2007/12/14

Happy Ending better than Delay Ending

Pagi hari ini, lagi-lagi pikiran saya terjebak pada teror yang sama. Dimana peletakan ide pertama yang terbiasa menjadi ritual pemandangan iklan sosial di depan pecandu visual mulai mengungkung saya agar segera melakukan bunuh diri. Adalah pengulangan merakit persuasifikasi atau bahkan sebagian orang menganggap agitatifasi, yakni propaganda tentang pentingnya penyajian kuliah ”Tatacara Menanggulangi Ancaman Global Warming”. Seperti halnya aturan gramatikal pada sebuah pseudocode algoritma terhadap kebodohan computer yang semakin menunjukkan eksistensinya sebagai thoghut baru dalam upaya pembantaian sejarah. Jutaan orang melukai kerongkongannya sendiri sambil menunjuk ini-itu untuk membuat pembelaan diri tanpa ingin disalahkan, para penghuni Negara-negara maju menuding penghuni daerah kawasan Tropislah yang bertanggungjawab atas terjadinya Global Warming, demikian sebaliknya masyarakat kita beramai-ramai membuat festival-festival murahan untuk mendakwa Negara-negara industri dengan tuntutan penghentian exploitasi SDA di atas mimbar jalanan. Ah, lebih baik saya mencari roket peluncur luar angkasa agar suatu hari bisa menziarahi makam bumi.

Bagaimana tidak, tindakan-tindakan seperti menanam puluhan juta pohon, mengurangi sampah, mengurangi konsumsi listrik, menghemat bahan bakar untuk berusaha menahan Global warming seperti memelihara ikan laut di akuarium tawar. Siapa yang bodoh? Rasanya seorang yang bodoh seperti saya tidak pantas berbicara banyak tentang kebodohan. Atau jangan-jangan ini yang kita sebut usaha melegalkan kasino terbesar sepanjang abad, dengan melempar dadu pada nomor punggung ikan laut yang bertahan hidup paling lama di akuarium tawar?

Semenjak revolusi industri berkibar, secara global manusia menghidupi pikiran dengan “matematika”. Menganggap segala sesuatu adalah kausalitas yang aksiomatis, sebab dan akibat. Manusia membenturkan kepala, menelan aspirin, menegak candu-candu secara over dosis agar memperoleh surat diagnosa amnesia dengan kematian atau umur dunia adalah misteri. Mungkin saya pernah terjebak dengan pola pikir materialistis ini, tapi selain saya diingatkan Donald.B.Calne dalam karyanya (entah Tesis atau Disertasi) yang berjudul “Batas Nalar” bahwa otak hanya piranti pengganti taring tajam atau tulang tanduk kuat yang diberikan Tuhan sebagai mahkota kerajaan Bumi, istri paman saya yang sepulang arisan ibu-ibu PKK mengeluh karena kertas hasil kocokan arisan kali ini masih juga belum mengumandangkan namanya.

Terus terang tindakan pengecut ini membuat saya resah. Saya menjadi positivis di depan para penganut (katanya) penyelamat bumi dan lingkungan hidup. Akhirnya, tidak ada solusi dari saya untuk menghentikan Global warming. Karena toh setiap kali mengungkit-ungkit sejarah dan menciptakan ramuan baru selalu saja terganjal oleh peraturan yang lebih komplek dari sekedar menggelar festival propaganda visual, attitude, maupun jalanan. Contohnya, rumah yang kita tempati menjebak udara pada suhu tertentu yang mengakibatkan peredaran udara tidak lancar dan terjadi pengungkungan suhu, semakin banyak rumah-rumah yang kita bangun semakin membuat air traffic mengalami kemacetan, akhirnya suhu udara pada bumi semakin naik, Global warming. Lalu, apakah kita mungkin kita menghancurkan semua bangunan? Belum lagi bila kita bicara soal bahan-bahan bangunan seperti semen dan pasir. Kita tidak mungkin juga menggali warisan lifestyle pra-sejarah untuk hanya survive dengan berburu dan tinggal di gua-gua. Bila sedikit mau ber-zuhud sebaiknya pembangunan kembali dengan anyaman bambu maupun kayu, menghancurkan semua barang elektronik dan mesin-mesin baik kendaraan maupun industri yang tentunya juga segera menghentikan usaha-usaha penambangan perut bumi. Tapi bila menengok data statistik ritual natalitas yang jauh lebih heboh dari mortalitas membuat saya menafikan ide tersebut. Mau gimana lagi, kalaupun toh kita sudah menghancurkan rumah permanen dan beralih pada anyaman bambu dan sejenisnya, tentu kita sadar bahwa umur tanaman kalah cepat dengan produksi biologis yang semakin sporadic. Juga merupakan hal mustahil jika kita mau meninggalkan berhala transportasi sebagai media pemersempit realita ditengah plintiran komoditas yang telah kita rangkai dan reka-reka demi megisi perut.

Kemudian saya ingat kembali pada era 70-an pernah lahir konspirasi yang memiliki visi mulia (menurut saya) membangkitkan perang ras seperti yang tertulis pada lirik lagu “Helter Skelter” milik The Beatles dan beberapa kutipan dari Bible. Adalah Charlie Manson sebagai otak persaudaraan yang mengharapkan perang terbesar agar penantian messiah (sang juru selamat) segera berakhir. Saya tidak ingin menunjuk agama mana dan apa, tapi bila dimungkinkan sepertinya kita perlu mengurangi kuantitas manusia di Bumi dengan perang atau dengan cara lain yakni massive suicide. Sekali lagi masalah ini semakin komplek, akan ada berapa juta orang yang menanyakan hak mereka untuk hidup? Berapa perserikatan HAM yang menyalakan kembali mikropon mereka? Berapa banyak kutipan dalil langitan yang bergentayangan? Dan saya sendiripun tidak menyetujui terjadinya hal tersebut karena saya masih patuh pada legitimasi agama saya yang melarang bunuh diri bahkan perang.

Jika kita sudah paham bahwa Global warming memang seperti kereta luncur berkecepatan tinggi tanpa memiliki rem yang menuju jurang paling curam, Spiderman pun hanya bisa memperlambat lajunya tanpa bisa menghentikan, bukankah lebih baik bila kita menerima ini dengan tersenyum dan gembira? Kecuali masih saja terapi amnesia ini belum cukup membuat kita ingat bahwa udara, air, sinar matahari, dan cosmos ini hanyalah titipan yang terserah kapan saja si Penitip mau ambil lagi.

Kebingungan terakhir saya adalah bagaimana menyutradai drama dengan epilog Happy ending, karena sudah capek rasanya memperdebatkan masalah etika dan estetika dengan para pelaku seni, sosial, dan pengikut taat dalil langitan yang selalu saja berubah dari jaman ke jaman. Katanya sih, perubahan itu wajib. Rasanya sudah cukup saya ditampar oleh Neorolog sekelas Donald.B.Calne bahwa otak saya bukan apa-apa. Ujung-ujungnya, terjadi repetisi ampuh kalimat klise “kebahagiaan itu relative”. Sederhana sekali bukan? Yah memang sesederhana itu sebenarnya permasalahan yang membangkitkan korporasi multinasional untuk menggelar sidang ke-116 Inter Parliamentary Union (IPU) saat pembahasan pemanasan global beberapa waktu lalu. Dan United Nation Framework Convention on Climate Change dan pertemuan ketiga dari Protokol Kyoto dengan Indonesia sebagai tuan rumah. Menggelikan sekali ketika saya sadar bahwa realita adalah rangkaian dari kepalsuan sejak meng-analogi-kan pertanyaan-pertanyaan yang seolah “besar” sehingga membuat sebagian besar penduduk bumi seperti cacing kepanasan memiliki jawaban yang sangat sederhana.

***

Saya menyalakan rokok lagi, keluar sebentar kepekarangan belakang rumah kontrakan. Duduk sendirian di bawah pohon mangga milik Ibu kontrakan yang sedang berbuah, mengais-ngais lagi momen yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu saat buah apel yang jatuh dengan sederhana pada kepala Newton memberi petuah yang luar biasa bagi manusia. Namun setelah saya menulis ini, saya ingin bukan buah mangga tiba-tiba jatuh di kepala saya, tapi ada dari seorang pembaca yang memanjat pohon dan memetik buah mangga kemudian menjatuhkannya di depan saya. Siapa tahu buah pilihan pembaca tersebutlah yang nantinya menjadi petuah bagi saya untuk mempermudah memutuskan antara pilihan menjadi Sengkuni yang memprakarsai perang Bharatayuda atau meng-amin-i euforia heroistik harakiri seperti para Samurai.

BandengEatTheMouse.

No comments: