Beberapa hari yang lalu saya didaulat untuk terlibat dalam sebuah persyarikatan
diskusi yang super amboy. Studi yang ditelaah dalam diskusi pun cukup
radikal—sebuah film serial nyang legendaris—Si Doel Anak Sekolahan. Ruangnya juga
sangat bergaya era 2.0, berupa waktu yang bergaris (baca ‘timeline’ twitter).
Waktu saya datang, tau-tau udah diberi nama Center for Si Doel Studies
(CSDS). Ada dua kuncen senior di CSDS—Fakhri Zakaria selaku pendiri
sekaligus pimpinan trayek Cinere-Gandul; dan Nuran Wibisono sebagai penelaah
konflik Kong Ali vs Mandra. Bagi yang belum kenal karena mungkin hanya punya
sedikit waktu menikmati timeline twitter di jam makan siang, silahkan baca
link ini sebagai pengantar CSDS.
Tapi biarlah perihal itu urusan si Jaki sebagai corong propagandis
syarikat, saya mah kejatahan bagian yang intim-intim sedikit gosong. Tentu
karena yang intim-intim sedikit gosong itu akan renyah ketika digoreng. Maaf,
saya barusan ngelantur! Lebih dari itu, serial tivi semacam Si Doel Anak
Sekolahan ini sangat relevan untuk dikaji dalam naungan blog benci-cinta-hidup-dalam mesin ini.
Alasannya sederhana, film tersebut penuh lika-liku kehidupan dan percintaan.
Dari sekian hari menjalani diskursus tentang Si Doel Anak Sekolahan,
episode ke episode, dialog ke dialog, ada satu kata kunci yang terlalu melekat
dipikiran saya. Kata kunci tersebut lebih intim berhubungan dengan pikiran saya
melebihi intimnya cinta segitiga Sarah-Doel-Zaenab. Mas dan mbak gak harus
menunggu untuk tau apa sebenarnya kata kunci tersebut. Iya mas-mbak kata
kuncinya ada di judul—Nguda Rasa.
Kata tersebut secara ajaib muncul dari tuah Mas Karyo yang dirundung
pilu selalu. Ini deh episodenya
Pada episode tersebut dijelaskan arti Nguda Rasa yaitu mengajak bicara hati nurani sendiri. Karena hati
nurani jika tidak pernah diajak bicara maka ia akan menjadi bisu (Karyo, 1996).
Bukankah sangat dalam permenungan dari kata tersebut kawan-kawan? Saya tak
merasa cocok dengan beberapa kemungkinan padanan kata yang ada dalam bahasa
Indonesia. Mungkin refleksi, instropeksi, retropeksi—tapi ah rasanya belum bisa
mewakili Nguda Rasa.
Mungkin yang agak tepat adalah datang dari ranah psikoanalis milik
Carl Jung dengan sebutan bertemu ‘Wise Old Man’ bagi lelaki dan ‘Great Mother’
bagi perempuan. Meski sebenarnya dalam budaya jawa—untuk menyebut ritual apa
yang Jung maksud—memiliki terma yang spesifik, yakni bertemu
‘kakang kawah lan adi ari-ari’. Terliat seperti
klenik mungkin. Padahal di Jepang, para samurai juga melakukan hal serupa (salah
bukti dapat dilihat pada film
13 Assassins karya Takashi Miike, pen). Tentu di banyak
agama juga memiliki ajaran serupa.
Mengapa kata tersebut saya jadikan kunci? Pertama, tanpa harus
mengutip thesis manapun kita mafhum bila film merupakan salah media permenungan
yang ampuh. Maka ketika muncul kata Nguda
Rasa pada film Si Doel Anak Sekolahan—yang mana mengusung tema benturan
budaya di kota metropolitan—mantab lah sudah pesan permenungan yang
dikandungnya; kedua, tanpa harus
jauh-jauh mendedah ‘Modern Times’ punya Chaplin alias Jojon versi bule, waktu
adalah masalah utama manusia modern.
Adek-adek habis sekolah, kursus olahraga atau musik, ekskul, les
privat mata pelajaran. Juga ada adek-adek yang abis kuliah ngerjain tugas,
ekstra kulikuler, kumpul himpunan, ngerjain tugas lagi, kuliah lagi.
Kakak-kakak pada kerja pulang sore, kena macet, capek, tidur, kerja lagi kadang
lembur, tambah dimarahin pabos. Bapak-bapak kerja sampe sore, marah-marahin
anak buah, pulang capek, tidak sempat menafkahi batin istri langsung tidur,
kerja lagi.. Dan hal-hal yang menjadikan resesi Nguda Rasa semakin tersisihkan dari metropolitan, karena mulai tak
sempat.
Saya sendiri tidak tahu pasti. Karena saya belum pernah benar-benar
tinggal di Jakarta. Cuma kata Om Guruh Soekarno Putra, di Metropiltan banyak
orang yang sering kesepian di keramaian. Rancak
bana kan komponis nasional yang satu ini!
Menurut tafsiran saya, ‘kesepian di keramaian’ adalah ketika seseorang
sudah tak mampu lagi mendapatkan lawan bicara yang nyaman selayaknya teman—meski
begitu banyak orang disekeliling kita. Semua interaksi menjadi basa-basi.
Setiap tawa hanya sebagai penyedap mata. Dan setiap sapa segera berujung pada
lupa. Parahnya lagi, bila orang tersebut tak lagi mampu mengajak bicara hati
nuraninya sendiri.
Saya bertanya, apalagi yang lebih sepi dari keadaan tersebut? Bahkan
orang bisu pun mungkin lebih baik nasibnya, karena masih sanggup berbincang
mesra dengan hati nuraninya.