Saya baru saja membuat keputusan. Perihal salah satu bagian hidup
saya. Tulis-menulis. Dalam hal ini, saya rasa perlu juga memutuskan media mana
yang akan dijadikan lahan bercocok-tulis. Saya sudah mempunyai blog ini untuk
menampung ide-ide saya. Namun saya masih merasakan blog ini―dengan alamat blogspot―masih terasa kurang. Kekurangan
yang saya rasakan adalah seringkali terpaksa menanggalkan ide-ide yang
seliweran di pikiran. Ide tanggal karena setelah direnungkan, jadi terasa
kurang oke. Lalu saya batalkan untuk menuliskannya di blog ini.
Nah, hal tersebutlah yang seringkali saya sesali pada akhirnya. Ide
terlanjur tanggal, kemudian terlupa, dan tak sempat lagi terpugar. Padahal,
setiap ide bertautan dengan suatu kejadian. Kejadian yang terikat erat dengan
buhul suatu tempat dan waktu. Saat suatu peristiwa bertemu dan kadang gegar
dengan latar pemahaman. Disitulah seringkali ada ide yang terpercik.
Mengomentari, mengkritisi, memberi solusi, atau sekedar mencatat peristiwa yang
ditemui. Sangat sayang bila momen-momen tersebut hilang. Karena bagi saya,
percikan ide merupakan suatu momen magis yang meninggikan derajat manusia.
Buku Paolo Coelho yang berjudul (versi Indonesia) ‘Seperti Sungai yang
Mengalir’, memberikan kesan untuk saya sejak kata pembuka darinya. Coelho
menceritakan ketika pertama kali mengungkapkan keinginannya menjadi pengarang
pada ibunya. Saat itu usianya lima belas tahun―sekitar tahun 1960-an.
Keluarganya tinggal di Brasil kala itu. Sebuah negara yang keaadaan
ekonominya mungkin tak jauh berbeda dengan Indonesia. Negara-negara dunia
ketiga kala itu sangat sulit untuk menghidupi pengarang secara layak. Sehingga
ibunya berupaya sehalus mungkin menolak cita-cita Paolo Coelho muda. Ditambah lagi,
Ayah Coelho seorang insinyur, dan pamannya seorang dokter. Sehingga menurut Ibu
Coelho, anaknya tersebut tak tahu benar apa itu profesi pengarang.
Hal yang paling menarik adalah hasil riset kecil Coelho mengenai
pengarang. Untuk menjawab pertanyaan ibunya apa itu profesi pengarang. Beberapa
poin yang dituliskannya (beberapa saya ubah sesuaikan):
(a) Pengarang seringkali marah tentang segala
sesuatu, dan selebihnya ia merasa tertekan. Sebagian hidupnya dihabiskan
ditempat minum dan berdebat dengan pengarang-pengarang lain. Omongan-omongannya
‘dalam’. Dan ia selalu punya ide-ide untuk menuliskan sesuatu. Sembari biasanya
membenci tulisan-tulisan orang lain yang baru dipublis.
(b) Pengarang
memiliki tugas untuk tak bisa dipahami oleh generasinya sendiri. Mereka yakin
bila tulisannya terlalu mudah dimengerti, maka hilanglah kesempatan untuk
dianggap jenius. Merevisi berulang kali tulisan yang telah dibuat. Bila orang
rata-rata memiliki tiga ribu kosakata, pengarang sejati tidak pernah
menggunakan satu pun dari kata tersebut. Sebab ada ratusan ribu kata lainnya di
dalam kamus.
(c) Pengarang
harus memahami istilah membingungkan, misalnya semiotika, hiper-realitas,
epistimologi, neo-konkritisme. Sangat gemar membuat orang kaget dengan berkata
semisal, “Einstein itu orang bodoh”, atau “Tolstoy adalah badutnya kalangan
borjuis”.
(d) Merayu
wanita dengan kata-kata. Seringkali berhasil.
(e) Karena
memiliki pengetahuan luas tentang budaya, biasanya pengarang mendapatkan tempat
sebagai kritikus seni dan sastra. Sebagai kritikus, dia bisa menunjukkan
kemurahan hatinya dengan menulis tentang
buku-buku karangan teman-temannya. Setengah dari ulasan seperti itu berisi
kutipan-kutipan dari penulis asing, dan setengahnya lagi berisi
analisis-analisis tentang kalimat. Kalimat yang digunakan pun dibuat secergas
mungkin. Misalnya, “visi dua dimensi kehidupan yang terintegrasi”, atau
“epistemolog mana pun akan kebingungan pada frase bla bla bla kesekian”.
(f) Ketika ditanya apa yang sedang dibacanya, ia
menyebutkan buku yang belum pernah didengar oleh orang lain. Dan hanya satu buku
yang tak terbantahkan bagi seorang pengarang Ulysses karangan James Joyce. Meski pun kadang mereka tak bisa
menceritakannya secara jelas. Karena yah, ehem belum baca.
Coelho menyerahkan pengertiannya tentang profesi pengarang tersebut
pada ibunya. Sekaligus kepada pembaca bukunya tentu. Hihihihi ketika membaca
ini saya tertawa kecil karena geli. Seorang yang baru belajar membaca dan
menulis pun tahu―bahwa apa yang baru saja Coelho sampaikan mengenai definisi
pengarang―merupakan uraian yang begitu nyinyir.
Saya teringat dengan tulisan-tulisan saya sendiri. Dulu sering kali
saya menulis hal-hal yang absurd. Teringat juga teman-teman penulis, dan para
penulis-penulis yang sering saya baca karyanya. Terpukul rata. Hampir semuanya kena
sindiran tersebut. Mungkin uraian Coelho tadi adalah apa yang selama ini
menghalangi saya untuk segera menumpahkan ide menjadi tulisan. Pengarang yang
bla bla bla dan begitu mempersulit. Saya terbawa arus konsep-konsep. Kemudian
terlalu takut untuk sekedar menulis secara biasa saja.
Permasalahan lain adalah blog ini sudah terlanjur tematik. Saya tak
ingin mengubahnya lagi―setidaknya sampai saat ini. Sedangkan ide-ide yang
muncul tak melulu sesuai tema. Sehingga saya memutuskan untuk meng-kriet satu
blog baru. Blog yang mencatat setiap ide meski hanya gagasan sepintas. Bahkan
kadang tak pantas. Beberapa mungkin kontennya akan sama dengan blog ini.
Beberapa ada penyesuaian. Beberapa yang ditulis di blog ini, tidak saya
tampilkan di blog satunya dan sebaliknya. Saya belum tau pasti kontennya apa
saja. Bikin saja dulu lah. Urusan lain belakangan.
Tentu saya juga tak ingin menggunakan domain blogspot lagi untuk blog baru. Terpikir ‘Wordpress’ atau mungkin ‘Tumblr’.
Wordpress memiliki budaya blog yang nyaris sama dengan Blogspot. Sehingga saya
tak melihat peluang kebaruan di banyak hal.
Maka akhirnya saya putuskan untuk meng-kriet blog di Tumblr. Alasannya
sejauh saya lihat, Tumblr begitu sederhana tampilannya. Dan budaya utamanya
adalah ‘following’, posting dan re-blog yang begitu ringkas. Kalau saya boleh mengasosiasikan
antar-sosial media, Blogspot dan Wordpress itu seperti Facebook. Sedang Tumblr
itu seperti Twitter. Budaya Tumblr seperti Twitter. Ringkas, padat, following, re-blog dan (mirip) life timeline.
Setelahnya saya survey sana-sini untuk menentukan nama. Karena ya,
nama akan sangat berpengaruh pada pola pikir saya dan pembaca dalam mengisinya
nanti. Akhirnya saya menemukan nama yang ketci,
banal, dan membumi. Hasil mencatut banyak ide teman-teman, maka blog baru saya
di Tumblr, saya namakan. SUDUT RUANG.
No comments:
Post a Comment