Air mata berbangga hati karena baru saja menemui kembali maknanya. Menyalurkan hasrat yang tersambung paralel dengan suasana hati. Bertepatan dengan Victor Hugo, Emile Zola, dan Lenin bahkan Mao menfatwakan bahwa saatnya membuat size baru sebagai standar deviasi dan nilai percentil dalam memproduksi ikat pinggang. Dan entah harus berapa kali saya merasa menjadi pecundang…
Terus terang saja, mengalami masalah moneter dihari-hari akhir bulan adalah masalah yang sangat purba bagi anak-anak kost. Tapi sayang sekali, saya mungkin terlalu payah untuk tidak menggerutu jika ternyata saya ikut diseret ke dalam lingkaran Federasi kaum GLTL (Gali Lubang Tutup Lubang). Seperti yang dilakukan kebanyakan kawan-kawan yang terindentifikasi sebagai anak kost, saya pun sama seperti mereka, wira-wiri mengunduh hutang sana-sini kemudian berusaha secepat mungkin mengembalikan hutang ketika kucuran dana dari orang tua membasahi. Entah mengapa, bulan ini saya benar-benar chaos dalam memprediksikan jumlah kebutuhan mendadak yang tiba-tiba menyeruak menjadi Puck paling jahat dibanding yang diimajinasikan rakyat Britania. Padahal setiap awal bulan, saya merasa sudah matang-matang me-manaje anggaran pengeluaran pribadi selama sebulan kedepan.
Dalam perjalanan menuju kontrakan usai menjadi shopkeeper di Madman, airmata saya mendadak mengalir perlahan dari reflektor visual (mata). Saya segera mengumpulkan arus ombak keseharian yang terekam di otak. Menyadarkan diri dari lamunan yang bertarung dahsyat diantara kabel-kabel jaringan sistem otak kiri. Berhasil juga saya, hehehe… ternyata biang kedelai-nya adalah harga kedelai yang mahal,,,eh g ding, biang keladi, musik keroncong dari dalam perut, a.k.a kelaperan. Perut yang hanya diisi makanan pengenyang satu kali setiap periodic hari, sudah berlangsung empat hari ini. Itu aja karena Tuhan masih menjadikan Jaka perantara riski yang baik bagi saya dengan tulus membelikan beras dan beberapa krupuk, serta Okta yang merelakan sardennya di makan ramai-ramai. Karena memang saat ini seratus rupiah pun saya tidak punya.
Saya mulai tahu rasanya betapa orang membuat pembenaran atas perbuatan kriminal ketika melandaskan masalah perut. Menyadari bahwa semakin kompleknya masalah Negara kita. Yang secara sungguh-sungguh menuntun saya pada kegamangan paling akut. Ya seperti yang saya bilang diatas, hanya bisa menangis. Bayangan orang yang tinggal di perkampungan kumuh
Bingung sendiri saya, terus terang hal yang membuat airmata malah bukan nasib saya pribadi. Justru kelebatan pedagang kakilima yang berjibaku dengan Satpol PP, korban marabencana yang kehilangan keluarga dan harta, dan semakin konyolnya tingkah laku masyarakat kita lah yang berkecamuk dahsyat dalam diri merangsang saraf airmata. Entahlah, saya sebenarnya sudah tidak ingin terlalu peduli dengan hal-hal tersebut. Saya juga sudah cukup kenyang memakan stereotype bermacam-macam yang setipe “sok peduli”. Sampai yang paling menyakitkan adalah orangtua saya sendiri mempersiapkan canon-canon pamungkas yang menjebak saya pada derajat “durhaka”. Tapi sungguh, saya benar-benar tidak menginginkannya berkelebat di otak. Hal itu begitu saja hadir, namun tak begitu pula pergi. Ah, Empati memang tidak pernah mau mengucapkan “permisi”. Tiba-tiba saja nyelonong…
Berkali-kali saya terdorong untuk mengemis lagi pada teman-teman, namun komitmen konyol dan menggelikan baru saja saya buat tadi, bunyinya gini “Kalopun toh saya sampai mati karena kelaparan, itu lebih “keren” meskipun tidak ada orang yang mengenangnya. Daripada banyak yang mengenang kematian seseorang tersebut dengan perut kenyang akan harta yang jadi buruan pemiliknya, apalagi pemiliknya adalah Negara dan rakyat.”
Ditulis tanggal 31 Januari 08
No comments:
Post a Comment