2014/11/29

Kembali, dan sentimentil

Sudah setahun blog ini menjadi onggokan. Tak ada sesuatu yang bisa saya tulis disini. Selama setahun. Seperti kebanyakan manusia hari ini, saya memasuki dunia kerja. Usai menamatkan pendidikan setinggi kesanggupan orang tua.

Tahun ini juga sempat melewati masa--mengambil bahasa Nuran--dimana usia seseorang telah mengalami sengkarut kekalahan demi kekalahan. Saya melewati usia 27 di tahun ini. Kalah dari berbagai laju jaman dalam kehidupan.

Lebih sentimentil. Perasaan yang dihasilkan dari berbagai perasan dan benturan dengan banyak hal. Watak banyak manusia. Deru mesin yang bising. Mesin berbahan logam-logam padat nan dingin.

Sekarang blog ini benar-benar dioperasikan oleh seorang Machinist. Sebuah nama profesi yang saya comot dari sebuah film dengan aktor Christian Bale. Seorang buruh. Operator mesin yang dingin di sebuah pabrik. Bekerja siang-malam. Rutin dan pelan-pelan emosi pudar. Mendekati karakter robot.

Saya seorang pembuat tisu. Sebuah profesi yang bahkan terlalu berlebihan untuk disebut sederhana saja. Lebih layak disebut sepele.

Produk yang saya buat hanyalah lembaran untuk mengelap sisa feses yang menempel di anus usai buat hajat. Penghapus noda kosmetik kadang-kadang. Penyapu sisa makanan di area bibir usai makan. Pengelap sperma yang berceceran di perut. Bahan baku untuk pembalut.

Mungkin satu-satunya guna istimewa tisu adalah saat digunakan menghapus airmata mereka yang sedang dilarut duka lara. Selain itu, saya tak tahu lagi. Karena saya terlewat sentimentil saat ini.

Penyebab sentimentil bukanlah karena saya meratapi profesi dan produk yang dihasilkan. Melainkan pada betapa produk yang begitu sepele seperti tisu dihasilkan dengan banyak keringat, airmata, bahkan darah para buruh.

Sekitar tiga bulan lalu seorang karyawan bagian maintenance tewas tergiling putaran penggulung tisu yang masih berbentuk roll dan press roll. Tugasnya dalam memperbaiki mesin menuntutnya memindai permasalahan mesin. Sebelumnya mesin dilaporkan bermasalah oleh karyawan bagian proses produksi.

Datang ke lokasi mesin bersama seorang temannya. Mesin belum sempurna berhenti ketika ia mendekati area yang bermasalah. Ia sedikit melongok untuk memastikan masalah apa yang terjadi pada mesin. Tiba-tiba temannya kebingungan karena ia tak lagi tampak disampingnya. Ketika mesin telah berhenti seluruhnya, temannya mendapati tubuh karyawan itu tergelepar di sela-sela bagian mesin.

Rupanya ia tertarik putaran press roll tisu. Tubuhnya tergiling antara roll tisu dengan press roll  yang sedang berputar 500 meter/menit. Posisi tubuhnya seperti tebu yang diperas airnya dengan penggiling otomatis (seperti yang sering kita lihat di penjual es tebu).

Memang kejadian seperti di atas ekstrim, dan bukan tiap hari. Beberapa kali karyawan yang kehilangan anggota tubuhnya. Terpotong oleh poros yang berputar. Remuk oleh dua benda pejal yang beradu. Terjatuh dari ketinggian saat pembangunan proyek blok baru.

Yang terjadi hampir tiap hari adalah luka-luka kecil. Jari yang terkena pisau pemotong tisu rejected, tangan/kaki yang terjepit besi, dan kulit yang terkoyak kawat. Ketika baru bekerja hampir seminggu sekali ada luka kecil di tubuh saya. Seringkali karena terbentur siku besi.

Saya seorang pembuat tisu. Sebuah profesi yang bahkan terlalu berlebihan untuk disebut sederhana saja. Lebih layak disebut sepele. Saya menjadi lebih sentimentil sekarang. Melihat benda-benda di sekitar tak kan lagi sama rasanya.

Ketika melihat pakaian yang sehari-hari saya kenakan misalnya. Terlintas kecelakaan kerja yang telah menjadi berita nasional. Seorang buruh pabrik garmen di Purwakarta tewas mengenaskan. Tubuhnya hampir hancur terseret mesin pemintal.

Satu per satu benda yang saya lihat di sekililing melintaskan banyak bayangan tersebut.

Berapa kulit yang terbakar saat terjadi kebocoran kaca yang masih cair saat saya menggenggam sebuah gelas berisi es krim sundae dicampur waffle. Berapa anggota tubuh yang pernah terpotong jig saw hingga terakit meja dan kursi tempat saya meletakkan gadget-gadget ini. Apakah keluarga yang anggotanya meninggal tertimpa plat almunium telah mendapat penghidupan layak--ketika kaleng bir yang telah kosong asik saya remas-remas.

Bayangan-bayangan itu sekarang begitu akrab dengan saya. Hidup saya begitu dekat dengan hal-hal seperti itu. Ya, saya menjadi lebih sentimentil. Melihat benda-benda di sekitar tak kan lagi sama rasanya.

Rasaya takkan mungkin lagi saya bisa menerima joke nyinyir teman-teman tentang aksi buruh menuntut kenaikan upah. Nyinyir melalui akun media sosial pribadi. Teman-teman yang bekerja di ruang ber-AC. Duduk dibalik layar monitor notebook belasan juta. Bepergian dengan mobil. Melancong kesana-kemari dengan tiket promo. Dan merasa telah menjadi orang paling menderita dengan tuntutan kerjanya.

Blog ini sekarang benar-benar dioperasikan seorang Machinist. Machinist yang lebih sentimentil.

2013/09/20

Rumah Kosong

Bata-bata gosong.
Pada rumah yang kosong.
Mengamit jalan besar nan pikuk.
Tak sempat air menjenguk.
Lalu musafir melintas,
sejenak takzim.
Pada serumpun jejaring getas.
Rumit dan pelik, menyisakan keraguan yang menyublim.
Tak perlu diketuk, pikirnya.
Cukup sebuah sapa, susuri dengan niat mengikis jelaga.
Lalu enggan pun bertalu, membuncah seketika.
Pecah dan berderai hanyalah persoalan menunggu.
Ia putuskan menerabas.
Tanpa zirah, tanpa perisai.
Tak lama, matanya lebam
Jejaring yang dipintal, dilapis-lapis larat dan berbelit-belit itu menghujam tak henti-henti.
Bukankah derajat dalam hidup melulu perkara ketahanan memanggul derita?
Dipeluknya halimun yang turun perlahan.
Tak lama laba-laba merangkul tengkuknya dengan bisa.
Peluh tercecer bagai darah rajam.
Keniscayaan perlahan hampa.
Namun kekosongan masih menjadi jalan raya besar menuju kuil penyuci diri.
Musafir kini tahu,
tak semua rumah kosong pernah berpenghuni. Juga tak semua orang layak menghuni.
Tuhan dan keberadaan, pikirnya.
Ah! Masihkah sama?

2013/08/04

Burung Parkit

Foto 1
Foto 2

Selain angle pengambilan gambar, apa beda antara dua foto tersebut?

Benar. Jumlah burung parkit yang berbeda. Burung parkit dalam foto pertama berjumlah empat ekor (dua pasang). Sedangkan foto kedua, ada satu burung (warna hijau) yang kesepian.

Dua foto tersebut merupakan burung dan sangkar yang sama. Milik Janu, adik saya. Ia memelihara burung parkit itu sejak sekitar empat bulan yang lalu. Dua bulan kemudianentah bagaimana caranyasalah satu burung bisa kabur dari sangkar besinya. Secara misterius.

Kata orang-orang (termasuk adik saya), parkit dan beberapa burung yang tipikal peliaraan, tak akan mampu bertahan hidup lama bila mereka kabur. Mereka tak terlatih menghadapi alam liar. Disela kata-kata itu kami merunduk lunglai karena sedikit sedih. Terutama Janu yang telah membeli burung parkit itu dengan uang pribadinya.

Glek!

Saya lantas bersandar pada kursi. Melamun sekilas. Teringat akan salah satu fragmen dalam film The Way Back (2010). Yakni ketika segerombol narapidana Soviet era komunisyang menjadi tokoh-tokoh utama film tersebutberistirahat diantara pelariannya. Para residivis tersebut kabur dari naudzubillah biadabnya penjara Siberia rejim Stalin.

Pada hari kedua. Mereka berpencar mencari dahan kering untuk dibakar. Sebagai bahan pertahanan dari amuk dingin daratan salju Siberia. Senja pun lengser. Kazik, satu dari gerombolan yang memiliki rabun senja, ternyata bernasib buruk. Ia tak dapat menemukan jalan kembali pada kawan-kawan pelarian lain. Tak butuh waktu lamatubuh Si Rabun pun diamuk kebekuan salju.

Teman-temannya segera mencari Kazik setelah curiga tak juga kembali. Mereka baru bisa menemukan Kazik saat ia telah mengajal karena beku. Seketika kesedihan pecah. Beberapa orang tak mampu untuk menahan histeri. Namun tentu sajasebagai para residivissebagian dari mereka menyisakan jiwa batu yang enggan meneteskan airmata.

Teruntuk Kazik yang meninggal dalam pelarian, tokoh yang bernama Janusz berkata di pemakaman dadakan itu,
A free man died here today.
Burung parkit milik adik saya pun sama. Bila ia mati karena kaburnya, maka ia telah mati sebagai burung yang bebas.