2007/12/22
met X-mas
tapi tetep aja....
buat teman-teman yang merayakan natal & tahun baru...
specially greating for u...
2007/12/16
my Fake, is my fashion
Pujaan hati saya yang berada di Solo pada suatu malam mengirim SMS pada saya yang intinya meminta tolong pada saya untuk mencarikan sebuah buku yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang sedang ditekuninya, tentang “Ekonomi”, yah karena memang di kotanya buku yang ia cari belum datang, dan ternyata saya menemukannya di sebuah toko buku di kota saya, Yogyakarta. Kepentingan merelakan waktu untuk seorang yang menguasai hidup saya atas nama “cinta” telah membuat waktu dan perbuatan yang palsu itu ternyata indah.
Setelah selesai dengan segala kegiatan bodoh saya, dimana orang sekarang melembagakannya dalam yayasan “pacaran” saya mampir ke kost salah satu teman saya, karena memang saya juga berniat menginap di kostnya. Makan malam menjadi awal yang membosankan dengannya. Saya memang salah ketika memulai hal yang amat menjijikkan tiba-tiba melompat dari mulut saya dengan mengatakan pada teman saya bahwa saya merasa khawatir dengan makin telanjangya masyarakat yang disupport penuh oleh media yang latah. Saya mengatakan bahwa sungguh mengerikan sekali jika kubangan selangkangan yang jumud dan dulunya sangat tabu untuk dibicarakan itu semakin legal sebagai alat komoditi. Hal itu terpikirkan di otak gara-gara saya habis menonton film “Idio Crazy” yang menggambarkan bahwa di kehidupan mendatang setiap apapun yang ada di beri nama dengan imbuhan yang berbau selangkangan. Kemudian yang paling celaka adalah saya mengungkapkan pada dia bahwa saya berniat mengembalikan klise-klise pada jaman dahulu tentang dogma agama dan mitos orang tua. Dia menyetujui dengan ide kebohongan itu diangkat kembali sebagai social control. Tutur bicara yang dikembalikan pada norma adat, gaya hidup yang kembali pada pola-pola sistem agama dan klise-klise jaman dahulu lainnya.
Tiba-tiba, teman saya menjadi sangat tua wajahnya dan sangat membosankan saat mengatakan, “yah Ndeng! Mulailah merubah dirimu sendiri dahulu, dari cara bertutur kata, musik, ibadah, dan cara berpakaian.” Tapi, eh stop! Yang terakhir tadi apa? “Cara berpakaian”. Waduh, malah saya belum berpikiran tuh untuk yang itu. “Loch itu juga harus ndeng untuk dirubah, cara berpakain tu memperlihatkan tentang apa yang ada di hati orang tersebut.”
“???????, itu yang ada di otak saya. Kok bisa Pay?”. Kemudian dia mulai memberikan argumennya yang ternyata sama persis dengan apa yang sudah dikatakan para orang tua kita ratusan tahun yang lalu. Kemudian dia juga menjebloskan pemikiran saya pada salah-benar. Dia menganggap bahwa batasan-batasan berpakaian yang diciptakan Tuhan dalam kitab suci dianggap belum benar jika ternyata hasil kongres para leluhur kita dalam suatu masyarakat tertentu tidak mengesahkannya. “Ufffffh”. Saya mulai merasa mual kalo berbicara masalah apa dan bagaimana harusnya berpakaian, secara saya memang selalu tidak peduli dengan korelasi keadaan jiwa dan pakaian apa yang sedang dipakai. Karena terus terang saya hanya selalu melihat apa yang saya angap “keren”, ya kemudian saya pakai titik.
Saya sangat malas ketika model pakaian ternyata dijadikan suatu standar yang disepakati untuk mengukur apa yang ada dalam diri manusia. Menurut saya berpakaian hanya sebagai penutup aurat yang telah digariskan oleh agama saya dan kadangkala menjadi perhiasan saja. Saya mempunyai control sendiri ketika berpakaian dengan batas-batas yang telah saya yakini karena berasal dari agama yang saya yakini juga tentunya.
Ternyata dia masih tidak paham juga tentang apa yang saya maksud, dan malah berbicara dengan nada yang lebih kasar “kalau kamu tidak memperdulikan masyarakat dalam kamu berpakaian itu namanya kamu belum dewasa, picik, individualis, dangkal, sempit, dan (saya lupa apa aja kutukan-kutukannya)” katanya. Sumpah, saya merasa sangat mual dengan jejalan judgment nya. “Lha trus Pay, para penjahat yang mencuri dan membunuh kemudian bersembunyi dibalik pakaiannya yang rapi kemudian dihiasi jas dan dasi itu bisa kamu ukur dengan pakaian?”, ada lagi si Charlie Manson sang pemimpin sekte gila yang ajarannya membunuh, mencuri, merampok dan intinya menciptakan peperangan yang selalu berpakaian ala Hippie, ternyata mengutuk hippie. Dan satu contoh lagi aja dech daripada kebanyakan, para revolusiner Punk yang kemudian subkulturnya disebut indiepop tu berpakaian rapi dan catchy seperti anak-anak pop, tapi berjiwa Punk. Apa belum ngerti juga? Bahkan kamu berdalih dengan adanya beban psikologi jika suatu orang berjiwa x kemudian kumpul dikumunitas y. Pdahal, bukankah beban psikologi yang seperti kamu maksud itu relatif, sama halnya akan bermacam-macamnya kapasitas rasa takut satu orang berbeda dengan yang lainnya.
Pakaian (baca:model) yang kita kenakan bukan representasi dari jiwa kita secara mutlak, bukankah sangat mudah hari ini berdandan Punk besok Psychedelic lusa Gothic minggu depan Hip-hop dan seterusnya. Pakaian sangat mudah sekali dilepas kemudian diganti dengan yang lainnya. Bahkan ritual tersebut sudah diajarkan oleh orang tua kita dan telah kita lakukan sejak balita bukan? Tapi sayang banget, kamu lebih meng-amin-i stereotype yang dianak-pinakkan oleh masyarakat dan digembala oleh media. Kamu lebih menganggap bahwa melakukan yang disepakati oleh leluhur itu lebih penting daripada membela apa diyakini seseorang yang seharusnya dijadikan legitimasi (agama). Kenapa kamu masih belum sadar juga bahwa judge salah-benar pada seseorang bukan hak kamu?
Ah udahlah benar-benar membosankan ternyata mengobrol denganmu yang hanya membahas masalah cara dan model berpakaian. Udah basi…saya gak bermaksud membuat kamu membenarkan celotehan bacot saya. Tapi saya ingin kamu sadar bahwa setiap orang punya proses masing-masing dalam menemukan kebenaran yang kemudian diyakinya, jadi ya mbok yao berhenti menilai orang dari cara berpakaian. Memang kadang benar, tapi ternyata jaman sekarang segala hal menjadi complicated dan hitam-putih semakin absurd (pasnya abu-abu).
Goblok, ternyata saya malah menulis hal yang bodoh dan basi ya?
Sumpah!!! ra mutu,,,ga penting bgt.
Doni berkali-kali bersin, yang mengakibatkan aerodynamic kontrakan sedikit terguncang dan berdengung dengan distorsi tinggi. Oh’ ternyata si Jember yang pertama kali menjadi korban pergerakan si Vi (Virus Influenza) sekaligus menjadi pelopor media promosi komersil dan propaganda-propaganda vitamin C dosis tinggi sebagai penambah daya tahan tubuh. Tapi meskipun demikian, saya tahu betul jika Jember akan terlalu mengecewakan perutnya jika dia harus memetik hutang lagi untuk sekedar membeli vitamin C dosis tinggi. Akhirnya hanya Doni yang meng-amin-i propaganda yang sebenarnya juga sangat dibutuhkan oleh si Jember.
Setelah beberapa minggu kemarin hujan dengan brutal menyerang Yogyakarta, ternyata situasi ini dimanfaatkan betul oleh para pengikut sekte “Vi”. Akhir sampah ini adalah : “Teman-teman, siapkan amunisi kalian untuk melakukan perang dengan pergerakan “Vi” ini!, perbanyaklah minum air putih dan cukupkanlah istirahatmu.”……Ra mutu.
2007/12/14
Happy Ending better than Delay Ending
Pagi hari ini, lagi-lagi pikiran saya terjebak pada teror yang sama. Dimana peletakan ide pertama yang terbiasa menjadi ritual pemandangan iklan sosial di depan pecandu visual mulai mengungkung saya agar segera melakukan bunuh diri. Adalah pengulangan merakit persuasifikasi atau bahkan sebagian orang menganggap agitatifasi, yakni propaganda tentang pentingnya penyajian kuliah ”Tatacara Menanggulangi Ancaman Global Warming”. Seperti halnya aturan gramatikal pada sebuah pseudocode algoritma terhadap kebodohan computer yang semakin menunjukkan eksistensinya sebagai thoghut baru dalam upaya pembantaian sejarah. Jutaan orang melukai kerongkongannya sendiri sambil menunjuk ini-itu untuk membuat pembelaan diri tanpa ingin disalahkan, para penghuni Negara-negara maju menuding penghuni daerah kawasan Tropislah yang bertanggungjawab atas terjadinya Global Warming, demikian sebaliknya masyarakat kita beramai-ramai membuat festival-festival murahan untuk mendakwa Negara-negara industri dengan tuntutan penghentian exploitasi SDA di atas mimbar jalanan. Ah, lebih baik saya mencari roket peluncur luar angkasa agar suatu hari bisa menziarahi makam bumi.
Bagaimana tidak, tindakan-tindakan seperti menanam puluhan juta pohon, mengurangi sampah, mengurangi konsumsi listrik, menghemat bahan bakar untuk berusaha menahan Global warming seperti memelihara ikan laut di akuarium tawar. Siapa yang bodoh? Rasanya seorang yang bodoh seperti saya tidak pantas berbicara banyak tentang kebodohan. Atau jangan-jangan ini yang kita sebut usaha melegalkan kasino terbesar sepanjang abad, dengan melempar dadu pada nomor punggung ikan laut yang bertahan hidup paling lama di akuarium tawar?
Semenjak revolusi industri berkibar, secara global manusia menghidupi pikiran dengan “matematika”. Menganggap segala sesuatu adalah kausalitas yang aksiomatis, sebab dan akibat. Manusia membenturkan kepala, menelan aspirin, menegak candu-candu secara over dosis agar memperoleh surat diagnosa amnesia dengan kematian atau umur dunia adalah misteri. Mungkin saya pernah terjebak dengan pola pikir materialistis ini, tapi selain saya diingatkan Donald.B.Calne dalam karyanya (entah Tesis atau Disertasi) yang berjudul “Batas Nalar” bahwa otak hanya piranti pengganti taring tajam atau tulang tanduk kuat yang diberikan Tuhan sebagai mahkota kerajaan Bumi, istri paman saya yang sepulang arisan ibu-ibu PKK mengeluh karena kertas hasil kocokan arisan kali ini masih juga belum mengumandangkan namanya.
Terus terang tindakan pengecut ini membuat saya resah. Saya menjadi positivis di depan para penganut (katanya) penyelamat bumi dan lingkungan hidup. Akhirnya, tidak ada solusi dari saya untuk menghentikan Global warming. Karena toh setiap kali mengungkit-ungkit sejarah dan menciptakan ramuan baru selalu saja terganjal oleh peraturan yang lebih komplek dari sekedar menggelar festival propaganda visual, attitude, maupun jalanan. Contohnya, rumah yang kita tempati menjebak udara pada suhu tertentu yang mengakibatkan peredaran udara tidak lancar dan terjadi pengungkungan suhu, semakin banyak rumah-rumah yang kita bangun semakin membuat air traffic mengalami kemacetan, akhirnya suhu udara pada bumi semakin naik, Global warming. Lalu, apakah kita mungkin kita menghancurkan semua bangunan? Belum lagi bila kita bicara soal bahan-bahan bangunan seperti semen dan pasir. Kita tidak mungkin juga menggali warisan lifestyle pra-sejarah untuk hanya survive dengan berburu dan tinggal di gua-gua. Bila sedikit mau ber-zuhud sebaiknya pembangunan kembali dengan anyaman bambu maupun kayu, menghancurkan semua barang elektronik dan mesin-mesin baik kendaraan maupun industri yang tentunya juga segera menghentikan usaha-usaha penambangan perut bumi. Tapi bila menengok data statistik ritual natalitas yang jauh lebih heboh dari mortalitas membuat saya menafikan ide tersebut. Mau gimana lagi, kalaupun toh kita sudah menghancurkan rumah permanen dan beralih pada anyaman bambu dan sejenisnya, tentu kita sadar bahwa umur tanaman kalah cepat dengan produksi biologis yang semakin sporadic. Juga merupakan hal mustahil jika kita mau meninggalkan berhala transportasi sebagai media pemersempit realita ditengah plintiran komoditas yang telah kita rangkai dan reka-reka demi megisi perut.
Kemudian saya ingat kembali pada era 70-an pernah lahir konspirasi yang memiliki visi mulia (menurut saya) membangkitkan perang ras seperti yang tertulis pada lirik lagu “Helter Skelter” milik The Beatles dan beberapa kutipan dari Bible. Adalah Charlie Manson sebagai otak persaudaraan yang mengharapkan perang terbesar agar penantian messiah (sang juru selamat) segera berakhir. Saya tidak ingin menunjuk agama mana dan apa, tapi bila dimungkinkan sepertinya kita perlu mengurangi kuantitas manusia di Bumi dengan perang atau dengan cara lain yakni massive suicide. Sekali lagi masalah ini semakin komplek, akan ada berapa juta orang yang menanyakan hak mereka untuk hidup? Berapa perserikatan HAM yang menyalakan kembali mikropon mereka? Berapa banyak kutipan dalil langitan yang bergentayangan? Dan saya sendiripun tidak menyetujui terjadinya hal tersebut karena saya masih patuh pada legitimasi agama saya yang melarang bunuh diri bahkan perang.
Jika kita sudah paham bahwa Global warming memang seperti kereta luncur berkecepatan tinggi tanpa memiliki rem yang menuju jurang paling curam, Spiderman pun hanya bisa memperlambat lajunya tanpa bisa menghentikan, bukankah lebih baik bila kita menerima ini dengan tersenyum dan gembira? Kecuali masih saja terapi amnesia ini belum cukup membuat kita ingat bahwa udara, air, sinar matahari, dan cosmos ini hanyalah titipan yang terserah kapan saja si Penitip mau ambil lagi.
Kebingungan terakhir saya adalah bagaimana menyutradai drama dengan epilog Happy ending, karena sudah capek rasanya memperdebatkan masalah etika dan estetika dengan para pelaku seni, sosial, dan pengikut taat dalil langitan yang selalu saja berubah dari jaman ke jaman. Katanya sih, perubahan itu wajib. Rasanya sudah cukup saya ditampar oleh Neorolog sekelas Donald.B.Calne bahwa otak saya bukan apa-apa. Ujung-ujungnya, terjadi repetisi ampuh kalimat klise “kebahagiaan itu relative”. Sederhana sekali bukan? Yah memang sesederhana itu sebenarnya permasalahan yang membangkitkan korporasi multinasional untuk menggelar sidang ke-116 Inter Parliamentary Union (IPU) saat pembahasan pemanasan global beberapa waktu lalu. Dan United Nation Framework Convention on Climate Change dan pertemuan ketiga dari Protokol Kyoto dengan Indonesia sebagai tuan rumah. Menggelikan sekali ketika saya sadar bahwa realita adalah rangkaian dari kepalsuan sejak meng-analogi-kan pertanyaan-pertanyaan yang seolah “besar” sehingga membuat sebagian besar penduduk bumi seperti cacing kepanasan memiliki jawaban yang sangat sederhana.
***
Saya menyalakan rokok lagi, keluar sebentar kepekarangan belakang rumah kontrakan. Duduk sendirian di bawah pohon mangga milik Ibu kontrakan yang sedang berbuah, mengais-ngais lagi momen yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu saat buah apel yang jatuh dengan sederhana pada kepala Newton memberi petuah yang luar biasa bagi manusia. Namun setelah saya menulis ini, saya ingin bukan buah mangga tiba-tiba jatuh di kepala saya, tapi ada dari seorang pembaca yang memanjat pohon dan memetik buah mangga kemudian menjatuhkannya di depan saya. Siapa tahu buah pilihan pembaca tersebutlah yang nantinya menjadi petuah bagi saya untuk mempermudah memutuskan antara pilihan menjadi Sengkuni yang memprakarsai perang Bharatayuda atau meng-amin-i euforia heroistik harakiri seperti para Samurai.
BandengEatTheMouse.