2012/12/23

Haram


Khairul umuri au sathuha — Sebaik-baiknya hal adalah yang berada pada titik keseimbangan.” [Pepatah arab]

Haram

Sebuah kata yang bagai seringai. Memberikan jarak tertentu dalam ketakutan yang menyelinap lubuk. Seringai sekawanan serigala bisa jadi hanya saling bertukar sapa dengan kawanan lain. Hanya sebuah media komunikasi purba. Tapi bagi mereka yang berada di bawah rantai makannya mustahil menyangkal untuk segedar bergidik. Bisa jadi seringai itu, dan/atau label haram, adalah sesuatu yang tak kasat. Dan jarak dengan yang tak kasat bisa didekati dengan iman, pembuktian, ataupun metode penalaran.

Saya tertarik menulis tema ini mengingat betapa akhir-akhir ini kita sering diresahkan dengan kata “haram”. Tentang merokok, berpacaran, bersosial media, dan yang paling anyar adalah bertukar “selamat merayakan hari raya” antar pemeluk agama satu dengan lain.

***

Baik mari kita mulai dengan telisik. Haram berasal dari bahasa arab “haramayahrimuharman” yang berada pada wazan “fa’alayaf’ilufa’lan” —artinya “hormat”. Lalu dengan ziyadah (tambahan) tasdid, menjadi “harramayuharrimu” yang berarti “menghormati”. Dari kata tersebut lalu muncul kata-kata yang telah diadopsi dalam bahasa indonesia seperti harim dan muhrim. Namun bagaimana kata “hormat” erat diasosiasikan dengan “larangan”, mari kita coba mengurainya dengan nalar yang (semoga) mudah dimengerti.Beberapa permisalan haram: suatu tribal di pedalaman memiliki hutan larangan yang haram hukumnya bila dijamah oleh manusia; suatu wilayah sungai yang oleh masyarakat sekitar diangkerkan dan haram bila digunakan untuk hajat manusia; larangan membunuh harimau karena suatu masyarakat tertentu meyakini harimau adalah reinkarnasi nenek moyang mereka; haram hukumnya bagi non-muslim memasuki Masjidil Haram di Mekah; haram bagi Katolik untuk bercerai; haram bagi seorang biksu memakan daging; dan dilarang melakoni yang enak-enak, kata Bang calon yang baru akan dicalonkan (blah!) presiden RI—Rhoma Irama.

Kalau definisi haram tetap saklek pada larangan, betapa miskinnya kita akan makna. Lebih dari itu, makna aslinya pun jadi bias. Nganu, parahnya malah bakal terjadi miskonsepsi akut. Karena akan rentan timbulnya patah logika dasar bahasa. Konsep haram sendiri beyond larangan. Maksudnya segala hal yang diharamkan seharusnya didasari oleh penghormatan. Dalam menentukan larangan dengan kata haram, suatu ajaran maupun adat, didahului oleh pijakan bahwa hal tersebut harus dihormati.

Misal, agama islam mengharamkan bersenggama diluar pernikahan. Berarti islam menghormati aktivitas pemenuhan hasrat dan pelestarian spesies tersebut hingga pada taraf tinggi. Karena saking dihormatinya prosesi senggama, maka hal tersebut dilarang dilakukan sembarangan. Tentu kita meyakini bahwa berlaku “sembarangan” berarti jauh dari kata menghormati.

Bila masih ada suku yang hidup berdampingan dengan hutan larangan. Mereka biasanya punya teritori hutan tertentu—hutan larangan. Pendidikan kita cukup nyandak lah untuk sekedar memahami perlu adanya hutan yang terlindung dari jamahan manusia.

Selanjutnya dalam banyak ajaran terdapat larangan membunuh, memburu, dan mengonsumsi hewan yang berada pada strata rantai makanan tertinggi. Harimau, elang, kera, dan predator lainnya. Sebab kenyataannya, akhir-akhir ini kita tahu, penurunan populasi mereka berdampak pada ketidakseimbangan ekologi.

Dalam bahasa arab ada kata lain untuk kata “dilarang” selain haram yakni “mana’a”. Mana’a memiliki arti yang lebih tak transenden. Misal, dilarang membawa makanan ke dalam kelas; atau pun larangan memakai kaos oblong saat memasuki wilayah kampus. Larangan yang jenis ini lebih bersifat hanya estetis bukan? Nah untuk kata larangan yang cocok ditaruh pada pamflet ini, lebih pas menggunakan “mana’amamnu’” bukan harama.

Jika demikian, artinya setiap pelarangan tindakan dengan istilah “haram” pada dasarnya diikuti kaidah dasar penghormatan terhadap sesuatu. Berbarengan dan tak terlepaskan. Nah jika logika tersebut telah terbentuk, sebaiknya kita mulai serius.

Serius jika yang diharamkan berbarengan dengan adanya penghormatan, maka ada baiknya bagi setiap yang terkena dampak dari hukum haram mengerti benar cara memilah hal apa saja yang patut diberi hormat. Dalam agama saya (islam) penghormatan hanya boleh dipersembahkan untuk Allah dan apa-apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati. Kedua orang tua, tetangga, pemimpin yang adil, hingga saudara pemeluk agama lain yang taat, dan sebagainya. Misalnya haram hukumnya berkata kasar terhadap orang tua meski mereka berbuat salah. Ya berarti musti ngingetin dengan cara yang penuh kelembutan, cari sendiri lah caranya ya :D

***

Pada akhinya keseimbangan tetaplah keseimbangan. Sebelum akhirnya para manusia bertabiat mengharamkan apa saja, Allah telah memberikan pagar batas yang tegas.
“... janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik lagi telah Allah halalkan bagimu. Dan janganlah berlebihan. Karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan ...” [QS 5 : 87]

2012/10/31

Musim Penghujan: Rilis Pers



Menerima materi demo dari sebuah grup musik anyar yang didirikan penghujung 2010, saya mengangguk. Berisi tiga lagu, kelompok yang menamakan diri “Musim Penghujan” ini mematutkan diri untuk disimak. Terdiri dari empat manusia—yang rata-rata merupakan purnawirawan pasukan dreampop, Amnesiac Syndrome—mereka menawarkan sebuah gagasan deru nuansa murung yang basah. Genre? Oke, saya berikan clue. Mereka adalah band yang masuk ordo indierock dengan dominasi chord minor.

Sesuai dengan namanya, materi Musim Penghujan dibuka dengan track “Bebal”. Riuh permainan sequence gitar Rizki Baruna Aji. Bagai kilat—gemerlap feedback yang membuat suhu pikiran berkeringat. Gemuruh paduan backing vocal yang sorai adalah guntur yang dibalut gebukan drum Indra Agung Hanifah dan tempo enerjik yang dijaga oleh Hengga Tiyasa, sang bassist. Tebal dan dekat dengan kesan era Alt-Rock 90-an. Lirik yang dilantunkan Bili seperti sebuah refleksi manusia yang terus-terusan terjebak oleh sistem modern. Sedikit sinis, bermetafora, dan tema yang general.

Hujan telah turun. Cukup deras untuk membubarkan barisan massa organisasi militan saat track kedua, “Demi Tuhan” dilantunkan. Dibuka dengan (lagi-lagi) umpan balik sequence gitar. Tempo yang ditawarkan pun sama enerjik dengan track pertama. Liriknya juga dibalut metafora. Kali ini dengan sentuhan sisi manusia yang lebih sentimentil, pemujaan. Mengingatkan kita bahwa kepercayaan adalah sesuatu ruang yang sunyi bagi setiap manusia.

Namun mengumpamakan hujan dengan sesuatu yang (hanya) memiliki sisi gelap tentu akan salah besar. Saat track “Sampai Dimana Kita Nanti” diputar, berarti hujan tak lagi menghujam deras. Sekedar rintik namun masih gelap. Meninggalkan kebingungan—apakah rencanamu untuk keluar rumah sebaiknya kamu realisasikan atau tetap diam dan batalkan. Rerintik layer gitar tetap dijadikan dominasi. Lirik semi-politis dan/atau humanis yang disiratkan. Mungkin telah menjadi benang merah trademark mereka.

Hingga selesai saya memutar demo “Musim Penghujan”, mereka meninggalkan lahan yang basah. Sekali lagi, basah. Karena mereka cukup memberi kesegaran dengan lirik-lirik berbahasa Indonesia. Namun tanah yang mereka basahi belum cukup terpuaskan untuk menjadi serta-merta subur. Alasan utama bisa jadi karena usia band yang masih muda. Telah ada benih musikalitas indierock yang lebih condong dengan negeri Paman Sam. Namun akan menarik untuk menanti pupuk dan kejutan hibrida jenis apa yang akan mereka cangkokkan nantinya. Sehingga pada dasarnya saya memberi konklusi, bahwa “Musim Penghujan” layak disimak. Meski tentu tak ada jaminan bagi siapapun akan bilang wow sambil buggy jumping saat mendengarkannya pertama kali.

Pada akhirnya selamat datang di Musim Penghujan. Sibukkanlah segala upaya untuk menyelamatkan diri dari derunya.

Silahkan menyimak demo pada akun jejaring soundcloud mereka.

2012/07/15

Kita Menatap: Ian Curtis yang (hanya) Mati Muda


  “Life is a great big canvas, and you should throw all the paint on it you can (Danny Kaye, 1913-1987).”

Berikut tulisan ini dibuat. Sebagai kado ulang tahun untuk Ian Curtis dan para pemuda generik yang terus menyimpan epos rock n roll purna.

***

 Sepan yang presisi berarti kanvas kosong begitu menggoda. Kita boleh bertanya darimana memulai sebuah lukisan (kehidupan). Seorang pelukis bisa jadi memang ingin sedikit bersaing dengan tuhan. Dalam dirinya—memutuskan sebuah noktah penciptaan, dari rentetan chaos warna dan rupa. Mengaduk-aduk netra yang menyesap pada reruntuhan karsa. Entah pada fase apa ia memutuskan untuk menyatakan cukup dan kemudian memanggilnya karya.

 Syahdan, kisah tentang salah satu lukisan ini dimulai dari noktah yang terciprat pada suatu sudut kiri bawah bagian kanvas. Memorial Hospital, Old Trafford, Manchester, 15 Juli 1956 tepatnya. Sepasang Curtis menamai anak itu dengan “Ian Kevin”. Tangan pelukis belum diangkat dari kanvas. Goresan memperpanjang noktah menjadi sebuah garis tak lurus. Saat berusia pre-school, Ian mengagumi kisah-kisah dongeng Ladybird dan sungguh menggilai aktivitas menggambar prajurit Gladiator.

 Gemericik. Adalah Ian yang usia belasan, berbaring di atas dipan dalam cahaya yang lindap dan memutar kencang rekaman-rekaman rock 60-an. Bowie, Morrison, Iggy Pop, Joplin, Dean, hingga Lou Reed adalah melulu yang dijadikan impian olehnya. Selanjutnya tampaklah tataran perbukitan atau gelombang ombak atau badai suara—kita tak pernah tahu pasti. Ian menggemari upaya-upaya halusinasi. Bersama partner kriminalnya, Tony Nuttall, menelan ramuan sendiri—pil atau pun tablet dari kotak P3K. Pertemanan yang sampai dijuluki Batman dan Robin. Keduanya lebih menggemari maskulinitas The Who dan The Rolling Stone ketimbang Beatles. Tony juga merupakan partner band pertama Ian yang tak bertahan lama—atau segera bubar dengan mengenaskan tanpa satupun karya.

 Dapat dipastikan. Gelombang berikutnya adalah gejolak kawula muda—kisah kasih asmara. Diam-diam Ian mengagumi kekasih Tony—Deborah Woodruff.  Ian menebar pesona pada Debbie dengan puisi-puisinya. Hingga akhirnya Debbie kepincut dan Tony pun merestui mereka untuk berkencan. Ian terus menggombal untuk memperdalam cinta Debbie kepadanya. Salah satu rayuan yang paling dikenang Debbie adalah puisi pada hari Valentine 1973.

I wish I were a Warhol silk screen
Hanging on the wall
Or little Joe or maybe Lou
I’d love to be them all
All New York city’s broken hearts
And secret would be mine
I’d put you on a movie reel
And that would be just fine


“Cinta membuat hidup lebih berwarna”,  katanya entah siapa. Tapi si pelukis tidak memilih warna selain hitam-putih. Pelukis memilih untuk tetap membuat riak gelombang yang lebih tinggi. Setelah cinta, ia merasa cukup dalam bersekolah di King’s School Macclesfield yang kemudian memilih belajar sejarah. Ian mulai membuka katup energi resisten. Ia berdebat hebat dengan tutor di jurusan sejarah St John’s College cabang Manchester. Hanya terbilang beberapa minggu ia ngambek dari kampus multinasional tersebut. Semenjak itu ia memutuskan melempari kanvas dengan cat hitam sebagai background. Lantas memprovokasi sang kekasih untuk juga meninggalkan sekolahnya.

Tidak berselang lama, Ian mengajak Debbie menikah muda. Tentu Debbie terguncang, namun dapat disimpulkan ajakan tersebut dampak tabiat super-posssesif Ian. Salah satu thesis ini berdasar pada rewelnya Ian mempermasalahkan gaun pernikahan Debbie. Ian memaksa gaun pernikahan harus high-necked. Ian tidak suka bila pria-pria lain menatap Debbie.



Pelukis kembali mengulang garis tak lurus semi-datar. Bukan karena kenyataan awal kehidupan rumah tangga mereka dengan rutinitas yang hambar. Tapi karena kisah lukisan ini tak perlu bertele-tele lagi. Karena yang akan terjadi setelah ini adalah sejarah band Joy Division. Buat apa ditulis ulang? Toh telah banyak dibahas di banyak web, zine, majalah, dan film. Yang intinya bla bla bla hingga tiang gantung jemuran.

***


Artwork album Unknown Pleasure (1979) karya Peter Saville di atas mungkin merupakan simbol yang paling membekas di hati para penggemar Joy Division. Dapat dikatakan telah memiliki kadar sama elatif dengan “Pisang” Warhol pada cover The Velvet Underground and Nico (1967). Jamak pada poster dinding, desain pakaian, apparels, stiker, dan banyak media jiplak lain. Ian Curtis memang mengaku dipengaruhi oleh Lou Reed dan kawan-kawan dalam hal bermusik. Namun apa yang membuat grafik dua warna tersebut begitu memikat, perlu ada spekulasi untuk mendedahnya.

Anggap saja gambar tersebut memang berbisik deskripsi pola hidup Ian Curtis. Semi-repetisi gelombang sebagai delegasi amarah. Energi yang dicuri dari semangat punk. Keputusasaan dan depresi puitis dalam derak bariton nan parau. Tarian epilepsi yang begitu asik sendiri. Serta gejolak cinta zigzag antara Debbie dan Annik Honoré. Latar yang hitam memang terkesan dibuat-buat. Ian terlahir dan tumbuh di keluarga kelas menengah kota. Ian mewarisi bakat resah dari ayahnya yang seorang penulis.

Dari kesaksian teman kantornya, Ian juga patut diduga masochist. Lihatlah ini!

“When Ian got epilepsy it didn't affect him, didn't stop him. I think he accepted his epilepsy. He was very happy-go-lucky. He had a great sense of humour. He would come in, in the morning, and it was obvious that he had travelled overnight from a gig. It never affected his work. I was amazed.”
(Ernest Beard)

Celakalah bagi mereka yang masih berpikir bahwa Ian Curtis bunuh diri karena frustasi dengan epilepsi. Bahkan Debbie sendiri menganggap spekulasi itu adalah konyol.

Selain itu, obsesinya juga telah matang—membuat gelombang yang terulang. Sejak pertama dibentuk, ia ingin meyakinkan dunia bahwa Joy Division adalah Velvet Underground baru. Ia juga telah lama mencemburu pada megah-ripah yang dimiliki Morrison dan Hendrix—kejayaan mati muda.

Lukisan yang saya ceritakan di atas tidak bermakna bahwa Saville adalah pelukis kanvas tersebut. Tapi Ian sendirilah pelukis kanvasnya. Karena Saville tidak melukis gambar—yang terinspirasi old wave length graph—tersebut pada kanvas, melainkan pada kertas. Saville bisa jadi salah satu jenis seniman yang dengan karyanya mampu memprediksi apa yang akan terjadi dimasa depan. Sebuah epos putih, di atas hitam—pada masa depan Joy Division.

Ian bertolak belakang dengan adagium koresponden Danny Kaye. Ia tidak sepaham dengan semua (warna) cat (kehidupan) harus dilempar ke kanvas. Ian tegas memilih warna hitam dan putih. Yakni sebuah spektrum polar yang manunggal. Layaknya kaidah primordial Yin dan Yang—keutuhan karena berseberangan dan lawan adalah penegas keber-ada-an. Latar hitam mungkin benar paten sebagai delegasi pusara yang ditujunya pada usia 23. Sedangkan gelombang putih paralel adalah kejayaan yang mengikutinya.


Terlepas dari takdir ilahiyah, Ian memang akhirnya tidak takut mati—atau malah yang terjadi adalah ia takut pada hidup—demi kejayaan dirinya. Ah kejayaan. Benar. Karena sebenarnya tidak sedikit musisi yang mampu menyamai kualitas lirik, joged, frustasi, dendangan dan segala atributnya. Namun dalam lukisan itu kita tidak bisa untuk cuek pada tanggal yang tersimpan 15 Juli 1956 - 18 Mei 1980.

Bila benar kejayaan melulu diperoleh lewat jalur tebas diri, saya takut hidup memang sudah sedemikian tengik—hari ini.

Pada akhirnya kita menatap : Ian Curtis yang (hanya) mati muda untuk dirinya sendiri. Selamat mengulang tanggal dan bulan lahir (15 July 1956).

***

Referensi utama seluruh bagian epik berasal dari tulisan—seorang wanita yang setia menjanda—Deborah Curtis dengan bukunya “Touching from a Distance Ian Curtis & Joy Division”.

2012/06/30

Lavatory


(toilet picture was captured from http://amazingdata.com/toilet-art/)


Ah, Billie Holiday. Oh, Billie, Billie. I want to be with you in America. There’ll    be pennies from heaven. For you and me.

Oh, America. Where no one has bad teeth and everyone has a lavatory.

I dream of America and I know I can do it…

Saya mengikat sebuah bagian dari epos tersebut erat-erat. Sebuah fragmen film Angela’s Ashes (diangkat dari buku dengan judul sama—pen) mengisahkan masa remaja Frank McCourt yang tinggal di Irlandia. McCourt remaja tumbuh di tengah amukan cuaca ultra-menggigil, busuknya pemuka agama, sanitasi yang jijay, ayah pemabuk, hingga kematian. Untuk alasan itulah ia membaca sastra, mendengarkan Billie Holiday, melamun, bermimpi, sesekali masturbasi.

Silahkan menengok arti kata lavatory pada kamus. Kurang lebih artinya sama dengan toilet. Kala itu—tahun 1930-an—tanah Irlandia begitu mengerikan dalam gambaran McCourt. Salah satu penyebabnya, adalah ketidak-tersediaan lavatory (toilet) yang cukup. Sehingga ia terus bermimpi untuk menggapai Amerika—yang dirasanya sebagai Negara beradab dalam bayangan McCourt.

Oh, America. Where no one has bad teeth and everyone has a lavatory.

Fragmen tersebut lah yang membuat saya takzim dengan bidan Eulis Rosmiati. Ia tertawa tulus saat Andy Noya melemparkan beberapa guyon. Dengan cergas ia menjawab setiap pertanyaan pada sebuah sesi Kick Andy. Paparan kisah pejuangannya membudayakan WC di desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat, sangat apik.  Melalui program “Arisan WC”, bidan 58 tahun yang bertugas sejak 2008 itu telah berhasil meningkatkan kesehatan warga desa.

Ini akan menjadi tetek bengek tentang toilet. Bukan tentang cerita muluk-muluk penahlukan. Bukan tentang ledakan nuklir, gerakan revolusi massif, atau lemparan mortar. Ini hanya urusan buang hajat.

Jika anda tidak cukup selo, saya ingatkan untuk cukup membacanya sampai paragraf ini saja. Masih banyak urusan di luar sana yang lebih mendesak. Saya tidak memaksa. Silahkan membaca hingga titik akhir tulisan yang sangat selo ini. Jika anda selo.
  
Zen RS—dalam sebuah esai di blognya—memungkinkan adanya pokok yang lebih besar dalam toilet.  Silahkan menengok terlebih dahulu link ini.

Tentu Zen tidak sendirian dalam hal menulis toilet dan benang merahnya dengan perdaban. Ada ratusan lagi. Mungkin ribuan. Dengan angle yang beragam. Cukup mengetikkan “Toilet dan Peradaban” dengan tuts keyboard—pada search engine kesayangan anda—lalu tekan enter. Maka muncullah secara sporadis dalam jumlah banyak. Mirip titah ajaib kun fa yakun.

Saya tidak mungkin menjadi benar jika mengaku ingin menulis hal yang “lain” diantara semua esai tentang toilet. Mau gimana lagi, sudah setengah abad era The Death of Author bung —kata filsuf Perancis itu (baca: Roland Barthes).

Kembali pada toilet. Sebenarnya ia telah lelah berkeliling sejarah. Jauh sebelum John Harington diberi embel-embel “Sir” oleh Elizabeth I —atas penemuan toilet modern pertamanya— bangsa-bangsa kuno telah mengenal konsep toilet. Silahkan baca artikel ini untuk sejarah lengkapnya.

Yang jelas, adalah kewajaran yang maha maklum jika banyak pegiat sejarah yang mengaitkan keberadaan toilet sebagai bagian tilas peradaban. Saya tidak ingin membahas mana saja dan makna Negara beradab. Tidak ingin berdebat juga. Saya ingin menulis sebuah pertanyaan. Karena saya selo.

Pertanyaan mengapa toilet terkait peradaban. Lantas dijawab dengan tingkat kesehatan, perilaku masyarakat, kebersihan lingkungan, sudah sering kita dengar. Bisa banyak kemungkinan. Tidak harus logis mungkin.

“Bentar, mau ngeluarin aspirasi nih” Ucap teman saya sembari terbirit ke arah toilet. Waktu itu kami tengah bertanding catur secara digital. Pada aplikasi bawaan Windows 7.

Seberapa banyak dari kita yang mafhum dengan ungkapan di atas? Mungkin banyak, dan sangat mungkin analogi “buang hajat” diasosiasikan dengan “aspirasi” adalah benar. Ingin “boker”, atau proses defekasi, bermula dari sisa pencernaan yang di usus besar-lalu diserap kolon-kemudian didesak ke saluran akhir, rectum. Lalu timbullah sensasi kebelet.

Setali dengan timbunan aspirasi yang mendesak disampaikan. Aspirasi adalah endapan ide. Dari kumpulan kejadian yang terekam. Melibatkan emosi dan memicu saraf-saraf motorik untuk mewujudkannya. Harapan, keinginan, dan hasrat—kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Aspirasi adalah hujan dari siklus panjang awan. Aspirasi adalah feses yang terdorong hingga menuju lubang hitam anus-diskursus.

Percayalah. Masyarakat beradab adalah yang mampu mewadahi aspirasi dan menyalurkannya dengan baik, dalam banyak cara. Tidak sekedar broooot, lega, dan lantas hilang dilarung sungai. Hari ini pembaca adalah pengguna toilet. Namun sangat mungkin di luar sana, banyak manusia yang lebih memilih membuang hajat di tempat bebas—alam liar, sungai, dan sembarang.

Di banyak kota di Negara (yang disebut) maju: setelah terlepas dari empunya, tinja di daur. Menjadi penyubur taman kota, hingga bahan bakar. Bukan kisah baru tentu. Menarik bagaimana mereka memperlakukan buangan yang dianggap paling rendah dari manusia tersebut.

Jika keluaran yang paling rendah—juga masuk kategori najis—saja diperlakukan dengan baik, tentu hal yang lebih melambung mulia sudah lebih cukup beres. Aspirasi hasil karsa diapresiasi, disalurkan, dan terus-menerus ditempatkan pada siklus. Pada sebuah peradaban, kemunculan ide akan terus ditempa, diadakan dialektika, diserap, diuji, dan kembali-dan kembali. Seperti tinja yang tersalurkan. Menjadi nutrisi bagi tumbuhan. Kemudian kembali.

Everyday, I couldn't wait
for the doctors and nurses...
to leave me alone so that
I could read my books.

I loved having
a lavatory of my own...

where I could read
for hours and hours.

"To die, to sleep.
To sleep, perchance to dream.
Aye, there's the rub."

(Angela’s Ashes, 1996)

—Anda telah terbukti sebagai orang yang cukup selo. Dan saya kebelet boker sekarang.

2012/06/29

Tidak Berjudul


Salahkan gambar diatas. Saya merubah warna template blog gara-gara gambar tersebut.

2012/06/19

Sudut Perifer




Bagaikan gegas,
rindu adalah ruang.
Tak bertuas.
Ia adalah ajnas laku, sebelum pusara.

Aku adalah daksa yang aksa dari sebuah dewasa.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Terinspirasi dari catatan pinggir ini

2012/06/06

Potret dan Sebuah Pengantar Lain #LearnsToPop



(gambar di-copy dari blog ini)


Saya punya cara gampang menilai seseorang sebagai pemerhati musik. Bukan banyaknya koleksi CD atau plat. Atau bagaimana dia begitu paham luar dalam terhadap nama-nama band asing yang bahkan baru pertama kali saya dengar sesudah dia berbicara. Tapi coba tanyakan dia tentang beberapa nama yang melintang di ranah  pop mainstream Indonesia. Pungkas penyebar endemi #LearnsToPop yang sekaligus bergelar jurnalis keple dari madzab Jakarta Beat, Fakhri Zakar(ia).

Ia berhasil mengganggu kesadaran saya. Menguntit hasrat untuk mengais memori—agar tak terjebak pada pilihan yang kurang kece (ST 12 atau Smash, misalnya)—dalam menentukan musisi mana yang sebaiknya jadi bahan tulisan. Saya sih ogah berdebat kalau kamu kekeuh membela mereka. Seraya memilah-milah, saya merenungkan; kenapa pop mainstream sih? Ada suatu kutipan:

Sungguh tidak mengganggu saya bahwa para shoegazer berasal dari kalangan elite (posh-oes)—memang benar bahwa saya terganggu ketika orang tua dari anak-anak band Slowdive membelikan mereka mobil dan gitar. Saya tidak terganggu ketika mereka adalah orang-orang dari kelas menengah. Yang mengganggu saya adalah kenyataan bahwa mereka membikin musik yang sangat menjemukan. (NME, 4 Januari 1992).

Apa yang kita lihat dari kutipan ulasan termaktub diatas adalah bahwa kenyataan selalu ada gegar saat suatu budaya tertentu melintasi budaya lain. Dalam contoh kasus ini, musik shoegaze—yang notabene bagian dari subkultur—ke ranah arus utama. Bagi para penganut “kekerenan” itu haruslah dibasiskan pada elisitas dan anomali, maka akan mudah menyatakan bahwa genre shoegaze adalah ayat suci baru yang harus diamini. Sedangkan di pihak yang masih serius bertanya (bahkan hingga saat ini) tentang keberadaan letak keindahannya, band shoegaze hanyalah kumpulan orang nir-skill yang membuat musik bising dan false.


Selera dalam Pasar Budaya

Bayangkan diri kamu tengah berada pada suatu foodcourt —dengan deretan etalase makanan cepat saji— kamu harus memilih restoran dan menu apa yang akan kamu santap. Diantara sempitnya sela-sela waktu kerja, memilih menu saat istirahat makan siang membutuhkan kejelian tersendiri. Pilihan menu tidak lagi hanya (melulu) berdasar kriteria selera dan harga. Mempertimbangkan waktu penyajian, porsi, dan nutrisi yang akan mengawal kamu untuk melanjutkan rutinitas patut dijadikan variabel yang wajib.

 Bentar!
Ajakan membayangkan memilih menu makan siang adalah gocekan analogi dari saya.

Dalam hal ini, pop mainstream adalah makanan cepat saji. Melalui ritual acara tv. Menyelinap diantara ocehan penyiar radio. Diputar kencang dalam kerumunan fasilitas publik. Didendangkan pengamen atau bahkan subwoofer angkot yang kamu kendarai. Pop mainstream kadangkala menjadi mimpi, wujud yang muncul dan eksis tanpa diduga. Ia seringkali menjadi yang pertama menjembatani perkenalanmu dengan apa yang kamu sebut, musik.

Seiring dengan kamu menjalani hari, kamu akan dengan sendirinya memilih. Artis atau band mana yang akan kamu hidupi. Bisa berdasar pada keterikatan emosi. Bisa juga segi lirik, maupun musikalitas. Mungkin juga kamu mulai menggemari paras dan lekuk si artis yang bohay sehingga tak perlu berkeliling dengan estetika buatan wartawan. Dari segi manapun itu, dalam industri semua halal.

Kehalalan tersebut—dalam menentukan selera diantara penjejalan budaya pasar—sering menjadikan selera adalah nilai yang bias. Saya tidak sedang membenarkan Theodor Adorno yang mati-matian mengutuk budaya murahan. Ia kerabat mazab Frankfurt yang menjadikannya mudah dalam hal memilih makanan lambat nan bernutrisi tinggi. Ia tidak terlalu menemui kesulitan akses untuk berada diluar budaya industri penjaja komoditas.

Sederhananya, menjadikan salah satu musisi mainstream sebagai selera, akan lebih sulit dibanding menjadikan musik cutting-edge sebagai bahan idola. Karena barometer musik cutting-edge seringkali jumud pada substansi dan manifesto estetika. Sedangkan musik mainstream?

Dengan demikian, pagelaran #LearnsToPop bisa jadi sesuatu yang menantang.

Maka benarlah nabi Fakhri dengan sabdanya: Hipster yg dengerin musik pop mainstream Indonesia itu derajatnya naik dua kali lipat #LearnsToPop

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Potret yang Terbingkai


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digital berarti: 1 gambar yg dibuat dengan kamera; foto; 2 gambaran, lukisan (dalam bentuk paparan). What so ever! Tapi menengok serpak terjang mereka di blantika musik nasional, nama band ini (POTRET) mampu mewakili segala daya dan upaya yang telah mereka toreh.

Potret bisa jadi Melly Goeslaw, Anto Hoed, dan Aksan Sjuman. Namun bagi saya, Potret adalah ‘Bagaikan Langit’ atau bisa juga ‘Bagaikan Langit’ adalah Potret. Saya sedang belajar memainkan kunci balok—setidaknya demikian dahulu saya menyebut kord—pada gitar. Menggenjreng ala semi-depth dengan patah-patah. Usia yang bermedio belasan dan tercatat sebagai anak kelas dua SMP.

Saya menghidupi “Bagaikan Langit” sebagai bagian dari waktu. Diantara jeda bel sekolah bertitel madrasah. Diantara asrama massal berpenghuni belasan orang dalam satu kamar. Saya bersekolah di pesantren ketika itu. Maka wajar jika saya berapologi. Maaf, saya tidak mengenal Potret dengan baik saat itu selain ‘Bagaikan Langit’. Alih-alih memahami citarasa sound recording, riff gitar, aransemen, wadda wadda.. Saya dulu hampir tidak peduli jika Potret dibentuk tahun 1995. Yang jelas, tahun ‘Bagaikan Langit’ dalam pribadi saya adalah 2001.

2007. Saya mulai mengenal istilah cutting-edge. Untuk tahun itu saya dedikasikan seutuhnya menjadi hipster total. Namun saya tak pernah sempurna untuk menghapus folder Potret dari hardisk CPU. Potret tetap terbingkai diantara ayat-ayat Capitol records dan Labarador records. Meski tentu hampir sama-sekali tidak pernah saya putar kembali. Bingkai Potret di folder CPU semakin kusam dan berdebu hingga tahun 2008 saya membentuk band ala post-punk kala itu.

Setelah gagal nge-band, setahun kemudian, saya mulai kembali mengurai tumpukan folder MP3. Membersihkan debu yang menempel pada bingkai-bingkai. Menata kembali nostalgia fase post-hipster dalam diri. Saya terhenti pada satu bingkai, Potret.

Perlahan saya mendengarkan satu-persatu. Terperangah bin terjebak. Saya baru saja menyadari bahwa—jauh sebelum saya mengenal sound-sound cutting-edge—mereka telah berhasil mengaduk referensi itu dalam karya-karya mereka. Percayalah! Karena saya akan memberikan bukti pada pembaca.

Saya jumputkan beberapa amsal. Pada album Positive+POSITIVE. Track ‘Kekasih Khayalan’ dan ‘Resah’ sudah sangat tercicip Trip-hop. Berkomat-kamitlah, ini sangat Bristol! ber-Portishead dan ber-Massive Attack. Sangat jelas dan tak harus dielak, Hoed mengenal baik Geoff Barrow. Istimewa? Sudah pasti. Ber-gloomy beat dikandang Aquarius Musikindo adalah bukan hal yang main-main.

Di album yang sama, Potret mencuri kesempatan beradu dengan monster-monster— New York (gambaran New York adalah monster dari cerpen Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam—pen). Adalah saat tiba giliran lagu “Drum dan Vocal”, tak lebih panjang dari durasi film berformat 3GP. Belum sempat orgasme, udah kelar duluan. Namun juga tak sepenuhnya sia-sia. Toh, mereka berhasil membuat otak saya muncrat ke dalam suatu fragmen film “Kill Your Idol”. Sebut saja band DNA bentukan Arto Lindsay. Satu track yang memutus hubungan antara “fan dan artis” (saya dan Yeah Yeah Yeah’s). Yeah! Biarkan saya menanggung dosa. Lagu ini lebih no-wave ketimbang Sonic Youth beserta kerabatnya se-New York movement sekalipun.

Kemudian mari kita sambut anasir yang disebut attitude. Terdengar membingungkan awalnya, namun bergidik selanjutnya saat terpaksa harus memuji. Yang kamu perlukan adalah sedikit perhatian terhadap apa yang mereka sampaikan. Iya, cukup sedikit dan biasakan diri dengan susuatu yang cukup saja. Cukup adalah kata paling ajaib dari chefs Indonesia saat demonstrasi resep.

Cukup kamu menuangkan single-single berjudul “Salah”, “Mak Comblang”, “Ingin Dicium”,  “Terbujuk”, hingga “Maafkan Aku Soewondo” di telinga. Apa yang kamu rasakan? Lirik yang lugas, pastinya. Namun tak hanya itu yang mereka tawarkan. Rebel, seksis, dan wanita yang agresif. Tambahkan lagi cukup sedikit perhatianmu pada potongan rambut outskirt Melly kala itu. Maka niscaya resep attitude telah terasa komplit. Ya ampun, Elizabeth Fraser sudah sepadan jadi sandingan. Pesan feminisme sayap kiri ala cultur scene indie. Riot Grrrrl!? Boleh dooong.

Potret telah dahulu membawa pesan yang sama dengan band-band dari ranah subkultur. Lebih massif. Menjelajahi pustaka kamus-kamus fads lebih dari apa yang kita duga sebelumnya. Kasus paling sulit dan harus diapresiasi adalah bagaimana mereka menarik ulur buhul industri mainstream Indonesia dengan ideal yang mereka wakili. Ideal yang mereka bawa dari perpustakaan referensi underground. Tentu tidak pernah mudah. Banyak musisi yang kandas saat idealisme harus dipertemukan dengan industri. Contohnya bisa dimulai dari para personel Stinky yang awalnya banyak bermain di wilayah progressive, lalu jadi apalah, silahkan nilai sendiri ketika di industri. Hingga nama yang belum cukup lama, band Pepeng cs (baca: Naif) harus cabut dari label demi menjaga ideliasme. Ah, sedikit basi sih saya ngomong idealisme ya? Hahaha.

Selain lagu-lagu dengan komposisi ke-indie-an—yang saya sebut di atas dan tidak dijadikan hit single—nyatanya Protret juga mampu mencetak single yang merajai chart musik Indonesia sepanjang masa. Terbilanglah fenomena hit single “Bunda” yang dirilis awal 2000-an. Lagu yang masih menggelinding seperti bola salju sampai hari ini. Juga “Angan X Cinta” dan “Bagaikan Langit” yang catchy. Dan seterusnya dan seterusnya, you mention it! Adalah landasan yang sahih jika Melly, Hoed, dan Aksan digelari mega-pakar komposer musik pop.

Dalam suatu kitab suci musik indie dikenal ayat yang berbunyi Root, Character, Attitude (RCA). Maka Potret telah mengamalkan perintah tersebut. Bila sudah demikian, akhirnya menggemari Cherry Bombshell atau pun Kubik tak akan se-fetish dahulu lagi.

***

Potret adalah gambaran dari suasana hatimu, dari cuaca-cuacamu, dari waktumu, dari keluargamu, dari temanmu, dari kisah cintamu, dari ke-matre-anmu, dari hidupmu, dan dari tadi gak abis-abis.

Berikan bingkai untuk membuatnya lebih keren!

2012/04/15

Tong (yang) Kosong


“Peribahasa tong kosong nyaring bunyinya, berarti orang-orang yang tak berilmu biasanya banyak bicara.” Kenang saya pada ajaran guru SD belasan tahun lalu.Saya memang gagal melacak kapan tepatnya rakitan pengertian tersebut mulai eksis – yang jelas, tancapan paham telah mengakar dan juntaian interpretasi telah membelukar di banyak otak. Keadaan bunyi yang disifati “nyaring” sampai saat ini berlaku sebagai momok. Nyaring terlanjur diambil alih oleh muatan negatif – dan sesak. Sehingga mengabaikan banyak titik lain yang tersebar di luar bahkan lebih besar.
... peribahasa berasal dari ‘pengalaman umum’ dari beberapa tokoh dalam suatu suku. Artinya, beberapa tokoh melakukan penilaian, penelaahan, observasi, atau eksperimen, lalu hasilnya diungkap dalam bentuk kalimat singkat, lalu kalimat singkat itu diwariskan secara temurun dari generasi ke generasi lewat tradisi lisan sebagai ‘peribahasa’. (Ferry Hidayat, 2004)

Nampaknya orangtua dan anak muda memang sebaiknya tak pernah selesai berselisih. Bagi saya, mereka (orangtua) memiliki caranya sendiri untuk selalu menjengkelkan. Namun terus-terusan berdiri pada garis demarkasi berlabel oposisi juga terasa tak bijak. Lantas ada baiknya saya menengok ulang kalimat di tahun 60-an:
First of all, to understand truth you must stand alone, entirely and wholly alone. No Master, no teacher, no guru, no system, no self-discipline will ever lift for you the veil which conceals wisdom. Wisdom is the understanding of enduring values and the living of those values. No one can lead you to wisdom. (Krishnamurti)

Kembali pada keterlanjuran eksistensi interpretasi – tong kosong nyaring bunyinya. Saya takut hal tersebut hanyalah efek domino dari tragedi duel antara Demosthenes dan Aeschenes. Bahwa banyak berbicara hanya berujung kenistaan seperti yang dialami Aescenes, sang kalah. Lebih buruknya, adalah upaya pembungkaman secara ramah. Toh budaya peribahasa memang lahir di jaman monarki sedang kokoh berdiri. Ia tentu patut dicurigai memiliki muatan legitimasi sang penguasa. Tentunya banyak berbicara yang lebih-lebih beradu pendapat, bagi golongan non-bangsawan, terutama buruh pekerja kasar – adalah perbuatan yang tak elok. Golongan tersebut mungkin jika digambarkan dalam budaya jawa, harus selalu nrimo ing pandhum.Berbicara Adalah Kata KerjaHampir setiap bahasa menggolongkan kata ‘berbicara’ sebagai kata kerja. Lantas, mengapa hingga saat ini ‘bicara’ seolah menjadi antonim ‘bekerja’ ? Bukankah lebih baik jika keduanya diposisikan sebagai hiponim dan hipernim?Banyak pelaku ‘bicara’ (pembicara) memang tak menguasai sepenuhnya apa yang ia bicarakan, sehingga tak terelakan untuk dikecam. Kecaman pada akhirnya melulu pada kalimat saran kuno ‘jangan banyak bicara, banyaklah bekerja secara nyata’. Kemasygulan disini terdapat pada seolah bicara merupakan bukan bagian dari kerja nyata. Mungkin sang penasehat masih patuh pada makna kasat bahwa ‘bekerja’ adalah upaya yang dilakukan oleh tangan dan kaki (secara fisik). Pertanyaan saya lanjutkan dengan jika ‘bekerja’ masih menjadi antonim ‘bicara’, benarkah posisinya lebih tinggi?–1909, Frank Gilberth mempublikasikan papernya yang terkenal “Bricklaying System”. Ia merekam kegiatan pekerja yang sedang mendirikan sebuah tembok dari batu bata. Ia mengamati dengan detail hasil rekamannya (motion study). Kemudian bersama istrinya, Lilian Gilbert – mereka mengklasifikasian gerakan dasar manusia ke dalam 17 macam, dimana ada gerakan yang efektif dan ada yang tidak efektif. Mereka menamakannya Tabel Klasifikasi Therbligs (ejaan terbalik dari kata Gilbreth). Gerakan-gerakan yang masuk klasifikasi tak efektif, ditetapkan sebagai waste dan pemborosan yang sebisa mungkin dihilangkan.



Penghilangan atau setidaknya pengurangan gerakan tak efektif tersebut diklaim akan mampu memberi manfaat lebih optimal pada perusahaan.Hingga usia pernyataannya yang telah mencapai satu abad, klasifikasi gerakan Terbligh masih dijadikan panutan oleh para insinyur industri. Ia teruji berkali-kali. Bahkan ia tak melulu dipandang dari sudut eskalasi nilai ekonomi moneter, namun juga menilik dampak keselamatan pekerja – yang menyentuh sisi kemanusiaan. Dengan demikian, tak hanya ‘bicara nyaring’ yang identik dengan kosong – bekerja (dalam arti gerak) juga tak pernah berarti murni sebagai negasi.Jika Tong Kosong (Tetap) Nyaring BunyinyaJalaludin Rakhmat (2002) pernah mengutip artikel Y.B. Mangunwijaya, “banyak orang keliru menganalisis seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada metematika, fisika, atau, kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika.” (Kompas, 11 Agustus 1992)Seketika memori saya terhenti pada jargon komersial, “Talk less do more!” Dibalut adegan pembicara kosong yang banyak rewel tak mampu menyelesaikan masalah – kemudian datanglah seorang dengan kerja nyata mampu merampungkan dengan apik.Jargon tersebut berhasil menahbiskan kemuliaan banyak kerja fisik. Sekaligus berarti pelekatan stigma pada pembicara. Secara patah – dalam bentuknya yang ideal. Ideal selalu menjerembabkan penafsir pada kubangan definisi. Definisi dalam bentuknya paling usang adalah ‘hasil’—thaghut yang dipuja Sokrates sejak awal abad sebelum masehi. Namun saya berusaha tidak buru-buru menyerangnya – karena saya memang tak berkualitas dalam hal tersebut.Definisi mungkin telah layu semenjak kehadiran nihilisme dan anak turunnya berupa posmoderenitas, namun tak pernah benar-benar bermuara pada samudera kehampaan. Di Indonesia kita mengenal nama-nama populer mulai Chairil, Sutardji, hingga Afrizal Malna. Meskipun mereka mengusung afirmasi pembebasan makna, namun afeksi kognitif tetap diusung melalui metafora.Tentu saya tak perlu bertele-tele membahas sejarah penaklukan para elit yang disebut ‘pemimpin’ melalui kata – retorika dan makna. Julius Caesar, Hitler, Gandhi, Soekarno – ah sudahlah. Toh kita telah hidup di jaman periuk nasi hadir dari profesi seperti pengajar, presenter, MC, penyiar, juru bicara, bahkan motivator.Namun jika tong kosong tetap berarti nyaring bunyinya, maka ada baiknya kita menilik lagi – makna kekosongan dalam tuntunan berpuasa pada beberapa agama dan/atau ajaran nyepi agama Hindu.
----------------------------------------------------------------------

Pemilik hak gambar.1.http://wsylvia.files.wordpress.com/2011/06/garbage-can_rgb.jpg2.http://www.uni-lueneburg.de/fb3/kultinfo/personen/warnke/stuff/gamez/action/Therblig.gif