Khairul umuri au sathuha — Sebaik-baiknya hal adalah yang berada pada titik keseimbangan.” [Pepatah arab]
Haram
Sebuah kata yang bagai seringai. Memberikan jarak
tertentu dalam ketakutan yang menyelinap lubuk. Seringai sekawanan serigala
bisa jadi hanya saling bertukar sapa dengan kawanan lain. Hanya sebuah media
komunikasi purba. Tapi bagi mereka yang berada di bawah rantai makannya
mustahil menyangkal untuk segedar bergidik. Bisa jadi seringai itu, dan/atau
label haram, adalah sesuatu yang tak kasat. Dan jarak dengan yang tak kasat
bisa didekati dengan iman, pembuktian, ataupun metode penalaran.
Saya tertarik menulis tema ini mengingat
betapa akhir-akhir ini kita sering diresahkan dengan kata “haram”. Tentang
merokok, berpacaran, bersosial media, dan yang paling anyar adalah bertukar
“selamat merayakan hari raya” antar pemeluk agama satu dengan lain.
***
Baik mari kita mulai dengan telisik. Haram
berasal dari bahasa arab “harama — yahrimu —harman” yang berada pada wazan “fa’ala
— yaf’ilu—fa’lan” —artinya “hormat”. Lalu dengan ziyadah (tambahan) tasdid, menjadi “harrama — yuharrimu” yang
berarti “menghormati”. Dari kata tersebut lalu muncul kata-kata yang telah
diadopsi dalam bahasa indonesia seperti harim dan muhrim. Namun bagaimana kata
“hormat” erat diasosiasikan dengan “larangan”, mari kita coba mengurainya
dengan nalar yang (semoga) mudah dimengerti.Beberapa permisalan haram: suatu
tribal di pedalaman memiliki hutan larangan yang haram hukumnya bila dijamah
oleh manusia; suatu wilayah sungai yang oleh masyarakat sekitar diangkerkan dan
haram bila digunakan untuk hajat manusia; larangan membunuh harimau karena
suatu masyarakat tertentu meyakini harimau adalah reinkarnasi nenek moyang
mereka; haram hukumnya bagi non-muslim memasuki Masjidil Haram di Mekah; haram bagi Katolik untuk bercerai; haram
bagi seorang biksu memakan daging; dan dilarang melakoni yang enak-enak, kata
Bang calon yang baru akan dicalonkan (blah!) presiden RI—Rhoma Irama.
Kalau definisi haram tetap saklek pada larangan, betapa miskinnya
kita akan makna. Lebih dari itu, makna aslinya pun jadi bias. Nganu, parahnya
malah bakal terjadi miskonsepsi akut. Karena akan rentan timbulnya patah logika
dasar bahasa. Konsep haram sendiri beyond
larangan. Maksudnya segala hal yang diharamkan seharusnya didasari oleh
penghormatan. Dalam menentukan larangan dengan kata haram, suatu ajaran maupun
adat, didahului oleh pijakan bahwa hal tersebut harus dihormati.
Misal, agama islam mengharamkan bersenggama
diluar pernikahan. Berarti islam menghormati aktivitas pemenuhan hasrat dan
pelestarian spesies tersebut hingga pada taraf tinggi. Karena saking
dihormatinya prosesi senggama, maka hal tersebut dilarang dilakukan
sembarangan. Tentu kita meyakini bahwa berlaku “sembarangan” berarti jauh dari
kata menghormati.
Bila masih ada suku yang hidup berdampingan
dengan hutan larangan. Mereka biasanya punya teritori hutan tertentu—hutan
larangan. Pendidikan kita cukup nyandak
lah untuk sekedar memahami perlu adanya hutan yang terlindung dari jamahan
manusia.
Selanjutnya dalam banyak ajaran terdapat
larangan membunuh, memburu, dan mengonsumsi hewan yang berada pada strata
rantai makanan tertinggi. Harimau, elang, kera, dan predator lainnya. Sebab kenyataannya,
akhir-akhir ini kita tahu, penurunan populasi mereka berdampak pada
ketidakseimbangan ekologi.
Dalam bahasa arab ada kata lain untuk kata “dilarang”
selain haram yakni “mana’a”. Mana’a
memiliki arti yang lebih tak transenden. Misal, dilarang membawa makanan ke
dalam kelas; atau pun larangan memakai kaos oblong saat memasuki wilayah kampus.
Larangan yang jenis ini lebih bersifat hanya estetis bukan? Nah untuk kata
larangan yang cocok ditaruh pada pamflet ini, lebih pas menggunakan “mana’a — mamnu’” bukan harama.
Jika demikian, artinya setiap pelarangan
tindakan dengan istilah “haram” pada dasarnya diikuti kaidah dasar penghormatan
terhadap sesuatu. Berbarengan dan tak terlepaskan. Nah jika logika tersebut
telah terbentuk, sebaiknya kita mulai serius.
Serius jika yang diharamkan berbarengan
dengan adanya penghormatan, maka ada baiknya bagi setiap yang terkena dampak
dari hukum haram mengerti benar cara memilah hal apa saja yang patut diberi
hormat. Dalam agama saya (islam) penghormatan hanya boleh dipersembahkan untuk
Allah dan apa-apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati. Kedua orang tua,
tetangga, pemimpin yang adil, hingga saudara pemeluk agama lain yang taat, dan
sebagainya. Misalnya haram hukumnya berkata kasar terhadap orang tua meski
mereka berbuat salah. Ya berarti musti ngingetin dengan cara yang penuh
kelembutan, cari sendiri lah caranya ya :D
***
Pada akhinya keseimbangan tetaplah
keseimbangan. Sebelum akhirnya para manusia bertabiat mengharamkan apa saja,
Allah telah memberikan pagar batas yang tegas.
“... janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang
baik lagi telah Allah halalkan bagimu. Dan janganlah berlebihan. Karena Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebihan ...” [QS 5 : 87]