2012/10/31

Musim Penghujan: Rilis Pers



Menerima materi demo dari sebuah grup musik anyar yang didirikan penghujung 2010, saya mengangguk. Berisi tiga lagu, kelompok yang menamakan diri “Musim Penghujan” ini mematutkan diri untuk disimak. Terdiri dari empat manusia—yang rata-rata merupakan purnawirawan pasukan dreampop, Amnesiac Syndrome—mereka menawarkan sebuah gagasan deru nuansa murung yang basah. Genre? Oke, saya berikan clue. Mereka adalah band yang masuk ordo indierock dengan dominasi chord minor.

Sesuai dengan namanya, materi Musim Penghujan dibuka dengan track “Bebal”. Riuh permainan sequence gitar Rizki Baruna Aji. Bagai kilat—gemerlap feedback yang membuat suhu pikiran berkeringat. Gemuruh paduan backing vocal yang sorai adalah guntur yang dibalut gebukan drum Indra Agung Hanifah dan tempo enerjik yang dijaga oleh Hengga Tiyasa, sang bassist. Tebal dan dekat dengan kesan era Alt-Rock 90-an. Lirik yang dilantunkan Bili seperti sebuah refleksi manusia yang terus-terusan terjebak oleh sistem modern. Sedikit sinis, bermetafora, dan tema yang general.

Hujan telah turun. Cukup deras untuk membubarkan barisan massa organisasi militan saat track kedua, “Demi Tuhan” dilantunkan. Dibuka dengan (lagi-lagi) umpan balik sequence gitar. Tempo yang ditawarkan pun sama enerjik dengan track pertama. Liriknya juga dibalut metafora. Kali ini dengan sentuhan sisi manusia yang lebih sentimentil, pemujaan. Mengingatkan kita bahwa kepercayaan adalah sesuatu ruang yang sunyi bagi setiap manusia.

Namun mengumpamakan hujan dengan sesuatu yang (hanya) memiliki sisi gelap tentu akan salah besar. Saat track “Sampai Dimana Kita Nanti” diputar, berarti hujan tak lagi menghujam deras. Sekedar rintik namun masih gelap. Meninggalkan kebingungan—apakah rencanamu untuk keluar rumah sebaiknya kamu realisasikan atau tetap diam dan batalkan. Rerintik layer gitar tetap dijadikan dominasi. Lirik semi-politis dan/atau humanis yang disiratkan. Mungkin telah menjadi benang merah trademark mereka.

Hingga selesai saya memutar demo “Musim Penghujan”, mereka meninggalkan lahan yang basah. Sekali lagi, basah. Karena mereka cukup memberi kesegaran dengan lirik-lirik berbahasa Indonesia. Namun tanah yang mereka basahi belum cukup terpuaskan untuk menjadi serta-merta subur. Alasan utama bisa jadi karena usia band yang masih muda. Telah ada benih musikalitas indierock yang lebih condong dengan negeri Paman Sam. Namun akan menarik untuk menanti pupuk dan kejutan hibrida jenis apa yang akan mereka cangkokkan nantinya. Sehingga pada dasarnya saya memberi konklusi, bahwa “Musim Penghujan” layak disimak. Meski tentu tak ada jaminan bagi siapapun akan bilang wow sambil buggy jumping saat mendengarkannya pertama kali.

Pada akhirnya selamat datang di Musim Penghujan. Sibukkanlah segala upaya untuk menyelamatkan diri dari derunya.

Silahkan menyimak demo pada akun jejaring soundcloud mereka.