Menerima materi demo dari sebuah grup musik
anyar yang didirikan penghujung 2010, saya mengangguk. Berisi tiga lagu,
kelompok yang menamakan diri “Musim Penghujan” ini mematutkan diri untuk
disimak. Terdiri dari empat manusia—yang rata-rata merupakan purnawirawan
pasukan dreampop, Amnesiac Syndrome—mereka menawarkan sebuah gagasan deru
nuansa murung yang basah. Genre? Oke, saya berikan clue. Mereka adalah band
yang masuk ordo indierock dengan
dominasi chord minor.
Sesuai dengan namanya, materi Musim
Penghujan dibuka dengan track “Bebal”. Riuh permainan sequence gitar Rizki Baruna Aji. Bagai kilat—gemerlap feedback yang membuat suhu pikiran
berkeringat. Gemuruh paduan backing vocal yang sorai adalah guntur yang dibalut
gebukan drum Indra Agung Hanifah dan tempo enerjik yang dijaga oleh Hengga
Tiyasa, sang bassist. Tebal dan dekat dengan kesan era Alt-Rock 90-an. Lirik
yang dilantunkan Bili seperti sebuah refleksi manusia yang terus-terusan
terjebak oleh sistem modern. Sedikit sinis, bermetafora, dan tema yang general.
Hujan telah turun. Cukup deras untuk
membubarkan barisan massa organisasi militan saat track kedua, “Demi Tuhan”
dilantunkan. Dibuka dengan (lagi-lagi) umpan balik sequence gitar. Tempo yang
ditawarkan pun sama enerjik dengan track pertama. Liriknya juga dibalut
metafora. Kali ini dengan sentuhan sisi manusia yang lebih sentimentil,
pemujaan. Mengingatkan kita bahwa kepercayaan adalah sesuatu ruang yang sunyi
bagi setiap manusia.
Namun mengumpamakan hujan dengan sesuatu
yang (hanya) memiliki sisi gelap tentu akan salah besar. Saat track “Sampai
Dimana Kita Nanti” diputar, berarti hujan tak lagi menghujam deras. Sekedar
rintik namun masih gelap. Meninggalkan kebingungan—apakah rencanamu untuk
keluar rumah sebaiknya kamu realisasikan atau tetap diam dan batalkan. Rerintik
layer gitar tetap dijadikan dominasi.
Lirik semi-politis dan/atau humanis yang disiratkan. Mungkin telah menjadi
benang merah trademark mereka.
Hingga selesai saya memutar demo “Musim
Penghujan”, mereka meninggalkan lahan yang basah. Sekali lagi, basah. Karena
mereka cukup memberi kesegaran dengan lirik-lirik berbahasa Indonesia. Namun
tanah yang mereka basahi belum cukup terpuaskan untuk menjadi serta-merta
subur. Alasan utama bisa jadi karena usia band yang masih muda. Telah ada benih
musikalitas indierock yang lebih
condong dengan negeri Paman Sam. Namun akan menarik untuk menanti pupuk dan kejutan
hibrida jenis apa yang akan mereka cangkokkan nantinya. Sehingga pada dasarnya
saya memberi konklusi, bahwa “Musim Penghujan” layak disimak. Meski tentu tak
ada jaminan bagi siapapun akan bilang wow sambil buggy jumping saat mendengarkannya pertama kali.
Pada akhirnya selamat datang di Musim
Penghujan. Sibukkanlah segala upaya untuk menyelamatkan diri dari derunya.
Silahkan menyimak demo pada akun jejaring soundcloud mereka.