09 April 2010
Djendelo cafe | Yogyakarta
Foto oleh Bondan Wahyutomo
***
Djendelo cafe | Yogyakarta
Foto oleh Bondan Wahyutomo
Mungkin silogisme yang ditawarkan Tony Wilson pada film 24 Hours Party People tak sepenuhnya salah. Bahwa semakin sedikit kehadiran orang pada suatu event, justru itulah yang “bersejarah”.
Djendelo Café tak memiliki kapasitas besar dalam menampung pengunjung karena bangunan di lantai dua toko buku Toga Mas tersebut berbahan dasar kayu. Di situlah Leilani Hermiasih (panggilan Lani) dan Oscar (nama keyboard yang dipakai Lani), dengan nama panggung Frau, memapah sejarah launching album bertajuk Starlit Caraousel. Frau memang sebuah nama yang menjanjikan talenta musikalitas bermutu dan pertunjukkan memukau. Maka jangan heran jika penonton yang terlambat sedikit saja, musti mengedarkan pandangan was-was dan berkeluh dengan tak terpenuhinya quota kursi di café. Sang Arsitektur bangunan juga sedang diuji validitas perhitungannya oleh puluhan orang yang membebani instalasi barisan kayu lantai venue.
Djendelo Café tak memiliki kapasitas besar dalam menampung pengunjung karena bangunan di lantai dua toko buku Toga Mas tersebut berbahan dasar kayu. Di situlah Leilani Hermiasih (panggilan Lani) dan Oscar (nama keyboard yang dipakai Lani), dengan nama panggung Frau, memapah sejarah launching album bertajuk Starlit Caraousel. Frau memang sebuah nama yang menjanjikan talenta musikalitas bermutu dan pertunjukkan memukau. Maka jangan heran jika penonton yang terlambat sedikit saja, musti mengedarkan pandangan was-was dan berkeluh dengan tak terpenuhinya quota kursi di café. Sang Arsitektur bangunan juga sedang diuji validitas perhitungannya oleh puluhan orang yang membebani instalasi barisan kayu lantai venue.
***
Sophie
Sebelum sang headliner tampil, ada dua band pembuka yang bermain secara acoustic. Dibuka band pop-ballad lokal yang telah berumur kurang lebih sewindu, Sophie. Musik dan lirik mereka catchy, dengan sedikit sentuhan riff gitar estetika Britpop era 90-an. Sophie sukses menjadi fase awal pelelehan kebekuan ice cream yang terhidang dibeberapa meja penonton.
Koala
Setelahnya saya saksikan nama baru, Koala. Mengkover lagu-lagu band seperti White Shoes & The Couple Company juga Endah dan Reza. Koala juga membawakan satu lagu mereka, yang berkisar antara pop/jazz/grove saya lupa judulnya ,hehehe. Hmmm mereka cukup cocok sebagai selingan bersenandung diantara suasana café sambil menikmati coklat, kopi, teh panas/dingin.
Frau
Lani mulai memposisikan diri, dan tuts Oscar telah sepenuhnya siap digerayangi jemari Lani. Mereka mulai bercinta ditengah hawa yang kian sesak dengan asap rokok. Puluhan pasang mata mendadak syahdu dan bibir mengelu karena hati kian meleleh oleh racikan berbahan dasar nada keyboard dan suara emas Lani. Secara berturut-turut kidung “Rat and Cat”, “Intensity” yang disambung medley dengan “Mesin Penenun Hujan”, “Salahku, sahabatku” yang berkolaborasi dengan keyboardist berbakat Nadya O Hatta, “Glow”, “I’m a Sir”, dan ditutup recover versi Frau “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa” milik salah satu band pop/triphop terbaik Yogyakarta saat ini, Melancholic Bitch.
***
Lani begitu jujur dalam menyusun nada dan liriknya dengan mengakui dia mencintai Regina Spektor. Sedemikian hingga Tuhan menganugerahi curly hair-nya yang lagi-lagi mengingatkan saya pada Spektor. Dia tidak perlu repot-repot menampik anggapan beberapa orang yang mengatakan kemiripan musiknya dengan Spektor. Karena Frau juga memiliki nilai tersendiri dengan kepiawaiannya meracik beberapa lagu yang berbahasa Indonesia.
Ini adalah sejarah tentang kejujuran dalam bermusik. Bahwa nada yang kita suarakan benar-benar reflektif dari hati kita. Lebih luasnya, mengingatkan kita pada hal yang begitu personal justru kadang berpengaruh besar pada turbelensi kosmic. Bahwa menjadi diri sendiri bukan berarti menjadi over-skeptic terhadap orang lain. Karena kita semua terbentuk oleh saripati bumi yang sama.
Myspace
Oya! kalian juga bisa mendowload secara free album Frau - Starlit Carousel pada Netlabel terkemuka di Indonesia, Yesnowave.com
***
Lani begitu jujur dalam menyusun nada dan liriknya dengan mengakui dia mencintai Regina Spektor. Sedemikian hingga Tuhan menganugerahi curly hair-nya yang lagi-lagi mengingatkan saya pada Spektor. Dia tidak perlu repot-repot menampik anggapan beberapa orang yang mengatakan kemiripan musiknya dengan Spektor. Karena Frau juga memiliki nilai tersendiri dengan kepiawaiannya meracik beberapa lagu yang berbahasa Indonesia.
Ini adalah sejarah tentang kejujuran dalam bermusik. Bahwa nada yang kita suarakan benar-benar reflektif dari hati kita. Lebih luasnya, mengingatkan kita pada hal yang begitu personal justru kadang berpengaruh besar pada turbelensi kosmic. Bahwa menjadi diri sendiri bukan berarti menjadi over-skeptic terhadap orang lain. Karena kita semua terbentuk oleh saripati bumi yang sama.
Myspace
Oya! kalian juga bisa mendowload secara free album Frau - Starlit Carousel pada Netlabel terkemuka di Indonesia, Yesnowave.com