2010/02/07

“Kill Your Idols”, Kanon Pembunuh Idola-Idolamu.


Ketika para rocker militan menjenuhkan kemapanan substansi dan estetika Punk, dan kala itu, akhir 1970-an menjadi sebuah embrio dari spirit redefinisi pemberontakan. Mengambil sudut pandang John Savage, seorang jurnalis musik pada interview film “Live Forever”, bahwa kutub musik memang bagaikan pendulum yang bergerak tik-tok-tik-tok antara UK-US-UK-US.
Jika era pasca kemapanan Punk yang digadang para media dengan titel Post-punk di UK, atau apalah namanya, maka pergerakan yang sama di US bertitel No Wave. Kedua gerakan tersebut juga terintegrasi dengan selera musik, dan cara berpikir sebagai sebuah subkultur.

Kill Your Idols, merupakan dedahan berwujud film dokumenter yang sangat recommended untuk memahami gerakan No Wave, karena film ini mengumpulkan sudut pandang dari pencetus-pencetusnya secara langsung ; Martin Rev (Suicide), Lydia Lunch dan Jim Sclavunos (Teenage Jesus and The Jerk), Arto Lindsay (DNA), J.G. Thirwell (Foetus), dan Glenn Branca (Theoritical Girls). Disajikan juga pandangan dari musisi tabi’in/tabi’at No Wave generasi awal ; Lee Ranaldo dan Thurston Moore ( Sonic Youth), juga Michael Gira (Swans).

Meskipun demikian, Kill Your Idols bukanlah sekedar film dokumenter sederhana yang hanya melegitimasikan manifesto No Wave. Bukan hanya berisi interview yang dimulai kalimat usang “ Oh yeah, I remember when I was…”, kemudian memainkan ulang video rekaman performance hasil konversi banal dari gulungan pita VHS, tapi juga lebih kepada melihat No Wave sebagai gerakan seni dan bagaimana ia mempengaruhi musik hari ini. Saya melihat (setidaknya secara garis besar) ada empat bagian terpenting dalam film ini, dimulai dengan retrospeksi generasi awal pada tahun 70-an (Teenage Jesus and Jerks, Contortions, Suicide, DNA, dll), band-band tahun 80-an awal yang diilhami oleh gerakan No Wave (Swans, Sonic Youth dan Foetus), penjajaran band-band yang lebih baru (Liars, Yeah Yeah Yeahs, A.R.E. Weapons, Gogol Bordello, Flux Information Sciences, dan Black Dice), dan bagian akhir adalah analisa tentang bagaimana band-band baru kehilangan titik ke-No Wave-an. Serta satu tambahan daerah samar ketika tiba-tiba membahas “The Strokes” yang padahal notabene-nya, tidak mewarisi No Wave.

Interview yang dusuguhkan secara terpotong-potong, langsung, dan cepat namun berkesinambungan, memberikan perasaan yang cukup jerky bagi saya. Gaya tutur Lindsay reflektif, Sclavunos yang humoris, Lydia Lunch dengan penuh kemarahan, dan juga Thirwell dipenuhi lontaran penghinaan, menjadikan interview mampu mewakilkan perbedaan attitude yang mendasar dari para narasumber. Salah satu hal yang menarik dari film ini hingga membuat saya memperlebar lensa retina dan mempertajam daya getar kedua kendang telinga adalah pengusutan dua generasi yang secara bersamaan saling memuji dan juga mengutuk dari generasi satu dengan generasi lain.

Perhatian spesial saya tujukan untuk Lydia Lunch. Selain ia adalah satu-satunya wanita wakil generasi tua, kemarahan dan kriktik-kritiknya terhadap generasi sekarang merupakan wujud kulminasi kekecewaan akut. Lunch mempertanyakan penghisapan semangat, root, sound, dan essensi No Wave oleh band-band yang menjadi idola saat ini semacam Yeah Yeah Yeahs dll. Sesungguhnya mereka sedang mengahadapi amnesia semangat awal tentang bagaimana berimajinasi, anti-estetika, tidak disukai, anti-korporat, nihilist, Dadaist, dan how to create something new. Lunch mungkin memang berlebihan, tapi setidaknya ia telah berhasil menanamkan di kepala saya guilty, atau bahkan menyesal karena telah mengidolakan Karen O dkk.

No comments: