2013/09/20

Rumah Kosong

Bata-bata gosong.
Pada rumah yang kosong.
Mengamit jalan besar nan pikuk.
Tak sempat air menjenguk.
Lalu musafir melintas,
sejenak takzim.
Pada serumpun jejaring getas.
Rumit dan pelik, menyisakan keraguan yang menyublim.
Tak perlu diketuk, pikirnya.
Cukup sebuah sapa, susuri dengan niat mengikis jelaga.
Lalu enggan pun bertalu, membuncah seketika.
Pecah dan berderai hanyalah persoalan menunggu.
Ia putuskan menerabas.
Tanpa zirah, tanpa perisai.
Tak lama, matanya lebam
Jejaring yang dipintal, dilapis-lapis larat dan berbelit-belit itu menghujam tak henti-henti.
Bukankah derajat dalam hidup melulu perkara ketahanan memanggul derita?
Dipeluknya halimun yang turun perlahan.
Tak lama laba-laba merangkul tengkuknya dengan bisa.
Peluh tercecer bagai darah rajam.
Keniscayaan perlahan hampa.
Namun kekosongan masih menjadi jalan raya besar menuju kuil penyuci diri.
Musafir kini tahu,
tak semua rumah kosong pernah berpenghuni. Juga tak semua orang layak menghuni.
Tuhan dan keberadaan, pikirnya.
Ah! Masihkah sama?

2013/08/04

Burung Parkit

Foto 1
Foto 2

Selain angle pengambilan gambar, apa beda antara dua foto tersebut?

Benar. Jumlah burung parkit yang berbeda. Burung parkit dalam foto pertama berjumlah empat ekor (dua pasang). Sedangkan foto kedua, ada satu burung (warna hijau) yang kesepian.

Dua foto tersebut merupakan burung dan sangkar yang sama. Milik Janu, adik saya. Ia memelihara burung parkit itu sejak sekitar empat bulan yang lalu. Dua bulan kemudianentah bagaimana caranyasalah satu burung bisa kabur dari sangkar besinya. Secara misterius.

Kata orang-orang (termasuk adik saya), parkit dan beberapa burung yang tipikal peliaraan, tak akan mampu bertahan hidup lama bila mereka kabur. Mereka tak terlatih menghadapi alam liar. Disela kata-kata itu kami merunduk lunglai karena sedikit sedih. Terutama Janu yang telah membeli burung parkit itu dengan uang pribadinya.

Glek!

Saya lantas bersandar pada kursi. Melamun sekilas. Teringat akan salah satu fragmen dalam film The Way Back (2010). Yakni ketika segerombol narapidana Soviet era komunisyang menjadi tokoh-tokoh utama film tersebutberistirahat diantara pelariannya. Para residivis tersebut kabur dari naudzubillah biadabnya penjara Siberia rejim Stalin.

Pada hari kedua. Mereka berpencar mencari dahan kering untuk dibakar. Sebagai bahan pertahanan dari amuk dingin daratan salju Siberia. Senja pun lengser. Kazik, satu dari gerombolan yang memiliki rabun senja, ternyata bernasib buruk. Ia tak dapat menemukan jalan kembali pada kawan-kawan pelarian lain. Tak butuh waktu lamatubuh Si Rabun pun diamuk kebekuan salju.

Teman-temannya segera mencari Kazik setelah curiga tak juga kembali. Mereka baru bisa menemukan Kazik saat ia telah mengajal karena beku. Seketika kesedihan pecah. Beberapa orang tak mampu untuk menahan histeri. Namun tentu sajasebagai para residivissebagian dari mereka menyisakan jiwa batu yang enggan meneteskan airmata.

Teruntuk Kazik yang meninggal dalam pelarian, tokoh yang bernama Janusz berkata di pemakaman dadakan itu,
A free man died here today.
Burung parkit milik adik saya pun sama. Bila ia mati karena kaburnya, maka ia telah mati sebagai burung yang bebas.

2013/07/14

Mengawini Tembok

Nindita Hapsari adalah nama dari seorang gadis mungil yang manis. Dita panggilannya, satu almamater dengan saya. Meski mungil dan manis, dia adalah tukang insekyur, eh insinyur, yang saat ini bekerja di perusahaan Si Doel, Trakindo. Di perusahaan itu, dia dulu masuk sebagai Junior Engineer. Habla Kartini!

Suatu kesempatan Dita bertanya-tanya perihal destinasi wisata bernama Bromo. Obrolan kami lakukan via aplikasi pesan pada mesin kecil yang pintar. Saya pun menjawab setahunya. Ah, itu tidak penting ditulis disini. Karena ada yang lebih substansial untuk dibahas di blog permesinan hidup ini. Yakni ketika sampai pada bagian akhir percakapan, Dita bertanya ihwal kapan saya menikah. Jawaban saya pun hanya ‘belum’. Kemudian ada basa-basi darinya berupa anjuran untuk tidak menunda-nunda.

Oke Dit! Saatnya saya tanya balik. Dengan pertanyaan yang sama. Inilah jawaban Dita,

Teks yang kiri berasal dari Dita, dan yang kanan dari saya.


Nikah sama tembok ya? Ahey!

Ditempat dan waktu yang lain, Eija-Riitta Berliner-Mauer telah melakukan hal tersebut. Pada tahun 1979 perempuan―yang menggunakan nama yang berarti tembok―tersebut memutuskan untuk menikahi tembok Berlin. Tentu dia telah didiagnosa dokter dengan kelaianan bernama Objectum-Sexuality. Sebutan bagi orang yang memiliki orientasi seksual terhadap benda-benda tak bernyawa. Menurut dokter, kelainan perempuan berkebangsaan Jerman tersebut telah berakar pada masa kanak-kanak.

Eija mengaku pertama kali jatuh cinta dengan benda saat berumur 7 tahun. Ketika ia melihat televisi. Kemudian ia mengumpulkan gambar-gambar di dinding. Menyimpan, memuja, dan mencintainya. Hingga pertemuannya pada tembok Berlin di tahun 1979. Tak lama, ia pun mengaku telah menikahi tembok tersebut. Entah bagaimana mereka berhubungan suami-istri selama 29 tahun. Sebab nyatanya, Eija tetap perawan hingga akhirnya sang suami (tembok Berlin) itu dirubuhkan pada 1989.

Mungkin hanya Eija orang Jerman yang berduka kala itu. Ia meratap histeris namun tak dapat berbuat apa-apa. Hingga akhirnya Eija pun harus melupakan ‘suaminya’ yang telah tiada. Eija berhasil move-on  dengan jatuh cinta lagi, pada pagar kebun.

Courtesy www.shortfilm.com sebagai pemilik foto

Lalu apakah Dita akan mengikuti jejak Eija? Itu terserah Dita. Tapi bila misalnya tidak berhasil mengawini tembok, mungkin pagar kebun bisa jadi opsi menarik. Demikian semoga tulisan ini tidak bermanfaat.

***

Biografi Eija-Riitta Berliner-Mauer dapat ditelusuri pada media Inggris bernama Telegraph dan atau pun Google.

2013/07/13

Hinakah Bila Ramadhan Hanya Sebuah Ritual Menunggu Tabuh Bertalu?

Sudah lebih dari tiga kali sholat taraweh dan sahur. Saya masih saja belum percaya jika ternyata sudah bertemu bulan Ramadhan. Meski infeksi religi telah menjalar―seperti biasa―di stasiun-stasiun televisi. Di udara, letupan ilahiyah berseru penuh deru. Di jam-jam yang tertentu. Melalui pembesar suara yang sama mereknya, dari surau-surau. Dan harga-harga sembako yang mulai membumbung.

Saya hampir tak menyadari Ramadhan telah datang. Pada masa saya penuh dengan senggang. Bang Toyib belum juga ditemukan.

Saya tak tahu akan menulis apa lagi tentang bulan ini. Ide-ide seperti likuid yang dididihkan dalam bejana kaca nan rapat. Siap pecah tanpa selamat. Tercerai-berai tanpa memberi manfaat. Namun juga ingin menghindari karat. Diluar sana, berapa yang menunggangi bulan suci sebagai komoditas? Terlalu banyak. Sebanyak orang-orang baik yang istiqomah mendakwaahkan besarnya fadhilah-fadhilah. Lalu berapa permenungan yang menghakimi para pedagang? Juga terlalu banyak. Dimana sebaiknya saya berpihak? Pada pedagang atau hakim-hakim yang bijaksana?

Saya belum percaya sudah bertemu kembali bulan Ramadhan. Petasan yang meledak tak lagi mengagetkan. Ketika lapar bagi saya bukan lagi hal yang memilukan. Tentu kesemuanya adalah gejala akibat terlalu sering mengkonsumsi tetirah Goenawan Mohamad (GM). Berkali-kali di Catatan Pinggir (caping) dan beberapa suhuf di Tuhan Dan Hal-Hal yang Tak Selesai. Entah mengapa beliau begitu terobsesi dengan pemaknaan ulang puasa.

Yang selalu GM tandaskan adalah makna puasa dengan gaya lama. Gaya-gaya orang suci yang merayakan kekosongan. Kekosongan yang disemai pada lahan iman. Kemudian dibiarkannya makna seperti buah yang jatuh atas keputusan semesta. Berdebar-debar menikmati waktu, ia tabukan. Dalam bahasa yang sangat halus, GM menyimpan penistaan pada mereka yang dalam puasanya hanya merayakan penantian tabuh bertalu. GM menghardik keberlebihan momen kenikmatan manusia setelah seharian menahan―dengan label ketamakan.

Ia tampak seperti sutradara yang ingin menjadikan lakon puasa sedemikian tragis. Bahkan jika perlu, tragis itulah yang seharusnya dirayakan dalam pengalaman. Atau dalam kata lain segala upaya untuk mentas dari tragedi sesegera mungkin diapkirkan.

Saya belum percaya sudah bertemu kembali bulan Ramadhan. Semenjak tetirah GM seolah menyudutkan Abu Hurairah yang merawi hadis Nabi dengan bunyi: ”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan penuh ‘ikhtisab’ maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim). Pada bagian ‘ihtisab’ inilah GM menafi. Mungkin karena beliau luput. Atau bisa juga karena maqom makrifat-nya. Selanjutnya saya  menggaris bawahi kata tersebut.

Berkata dasar ‘hasaba - hisaban’ yang berarti ‘menghitung – hitungan’. Tambahan (ziyadah) huruf ‘alif’ dan ‘ta’ menjadikannya kata transitif ‘memperhitungkan – perhitungan’. Beberapa ulama ―salah satunya adalah Syarh Al Bukhari Al Ibni Baththol, 7: 22―menafsirkan ihtisaban sebagai transaksi yang hanya kepada Allah. Beberapa mengartikannya dengan disiplin, perencanaan, taat aturan. Saya menyukai semua maknanya. Dengan tak lupa menambahi penekanan ‘ihtisab’ (memperhitungkan) terhadap kaidah waktu. Kapan waktu untuk menahan, kapan waktu diperbolehkan melampiaskan. Dihitung dan direncanakan.

Oya, sebelumnya perlu diketahui tambahan info ini: Arti ‘Puasa’. Menunjukkan juga puasa tak dapat dilepaskan dari kaidah waktu pelaksanaan. Mulai jam berapa sampai jam berapa, hari, bulan, atau waktu-waktu tertentu. (Baca penjelasan singkat namun padat mengenai makna puasa oleh mas Radit disini)

Saya teringat pada lakon Rubah dalam cerita karangan Antoine de Saint-Exupéry. Sang Rubah mewejangi si Pangeran Kecil,

“It would have been better to come back at the same hour,
If, for example, you come at four o’clock in the afternoon, then at three o’clock
I shall begin to be happy. I shall feel happier and happier as the hour advances.
At four o’clock, I shall already be worrying and jumping about. I shall show
you how happy I am!..”

Ada degub harapan dalam perjanjian. Ketika waktu mendekat untuk dicegat, tersimpan dalam hati seorang Penunggu semacam kebahagiaan. Mudah mengandaikan bila orang yang puasa adalah rubah. Sedangkan berbuka adalah seorang pangeran. Lalu mereka saling berjanji untuk bertemu pada satu waktu. Maghrib. Mendekati maghrib, bagi seorang puasa pasti membahagiakan.

Betapa puasa membuat hal sesederhana menunggu maghrib begitu membahagiakan. Hal-hal yang terlewat pada bulan-bulan lain. Berupa pemaknaan kembali kebahagiaan menyantap makanan-minuman. Ketika tabuh berbunyi, menu apa pun terasa menggugah selera. Nasi digarami tak akan pernah senikmat saat berbuka puasa.

Senada dengan petuah pemimpin tertinggi agama Islam, “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (muttafaq ‘alaihi).

Lalu apa masalahnya dengan ritual menunggu tabuh bertalu, Mas Goen? Toh dalam menunggu, mereka (orang yang puasa) telah menahan. Bukankah, salah satu SOP puasa berbunyi “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098) yang berarti bergesa. Sungguh saya siap dilaknat jika ada ketergesaan tanpa kesadaran tentang waktu.

Mereka hanya menjalankan tetirah agamanya. Untuk mendapatkan kebahagiaan sederhana saat berbuka. Mengapa Mas Goen yang bijaksana harus menyudutkan mereka?

***
Lucunya, saya menulis ini dengan gaya bahasa yang mencoba meniru gaya GM. Meski gagal. Tapi kok saya seperti teriak anti-amerika sambil minum pepsi jadinya. Dan, ya Allah. Saya kok mirip para bigot yang mendakwa esai-esai dengan nukilan dalil naqliy. Yo ben lah timbang rasido nulis.

Oya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakan.
Rayakan apa saja yang membahagiakan. Antara kamu-Tuhan.

2013/07/07

Saya Meng-kriet Blog Baru

Saya baru saja membuat keputusan. Perihal salah satu bagian hidup saya. Tulis-menulis. Dalam hal ini, saya rasa perlu juga memutuskan media mana yang akan dijadikan lahan bercocok-tulis. Saya sudah mempunyai blog ini untuk menampung ide-ide saya. Namun saya masih merasakan blog ini―dengan alamat blogspot―masih terasa kurang. Kekurangan yang saya rasakan adalah seringkali terpaksa menanggalkan ide-ide yang seliweran di pikiran. Ide tanggal karena setelah direnungkan, jadi terasa kurang oke. Lalu saya batalkan untuk menuliskannya di blog ini.

Nah, hal tersebutlah yang seringkali saya sesali pada akhirnya. Ide terlanjur tanggal, kemudian terlupa, dan tak sempat lagi terpugar. Padahal, setiap ide bertautan dengan suatu kejadian. Kejadian yang terikat erat dengan buhul suatu tempat dan waktu. Saat suatu peristiwa bertemu dan kadang gegar dengan latar pemahaman. Disitulah seringkali ada ide yang terpercik. Mengomentari, mengkritisi, memberi solusi, atau sekedar mencatat peristiwa yang ditemui. Sangat sayang bila momen-momen tersebut hilang. Karena bagi saya, percikan ide merupakan suatu momen magis yang meninggikan derajat manusia.

Buku Paolo Coelho yang berjudul (versi Indonesia) ‘Seperti Sungai yang Mengalir’, memberikan kesan untuk saya sejak kata pembuka darinya. Coelho menceritakan ketika pertama kali mengungkapkan keinginannya menjadi pengarang pada ibunya. Saat itu usianya lima belas tahun―sekitar tahun 1960-an.

Keluarganya tinggal di Brasil kala itu. Sebuah negara yang keaadaan ekonominya mungkin tak jauh berbeda dengan Indonesia. Negara-negara dunia ketiga kala itu sangat sulit untuk menghidupi pengarang secara layak. Sehingga ibunya berupaya sehalus mungkin menolak cita-cita Paolo Coelho muda. Ditambah lagi, Ayah Coelho seorang insinyur, dan pamannya seorang dokter. Sehingga menurut Ibu Coelho, anaknya tersebut tak tahu benar apa itu profesi pengarang.

Hal yang paling menarik adalah hasil riset kecil Coelho mengenai pengarang. Untuk menjawab pertanyaan ibunya apa itu profesi pengarang. Beberapa poin yang dituliskannya (beberapa saya ubah sesuaikan):
(a)  Pengarang seringkali marah tentang segala sesuatu, dan selebihnya ia merasa tertekan. Sebagian hidupnya dihabiskan ditempat minum dan berdebat dengan pengarang-pengarang lain. Omongan-omongannya ‘dalam’. Dan ia selalu punya ide-ide untuk menuliskan sesuatu. Sembari biasanya membenci tulisan-tulisan orang lain yang baru dipublis.
(b) Pengarang memiliki tugas untuk tak bisa dipahami oleh generasinya sendiri. Mereka yakin bila tulisannya terlalu mudah dimengerti, maka hilanglah kesempatan untuk dianggap jenius. Merevisi berulang kali tulisan yang telah dibuat. Bila orang rata-rata memiliki tiga ribu kosakata, pengarang sejati tidak pernah menggunakan satu pun dari kata tersebut. Sebab ada ratusan ribu kata lainnya di dalam kamus.
(c) Pengarang harus memahami istilah membingungkan, misalnya semiotika, hiper-realitas, epistimologi, neo-konkritisme. Sangat gemar membuat orang kaget dengan berkata semisal, “Einstein itu orang bodoh”, atau “Tolstoy adalah badutnya kalangan borjuis”.
(d)   Merayu wanita dengan kata-kata. Seringkali berhasil.
(e) Karena memiliki pengetahuan luas tentang budaya, biasanya pengarang mendapatkan tempat sebagai kritikus seni dan sastra. Sebagai kritikus, dia bisa menunjukkan kemurahan hatinya dengan menulis  tentang buku-buku karangan teman-temannya. Setengah dari ulasan seperti itu berisi kutipan-kutipan dari penulis asing, dan setengahnya lagi berisi analisis-analisis tentang kalimat. Kalimat yang digunakan pun dibuat secergas mungkin. Misalnya, “visi dua dimensi kehidupan yang terintegrasi”, atau “epistemolog mana pun akan kebingungan pada frase bla bla bla kesekian”.
(f) Ketika ditanya apa yang sedang dibacanya, ia menyebutkan buku yang belum pernah didengar oleh orang lain. Dan hanya satu buku yang tak terbantahkan bagi seorang pengarang Ulysses karangan James Joyce. Meski pun kadang mereka tak bisa menceritakannya secara jelas. Karena yah, ehem belum baca.

Coelho menyerahkan pengertiannya tentang profesi pengarang tersebut pada ibunya. Sekaligus kepada pembaca bukunya tentu. Hihihihi ketika membaca ini saya tertawa kecil karena geli. Seorang yang baru belajar membaca dan menulis pun tahu―bahwa apa yang baru saja Coelho sampaikan mengenai definisi pengarang―merupakan uraian yang begitu nyinyir.

Saya teringat dengan tulisan-tulisan saya sendiri. Dulu sering kali saya menulis hal-hal yang absurd. Teringat juga teman-teman penulis, dan para penulis-penulis yang sering saya baca karyanya. Terpukul rata. Hampir semuanya kena sindiran tersebut. Mungkin uraian Coelho tadi adalah apa yang selama ini menghalangi saya untuk segera menumpahkan ide menjadi tulisan. Pengarang yang bla bla bla dan begitu mempersulit. Saya terbawa arus konsep-konsep. Kemudian terlalu takut untuk sekedar menulis secara biasa saja.

Permasalahan lain adalah blog ini sudah terlanjur tematik. Saya tak ingin mengubahnya lagi―setidaknya sampai saat ini. Sedangkan ide-ide yang muncul tak melulu sesuai tema. Sehingga saya memutuskan untuk meng-kriet satu blog baru. Blog yang mencatat setiap ide meski hanya gagasan sepintas. Bahkan kadang tak pantas. Beberapa mungkin kontennya akan sama dengan blog ini. Beberapa ada penyesuaian. Beberapa yang ditulis di blog ini, tidak saya tampilkan di blog satunya dan sebaliknya. Saya belum tau pasti kontennya apa saja. Bikin saja dulu lah. Urusan lain belakangan.

Tentu saya juga tak ingin menggunakan domain blogspot lagi untuk blog baru. Terpikir ‘Wordpress’ atau mungkin ‘Tumblr’. Wordpress memiliki budaya blog yang nyaris sama dengan Blogspot. Sehingga saya tak melihat peluang kebaruan di banyak hal.

Maka akhirnya saya putuskan untuk meng-kriet blog di Tumblr. Alasannya sejauh saya lihat, Tumblr begitu sederhana tampilannya. Dan budaya utamanya adalah ‘following’, posting dan re-blog yang begitu ringkas. Kalau saya boleh mengasosiasikan antar-sosial media, Blogspot dan Wordpress itu seperti Facebook. Sedang Tumblr itu seperti Twitter. Budaya Tumblr seperti Twitter. Ringkas, padat, following, re-blog dan (mirip) life timeline.

Setelahnya saya survey sana-sini untuk menentukan nama. Karena ya, nama akan sangat berpengaruh pada pola pikir saya dan pembaca dalam mengisinya nanti. Akhirnya saya menemukan nama yang ketci, banal, dan membumi. Hasil mencatut banyak ide teman-teman, maka blog baru saya di Tumblr, saya namakan. SUDUT RUANG.

2013/07/05

Sederhana




Pada suatu kala. Pada linimasa jejaring sosial bernama twitter. Terbitlah pertanyaan yang menyentil dari putri salah satu pembesar bangsa ini. Alissa Wahid, putri mantan presiden RI, Abdurrahman Wahid.

Saya merasa sedikit tersentil meski tak sampai masygul. Lalu tiba-tiba ingin membalasnya dengan mengutil sebuah kuotasion yang masyhur. Redaksinya juga dari seorang yang insyaallah mabrur. Bunyinya seperti ini:
Simplicity is the ultimate sophistication — Steve Job

2013/07/02

Hujan Bulan Juli


Kamu pasti tahu dengan terma berima ‘i’ dari orangtua yang berbunyi “Januari hujan sehari-hari”. Masih sangat relevan bukan? Iya, dan saya tidak akan mempermasalahkan terma tersebut. Sumber premisnya pun sederhana―tiap bulan januari di wilayah Indonesia sedang berada pada puncak musim penghujan.  Terma telah aman terkendali. Namun rima yang sekarang jadi masalah.

Baru saja saya mengunjungi rumah nenek yang berjarak 10-an kilometer dari rumah. Di perjalanan pulang saya dihajar hujan dan angin kencang. Sampailah saya di rumah dengan keadaan basah kuyup. Hujan dan basahnya tidak menjadi masalah. Tapi saya mau menjadikannya masalah karena ini bulan apa? Ini bulan Juli sudara-sudara. Sekali lagi, hujan dan angin kencang ini ada dibulan Juli.

Dulu orang bikin terma “januari, hujan sehari-hari” selain enak dilidah dan dikuping juga pas dengan keadaan. Gara-gara keenakan, jadi keseringan diucapin. Gara-gara keseringan diucapin, jadi lagu, jadi doa bersama. Celakanya, banyak yang jadi lupa kalo ada nama bulan-bulan lain yang berakhiran ‘i’. Ada Mei, Juni, dan Juli. Bulan-bulan lain tersebut jadi berpeluang terinfeksi hujan sehari-hari. Sudah terbukti.

Kalau dibulan Mei, masih ada toleransi. Karena masih agak dekat awal tahun―meskipun sewajarnya siklus cuaca sudah memasuki kemarau. Sedangkan di bulan Juni?

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono 1989)

Blog yang peka terhadap romantika dan cinta ini memiliki tafsiran sendiri terhadap sajak tersebut. Bahwa ketika Opa Sapardi menuliskan sajak, bermaksud mengungkapkan kerinduan yang mendalam pada hujan, padahal bulan sudah sampai Juni. Singkatnya, berarti di bulan Juni, tak ada hujan.

Namun bagaimana lagi. Lain hulu lain ladang, lain dulu lain sekarang. Main gembot bikin pusing, dulu gembrot sekarang langsing. Rahasianya apa mon?

Kalau kamu mau tahu rahasianya secara sesat, silahkan search di website atau pun blog sains terkemuka di dunia. Sudah banyak hipotesa, hasil penelitian berupa jurnal maupun esai yang mendedah musabab anomali cuaca yang sedang terjadi. Di negara-negara yang beriklim subtropis, sedang, dan dingin masih terjadi badai salju hingga bulan juni yang lalu. Ini salah satunya:


Sedangkan musabab yang paling tepat menurut blog ini adalah cuaca sedang jadi hipster. Iya, hujan di bulan Oktober-Maret alam rasa terlalu mainstream. Masa alam gak boleh edgy dikit? Seperti kamu yang mulai jijik dengan mainstream-mainstream-an. Alam seperti memeberi pelajaran, “kamu jijik ama mainstream, aku mau gak mainstream dikit juga. Biar tau rasa.”

Lalu saya minta ampun pada alam. Sembari menyuapnya dengan suguhan lagu-lagu tentang hujan di bulan Juli. Dengan harapan semoga hujan dan gelap di bulan juli, berhenti pada sebatas nada dan suara. Siapa tahu hujan mau mereda. Siapa tahu hujan mau bijaksana. Siapa tahu kamu mulai enggan berulah sok anti-mainstream.

Berikut daftar lagu persembahan saya pada alam:

4. Shades Apart – Stranger By Day


Snow is falling from the sky in the middle of July// Sun was shining in my eyes again last night// Alarm goes off without a sound// The silence is so loud, something isn't right..

Frase awal lagu seperti bikin daftar keanehan yang ada di dunia ini. Salah satunya adalah hujan salju di bulan Juli.

Tersiar kabar bahwa band tersebut tidak meluncurkan video clip resmi untuk lagu ini. Saya hanya menemukan rekaman livenya disini.

3. Drake ― July


You had to change up the game// Oh the weather is not same// Now there's only cloudy days// I can't stand the rain in July// There were fireworks exploding// But now its getting colder// The leaves are turning colors// Whyyyyyy? // It's just not our season// The one and only reason// Baby oh, baby oh, our Summer turned into Fall..

Saya milih lagu ini karena saya penggemar Agnes Monica eh Montana yang sedang ber-go international dalam ranah musik R & B yow yow... Lek o lek o lek o.

2. Zeke And The Popo ― Menu.


Burry face in the menu// She said ‘i wanna drink’// ‘I wanna cold capuccino’.. (while i’m waiting for my hero)’// The rain begin again, it blends with her tears...// Don’t leave me alone, in the darknest of July..

Seorang gadis berdarah. Lukanya ditekan sembari duduk di jok mobil bagian belakang. Mereka baru saja kalah dan tertangkap oleh musuh. Lalu wajahnya dibenamkan ke dalam pilihan. Pesan minum capuccino sembari menunggu super-hero. Hujan turun bersamaan dengan tangis. Beserta ketakutan ditinggalkan dalam kesendirian. Dalam kegelapan, di bulan Juli..

Psikedilia dari Ibukota..

1. The Monophones ― Rain of July


I'm standing here
in the sky of july
With the blue and cloudy sky
With the land there's dry

The sun
its burning all of the land
Turn the stone into the sand
Leave my world in pain

Dear sunshine
would you give of your time
To give the cloud the chance
when the dream was so blind
Dear sunshine
would you give of your time
To give the cloud the chance
that the dream was so blind

I'm standing here
in the sky of july
With the blue and cloudy sky
With the land there's dry

What should I do at least for a try
To pick a piece of yours
being rain of july
Or should I flying high to the sky
To pick a piece of yours
being rain of july

Dear sunshine
would you give of your time
To give the cloud the chance
that the dream was so blind
Or should I flying high to the sky
To pick a piece of yours
being rain of july

Saya tulis lengkap lirik The Monophones karena mereka saya sebutkan di paling buntut. Sehingga perlu diberi apresiasi lebih. Alasan lain adalah karena saya menyatakannya sebagai lagu hujan bulan Juli nomor wahid.

Demikianlah beberapa bukti artefak bahwa sebenarnya hujan di bulan Juli pada dasarnya banyak dinanti dengan nada dan suara. Lama-lama pun menjadi doa. Dan terkabulkan.

Bagi kamu yang keberatan dengan daftar ini, silahkan ajukan banding atau menambahi dikolom komentar. Atau boleh juga ke akun twitter @Bandeenk.

2013/06/16

Jalan Pulang


2013/06/10

Nguda Rasa


Beberapa hari yang lalu saya didaulat untuk terlibat dalam sebuah persyarikatan diskusi yang super amboy. Studi yang ditelaah dalam diskusi pun cukup radikal—sebuah film serial nyang legendaris—Si Doel Anak Sekolahan. Ruangnya juga sangat bergaya era 2.0, berupa waktu yang bergaris (baca ‘timeline’ twitter). Waktu saya datang, tau-tau udah diberi nama Center for Si Doel Studies (CSDS). Ada dua kuncen senior di CSDS—Fakhri Zakaria selaku pendiri sekaligus pimpinan trayek Cinere-Gandul; dan Nuran Wibisono sebagai penelaah konflik Kong Ali vs Mandra. Bagi yang belum kenal karena mungkin hanya punya sedikit waktu menikmati timeline twitter di jam makan siang, silahkan baca link ini sebagai pengantar CSDS.

Tapi biarlah perihal itu urusan si Jaki sebagai corong propagandis syarikat, saya mah kejatahan bagian yang intim-intim sedikit gosong. Tentu karena yang intim-intim sedikit gosong itu akan renyah ketika digoreng. Maaf, saya barusan ngelantur! Lebih dari itu, serial tivi semacam Si Doel Anak Sekolahan ini sangat relevan untuk dikaji dalam naungan blog benci-cinta-hidup-dalam mesin ini. Alasannya sederhana, film tersebut penuh lika-liku kehidupan dan percintaan.

Dari sekian hari menjalani diskursus tentang Si Doel Anak Sekolahan, episode ke episode, dialog ke dialog, ada satu kata kunci yang terlalu melekat dipikiran saya. Kata kunci tersebut lebih intim berhubungan dengan pikiran saya melebihi intimnya cinta segitiga Sarah-Doel-Zaenab. Mas dan mbak gak harus menunggu untuk tau apa sebenarnya kata kunci tersebut. Iya mas-mbak kata kuncinya ada di judul—Nguda Rasa.

Kata tersebut secara ajaib muncul dari tuah Mas Karyo yang dirundung pilu selalu. Ini deh episodenya


Pada episode tersebut dijelaskan arti Nguda Rasa yaitu mengajak bicara hati nurani sendiri. Karena hati nurani jika tidak pernah diajak bicara maka ia akan menjadi bisu (Karyo, 1996). Bukankah sangat dalam permenungan dari kata tersebut kawan-kawan? Saya tak merasa cocok dengan beberapa kemungkinan padanan kata yang ada dalam bahasa Indonesia. Mungkin refleksi, instropeksi, retropeksi—tapi ah rasanya belum bisa mewakili Nguda Rasa.

Mungkin yang agak tepat adalah datang dari ranah psikoanalis milik Carl Jung dengan sebutan bertemu ‘Wise Old Man’ bagi lelaki dan ‘Great Mother’ bagi perempuan. Meski sebenarnya dalam budaya jawa—untuk menyebut ritual apa yang Jung maksud—memiliki terma yang spesifik, yakni bertemu ‘kakang kawah lan adi ari-ari’. Terliat seperti klenik mungkin. Padahal di Jepang, para samurai juga melakukan hal serupa (salah bukti dapat dilihat pada film 13 Assassins karya Takashi Miike, pen). Tentu di banyak agama juga memiliki ajaran serupa.

Mengapa kata tersebut saya jadikan kunci? Pertama, tanpa harus mengutip thesis manapun kita mafhum bila film merupakan salah media permenungan yang ampuh. Maka ketika muncul kata Nguda Rasa pada film Si Doel Anak Sekolahan—yang mana mengusung tema benturan budaya di kota metropolitan—mantab lah sudah pesan permenungan yang dikandungnya; kedua,  tanpa harus jauh-jauh mendedah ‘Modern Times’ punya Chaplin alias Jojon versi bule, waktu adalah masalah utama manusia modern.

Adek-adek habis sekolah, kursus olahraga atau musik, ekskul, les privat mata pelajaran. Juga ada adek-adek yang abis kuliah ngerjain tugas, ekstra kulikuler, kumpul himpunan, ngerjain tugas lagi, kuliah lagi. Kakak-kakak pada kerja pulang sore, kena macet, capek, tidur, kerja lagi kadang lembur, tambah dimarahin pabos. Bapak-bapak kerja sampe sore, marah-marahin anak buah, pulang capek, tidak sempat menafkahi batin istri langsung tidur, kerja lagi.. Dan hal-hal yang menjadikan resesi Nguda Rasa semakin tersisihkan dari metropolitan, karena mulai tak sempat.

Saya sendiri tidak tahu pasti. Karena saya belum pernah benar-benar tinggal di Jakarta. Cuma kata Om Guruh Soekarno Putra, di Metropiltan banyak orang yang sering kesepian di keramaian. Rancak bana kan komponis nasional yang satu ini!

Menurut tafsiran saya, ‘kesepian di keramaian’ adalah ketika seseorang sudah tak mampu lagi mendapatkan lawan bicara yang nyaman selayaknya teman—meski begitu banyak orang disekeliling kita. Semua interaksi menjadi basa-basi. Setiap tawa hanya sebagai penyedap mata. Dan setiap sapa segera berujung pada lupa. Parahnya lagi, bila orang tersebut tak lagi mampu mengajak bicara hati nuraninya sendiri.

Saya bertanya, apalagi yang lebih sepi dari keadaan tersebut? Bahkan orang bisu pun mungkin lebih baik nasibnya, karena masih sanggup berbincang mesra dengan hati nuraninya.