kalian andalkan ke-shahih-an matan-nya. Konten berimbang, antara resensi music, film, buku, interviews, info artist, bahkan hingga TV show program diulas dengan sangat baik. Disertai dengan Jurnalis-jurnalis yang benar-benar memahami apa yang sedang ia katakan dan bagaimana mempertanggungjawabkannya di depan publik pembaca. Para jurnalisnya juga sering membuat jokes dan leksikon-leksikon baru untuk menyebut beberapa gejala tertentu.

Tak perlu bertele-tele! Bagi kalian para kritikus, jurnalis, pengamat, penikmat, penggagah, musisi, filmmaker, web/media layouter, bahkan penggali kubur (hahahah) atau siapa sajalah. “If you're after a reference for your own personal brightness, you'd do better to chase down, Paste Magazine!

Silahkan klik disini !
oya, bagi yang punya link edisi-edisi sebelumnya, mohon bantuannya untuk berbagi.

2010/02/07

“Kill Your Idols”, Kanon Pembunuh Idola-Idolamu.


Ketika para rocker militan menjenuhkan kemapanan substansi dan estetika Punk, dan kala itu, akhir 1970-an menjadi sebuah embrio dari spirit redefinisi pemberontakan. Mengambil sudut pandang John Savage, seorang jurnalis musik pada interview film “Live Forever”, bahwa kutub musik memang bagaikan pendulum yang bergerak tik-tok-tik-tok antara UK-US-UK-US.
Jika era pasca kemapanan Punk yang digadang para media dengan titel Post-punk di UK, atau apalah namanya, maka pergerakan yang sama di US bertitel No Wave. Kedua gerakan tersebut juga terintegrasi dengan selera musik, dan cara berpikir sebagai sebuah subkultur.

Kill Your Idols, merupakan dedahan berwujud film dokumenter yang sangat recommended untuk memahami gerakan No Wave, karena film ini mengumpulkan sudut pandang dari pencetus-pencetusnya secara langsung ; Martin Rev (Suicide), Lydia Lunch dan Jim Sclavunos (Teenage Jesus and The Jerk), Arto Lindsay (DNA), J.G. Thirwell (Foetus), dan Glenn Branca (Theoritical Girls). Disajikan juga pandangan dari musisi tabi’in/tabi’at No Wave generasi awal ; Lee Ranaldo dan Thurston Moore ( Sonic Youth), juga Michael Gira (Swans).

Meskipun demikian, Kill Your Idols bukanlah sekedar film dokumenter sederhana yang hanya melegitimasikan manifesto No Wave. Bukan hanya berisi interview yang dimulai kalimat usang “ Oh yeah, I remember when I was…”, kemudian memainkan ulang video rekaman performance hasil konversi banal dari gulungan pita VHS, tapi juga lebih kepada melihat No Wave sebagai gerakan seni dan bagaimana ia mempengaruhi musik hari ini. Saya melihat (setidaknya secara garis besar) ada empat bagian terpenting dalam film ini, dimulai dengan retrospeksi generasi awal pada tahun 70-an (Teenage Jesus and Jerks, Contortions, Suicide, DNA, dll), band-band tahun 80-an awal yang diilhami oleh gerakan No Wave (Swans, Sonic Youth dan Foetus), penjajaran band-band yang lebih baru (Liars, Yeah Yeah Yeahs, A.R.E. Weapons, Gogol Bordello, Flux Information Sciences, dan Black Dice), dan bagian akhir adalah analisa tentang bagaimana band-band baru kehilangan titik ke-No Wave-an. Serta satu tambahan daerah samar ketika tiba-tiba membahas “The Strokes” yang padahal notabene-nya, tidak mewarisi No Wave.

Interview yang dusuguhkan secara terpotong-potong, langsung, dan cepat namun berkesinambungan, memberikan perasaan yang cukup jerky bagi saya. Gaya tutur Lindsay reflektif, Sclavunos yang humoris, Lydia Lunch dengan penuh kemarahan, dan juga Thirwell dipenuhi lontaran penghinaan, menjadikan interview mampu mewakilkan perbedaan attitude yang mendasar dari para narasumber. Salah satu hal yang menarik dari film ini hingga membuat saya memperlebar lensa retina dan mempertajam daya getar kedua kendang telinga adalah pengusutan dua generasi yang secara bersamaan saling memuji dan juga mengutuk dari generasi satu dengan generasi lain.

Perhatian spesial saya tujukan untuk Lydia Lunch. Selain ia adalah satu-satunya wanita wakil generasi tua, kemarahan dan kriktik-kritiknya terhadap generasi sekarang merupakan wujud kulminasi kekecewaan akut. Lunch mempertanyakan penghisapan semangat, root, sound, dan essensi No Wave oleh band-band yang menjadi idola saat ini semacam Yeah Yeah Yeahs dll. Sesungguhnya mereka sedang mengahadapi amnesia semangat awal tentang bagaimana berimajinasi, anti-estetika, tidak disukai, anti-korporat, nihilist, Dadaist, dan how to create something new. Lunch mungkin memang berlebihan, tapi setidaknya ia telah berhasil menanamkan di kepala saya guilty, atau bahkan menyesal karena telah mengidolakan Karen O dkk.

2010/02/01

Kyai Fatahillah

Merujuk pada postingan sebelumnya (mengenai identitas). Maka, saya tertarik untuk mempublikasikan lebih luas tentang kelompok musik yang satu ini. Seperti halnya postmodern dengan semangat diversivikasinya, atau mediasi status quo dengan modernitas melalui jembatan avant-garde. Karena cermin telah menjawab bahwa nilai kuasa bukan semata disebabkan oleh generalisasi.
***


Jika kalian pernah menonton film "Garasi" (2006), arahan Agung Sentausa, dengan starting Fedy Nuril, Ayu Ratna, Desta, dll, tentu kalian ingat pada bagian terakhir, band berkolaborasi dengan sebuah grup musik gamelan. Inilah mereka Kyai Fatahillah. (biografi lebih lengkap baca di myspace mereka!).
Melumat tatanan elektronik dengan lintas gamelan. Menariknya, meski kelompok tersebut terlahir dari ibu tanah Sunda, Bandung, namun saya tidak hanya mendengar unsur gamelan sunda dalam komposisi musik mereka (hampir semua ragam gamelan mereka eksplor). Mencantumkan free-jazz diantara ketukan fushion gamelan, mengambang pada ancient-ambient dihantamkan kerumitan avant-garde, dan seterusnya-dan seterusnya. Hingga kelompok ini layak untuk kalian simak.


***
Menunjukkan siapa kita, siapa kalian, siapa mereka, adalah penting. Bukan untuk tujuan manifesto, tapi rehumanisai yang bertoleransi. Sehingga pembebasan pada akhirnya selalu pada garis absurd-equilibrium.

Download link (sample) :

http://rapidshare.com/files/244608050/Kyai_Fatahillah.rar.html