Sudah lebih dari tiga kali sholat taraweh dan sahur. Saya masih saja
belum percaya jika ternyata sudah bertemu bulan Ramadhan. Meski infeksi religi
telah menjalar―seperti biasa―di stasiun-stasiun televisi. Di udara, letupan
ilahiyah berseru penuh deru. Di jam-jam yang tertentu. Melalui pembesar suara
yang sama mereknya, dari surau-surau. Dan harga-harga sembako yang mulai
membumbung.
Saya hampir tak menyadari Ramadhan telah datang. Pada masa saya penuh
dengan senggang. Bang Toyib belum juga ditemukan.
Saya tak tahu akan menulis apa lagi tentang bulan ini. Ide-ide seperti
likuid yang dididihkan dalam bejana kaca nan rapat. Siap pecah tanpa selamat.
Tercerai-berai tanpa memberi manfaat. Namun juga ingin menghindari karat. Diluar
sana, berapa yang menunggangi bulan suci sebagai komoditas? Terlalu banyak. Sebanyak
orang-orang baik yang istiqomah mendakwaahkan besarnya fadhilah-fadhilah. Lalu
berapa permenungan yang menghakimi para pedagang? Juga terlalu banyak. Dimana
sebaiknya saya berpihak? Pada pedagang atau hakim-hakim yang bijaksana?
Saya belum percaya sudah bertemu kembali bulan Ramadhan. Petasan yang
meledak tak lagi mengagetkan. Ketika lapar bagi saya bukan lagi hal yang
memilukan. Tentu kesemuanya adalah gejala akibat terlalu sering mengkonsumsi
tetirah Goenawan Mohamad (GM). Berkali-kali di Catatan Pinggir (caping) dan beberapa suhuf di Tuhan Dan Hal-Hal yang Tak Selesai. Entah mengapa beliau begitu terobsesi
dengan pemaknaan ulang puasa.
Yang selalu GM tandaskan adalah makna puasa dengan gaya lama.
Gaya-gaya orang suci yang merayakan kekosongan. Kekosongan yang disemai pada
lahan iman. Kemudian dibiarkannya makna seperti buah yang jatuh atas keputusan
semesta. Berdebar-debar menikmati waktu, ia tabukan. Dalam bahasa yang sangat
halus, GM menyimpan penistaan pada mereka yang dalam puasanya hanya merayakan penantian
tabuh bertalu. GM menghardik keberlebihan momen kenikmatan manusia setelah
seharian menahan―dengan label ketamakan.
Ia tampak seperti sutradara yang ingin menjadikan lakon puasa
sedemikian tragis. Bahkan jika perlu, tragis itulah yang seharusnya dirayakan
dalam pengalaman. Atau dalam kata lain segala upaya untuk mentas dari tragedi
sesegera mungkin diapkirkan.
Saya belum percaya sudah bertemu kembali bulan Ramadhan. Semenjak
tetirah GM seolah menyudutkan Abu Hurairah yang merawi hadis Nabi dengan bunyi:
”Barangsiapa yang berpuasa di
bulan Ramadhan karena iman dan penuh ‘ikhtisab’ maka
dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim). Pada bagian
‘ihtisab’ inilah GM menafi. Mungkin karena beliau luput. Atau bisa juga karena maqom makrifat-nya. Selanjutnya saya menggaris bawahi kata tersebut.
Berkata dasar ‘hasaba - hisaban’
yang berarti ‘menghitung – hitungan’. Tambahan (ziyadah) huruf ‘alif’ dan ‘ta’ menjadikannya kata transitif
‘memperhitungkan – perhitungan’. Beberapa ulama ―salah satunya adalah Syarh Al
Bukhari Al Ibni Baththol, 7: 22―menafsirkan ihtisaban sebagai transaksi yang
hanya kepada Allah. Beberapa mengartikannya dengan disiplin, perencanaan, taat
aturan. Saya menyukai semua maknanya. Dengan tak lupa menambahi penekanan
‘ihtisab’ (memperhitungkan) terhadap kaidah waktu. Kapan waktu untuk menahan,
kapan waktu diperbolehkan melampiaskan. Dihitung dan direncanakan.
Oya, sebelumnya perlu diketahui tambahan info ini: Arti ‘Puasa’. Menunjukkan
juga puasa tak dapat dilepaskan dari kaidah waktu pelaksanaan. Mulai jam berapa
sampai jam berapa, hari, bulan, atau waktu-waktu tertentu. (Baca penjelasan
singkat namun padat mengenai makna puasa oleh mas Radit disini)
Saya teringat pada lakon Rubah dalam cerita karangan Antoine de
Saint-Exupéry. Sang Rubah mewejangi si Pangeran Kecil,
“It would have been better to
come back at the same hour,
If, for example, you come at
four o’clock in the afternoon, then at three o’clock
I shall begin to be happy. I
shall feel happier and happier as the hour advances.
At four o’clock, I shall already
be worrying and jumping about. I shall show
you how happy I am!..”
Ada degub harapan dalam perjanjian. Ketika waktu mendekat untuk dicegat,
tersimpan dalam hati seorang Penunggu semacam kebahagiaan. Mudah mengandaikan bila orang
yang puasa adalah rubah. Sedangkan berbuka adalah seorang pangeran. Lalu mereka
saling berjanji untuk bertemu pada satu waktu. Maghrib. Mendekati maghrib, bagi
seorang puasa pasti membahagiakan.
Betapa puasa membuat hal sesederhana menunggu maghrib begitu
membahagiakan. Hal-hal yang terlewat pada bulan-bulan lain. Berupa pemaknaan
kembali kebahagiaan menyantap makanan-minuman. Ketika tabuh berbunyi, menu apa
pun terasa menggugah selera. Nasi digarami tak akan pernah senikmat saat berbuka puasa.
Senada dengan petuah pemimpin tertinggi agama Islam, “Bagi orang
yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan
kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (muttafaq ‘alaihi).
Lalu apa masalahnya dengan ritual menunggu tabuh bertalu, Mas Goen? Toh
dalam menunggu, mereka (orang yang puasa) telah menahan. Bukankah, salah satu
SOP puasa berbunyi “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama
mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)
yang berarti bergesa. Sungguh saya siap dilaknat jika ada ketergesaan tanpa
kesadaran tentang waktu.
Mereka hanya menjalankan tetirah agamanya. Untuk mendapatkan
kebahagiaan sederhana saat berbuka. Mengapa Mas Goen yang bijaksana harus menyudutkan mereka?
***
Lucunya, saya menulis ini dengan gaya bahasa yang mencoba meniru gaya
GM. Meski gagal. Tapi kok saya seperti teriak anti-amerika sambil minum pepsi
jadinya. Dan, ya Allah. Saya kok mirip para bigot yang mendakwa esai-esai dengan nukilan dalil naqliy. Yo ben lah timbang rasido nulis.
Oya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakan.
Rayakan apa saja yang membahagiakan. Antara kamu-Tuhan.
2 comments:
Ramadhan ya nunggu diskonan dong, masbro :p
Wah iya ya.. nulisnya pas agak jauh dari lebaran sih :D
Post a Comment